Frans Pieter Parengkuan: Raja Siau yang Dicintai Rakyat di Tengah Gejolak Zaman

Pada awal pemerintahannya, Frans Pieter Parengkuan dianggap sebagai “raja boneka” Belanda yang ditempatkan untuk mengontrol Kerajaan Siau di tengah situasi politik dan pergerakan nasional yang semakin berkembang.

Namun, dedikasi dan kerja kerasnya untuk membangun kerajaan justru menjadikannya sosok yang dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.

 

 

Saksi Hidup dan Kenangan Mburake

Opa Sasela, seorang pria berusia 73 tahun yang tinggal di Mburake dan Gunung Kapeta, menjadi saksi hidup dari era kepemimpinan Raja Frans Pieter Parengkuan (1936–1945).

Dalam ingatannya, Parengkuan dikenal mencintai alam dan menjadikan Mburake, dengan Danau Kapeta yang indah, sebagai pusat logistik Kerajaan Siau.

 

Sejarawan lokal Buyung Mangangue mengungkapkan, di tengah keheningan alam Mburake yang penuh dengan suara alam, Parengkuan merasa dekat dengan keindahan tersebut.

“Raja Parengkuan membangun kediamannya di sini untuk mendengar lagu alam yang lirih dan untuk membangun Mburake sebagai pusat ketahanan pangan kerajaan,” ujar Buyung.

 

Dalam bukunya, Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau, Max S. Kaghoo mencatat bahwa kawasan Mburake pada masa itu dipenuhi tanaman sagu, singkong, talas, padi, dan berbagai komoditas pangan lainnya.

Selama memerintah, Parengkuan mendirikan lumbung pangan di beberapa kampung dengan cadangan hingga 6.000 karung padi. Ketahanan pangan ini menyelamatkan rakyat Siau dari krisis kelaparan pada 1941 akibat Perang Dunia II.

 

Dinamika Politik di Masa Pemerintahan

Sebelum menjadi raja definitif pada 1940, Parengkuan menggantikan Raja Aling Janis yang meninggal pada Januari 1935. Awalnya, ia diangkat sebagai raja ad interim oleh Residen Manado, Anton Philip van Aken.

Penempatan Parengkuan, seorang pribumi Minahasa yang sebelumnya menjabat bestuur assistent di Sulawesi Tengah, bertujuan untuk mengendalikan dinamika politik di Kerajaan Siau, terutama pergerakan nasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti GE Dauhan.

 

Pada 1928, GE Dauhan mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia (PNI) di Siau, sebuah peristiwa yang mendapat dukungan luas dari rakyat.

Bahkan dalam seminggu sejak didirikan, anggota PNI di Siau mencapai 50 orang dan terus bertambah.

Namun, pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang gerakan ini sebagai ancaman.

Pada 20 Desember 1929, Belanda melakukan razia terhadap kantor PNI di Ulu Siau, memeriksa aktivis, dan meningkatkan pengawasan di wilayah tersebut.

 

Parengkuan berada dalam posisi sulit, harus menjaga stabilitas pemerintahan tanpa memicu perlawanan rakyat maupun melawan otoritas kolonial.

 

 

Kemajuan Infrastruktur dan Budaya Mapalus

Di tengah gejolak tersebut, Parengkuan membuktikan kepemimpinannya dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur, seperti jalan lingkar Pulau Siau.

Ia juga memperkenalkan budaya gotong royong Minahasa, yang dikenal sebagai mapalus, kepada masyarakat Siau. Dari budaya ini lahir istilah lokal “mapalose,” yang menjadi semangat bersama untuk membangun wilayah, meningkatkan hasil pertanian pala, kelapa, dan cengkih, serta menciptakan ketahanan pangan.

 

Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan di wilayah Sangihe, Talaud, Siau, dan Tagulandang, banyak raja dan wakil raja setempat menjadi sasaran hukuman mati.

Namun, Parengkuan berhasil selamat dari ancaman tersebut, meski harus menghadapi tantangan besar untuk menjaga stabilitas di tengah perang dan pendudukan.

 

Akhir Pemerintahan dan Warisan

Pada 1945, setelah berakhirnya pendudukan Jepang dan kembalinya otoritas Belanda (NICA), Parengkuan diberhentikan dari jabatannya oleh Belanda.

Hal ini dipicu oleh persoalan pribadi—Parengkuan menikahi seorang gadis bangsawan Siau meskipun sudah memiliki istri.

Meski demikian, dalam sembilan tahun pemerintahannya, Parengkuan telah meninggalkan warisan yang tak terlupakan.

 

Rakyat Siau menjulukinya “I Tuang Parengkuan” (Tuan Kami Parengkuan), sebuah gelar penuh penghormatan atas kepemimpinannya yang membangun.

Dedikasi Parengkuan mencerminkan seorang pemimpin yang mampu menjembatani tuntutan kolonial dengan aspirasi rakyatnya, sekaligus membawa kemajuan nyata bagi kerajaan Siau.

*sumber: situs barta1.com

Tinggalkan Balasan