Kisah Pemberontakan Permesta (Bagian I)

Prakata

Pertama-tama penulis bermaksud meluruskan pernyataan seorang Sukendar melalui sebuah rilis dalam surat kabar lokal terbitan 16 Desember 2004 yang mengatakan bahwa “Permesta bukan pemberontak.”

Mungkin ada kepentingan tertentu sehingga arti peristiwa historis gerakan Permesta hendak dibelokkan atau dikaburkan.

Mengapa harus takut atau malu bila disebut pemberontak. Yang perlu dihindari jangan sampai terjadi penilaian atau penafsiran keliru oleh anak-cucu kita bila nanti mempelajari sejarah perpolitikan di Indonesia, khususnya tentang pergolakan di daerah-daerah, termasuk pemberontakan Permesta.

 

Menurut pemahaman penulis bahwa setiap gerakan perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok warga negara dengan maksud merombak sistem pemerintahan, memaksakan kehendak ataupun tidak patuh pada pimpinan tertinggi negara disebut pemberontak (rebel).

Kamus Oxford University, rebel: person who takes up arms against, or refuses allegiance to the established government.

 

Sekadar penegasan, penulis menyentil kata-kata dari Komodor Muharto, Ka.Staf AUREV (Angkatan Udara Revolusioner):

“Pemberontakan Permesta bertujuan untuk menumbangkan pemerintahan rezim Soekarno yang telah dikuasai komunis. Permesta tidak akan memisahkan diri dari Republik Indonesia tetapi akan terus berjuang sampai Soekarno jatuh, dan Aidit dengan PKI-nya hancur.”

Hal ini disampaikan oleh Komodor Muharto di hadapan sekelompok masyarakat Kayawu dan Wailan di kaki Gunung Lokon pada awal tahun 1961, satu minggu setelah berlangsungnya perundingan ‘Penyelesaian secara Damai’ di Desa Malenos (Minahasa Selatan), antara Kol. Sunandar Priyosudarmo selaku Panglima KODAM XIII Merdeka dengan Pasukan Permesta kelompok Letkol. Jus Somba (mirip-mirip pertemuan Helsinki antara RI–GAM 2005).

 

Berbicara tentang ‘Penyelesaian secara Damai awal 1961’ patut dikenang akan jasa alm. Bapak Pendeta A.Z.R. Wenas, Ketua Sinode GMIM pertama yang dihormati oleh masyarakat Minahasa pada umumnya.

Beliau dari Tomohon dengan jalan kaki atau menunggang kuda bendi menjelajah masuk keluar pedalaman, ke kantong-kantong konsentrasi pasukan Permesta, menemui para pemimpin Permesta dalam upaya menengahi kedua pihak anak bangsa yang saling berperang.

Alhasilnya pertemuan Malenos tersebut, yang ditindaklanjuti pada April 1961 dengan Upacara Defile tentara TNI KODAM XIII Merdeka dan Pasukan Permesta, di perbatasan Tomohon–Woloan (perkebunan Susupuan) dengan Inspektur Upacara Mayjen. Kawilarang dari pihak Permesta dan Mayjen. Hidayat dari MBAD.

 

Sudah ada beberapa penulisan tentang Permesta antara lain ‘Permesta Half a-Rebellion’ oleh seorang penulis wanita Amerika: Barbara Harvey, dan dari Dolf Runturambi mantan petinggi Permesta dengan judul buku ‘Permesta: Kandasnya sebuah cita-cita.’

Namun karena belum ada penulisan versi Tjaper (Calon Prajurit Permesta) , selaku ‘komponen-meta’ lapisan terbawah, saya berupaya untuk menyusun tulisan ini dengan harapan teman-teman ex-pejuang Permesta termotivasi pula untuk menulis tentang pengalamannya.

 

Tulisan ini terdiri dari 3 bagian dengan judul pertama “Pemberontakan Permesta,” bagian kedua dengan judul “Tjaper Patriot Permesta” dan yang ketiga “Tjaper as Guerila Fighter.”

Isi orisinal tulisan ini berdasarkan catatan serta memori pengalaman dari penulis sendiri dan bukan merupakan cuplikan ataupun kutipan dari narasumber yang lain, oleh karena itu ceritanya lebih terfokus pada peristiwa yang pernah terjadi sekitar Manado, Tomohon dan ‘Sub-Wehrkreise’ Lokon, di mana penulis terlibat sebagai salah satu pelaku.

 

Mengenai penjelasan istilah dan asal-usul nama lokasi dalam tulisan ini diutamakan untuk forum pembaca yang pada waktu pergolakan Permesta masih berusia SD sampai pada generasi berumur di atas 60 tahun saat ini.

Saya sangat menyadari tulisan ini masih jauh dari yang diharapkan dan cara pembawaannya mungkin kurang menarik karena penggunaan bahasa kampungan yang menggelitik dan membosankan.

Selanjutnya mohon dimaafkan sekiranya ada penuturan kata atau ulasan pendapat yang dapat menimbulkan ketersinggungan, sekali lagi minta maaf karena tidak ada maksud negatif sekecil apa pun dari Penulis.

 

Pemberontakan PERMESTA

 

Perjuangan Semesta Alam yang kemudian disebut PERMESTA telah diproklamirkan pada tanggal 2 Maret 1957 oleh Letkol. Ventje Sumual selaku Panglima TT VII (Tentara dan Teritorium VII) Wirabuana, meliputi wilayah militer Indonesia Timur yaitu Sulawesi, Maluku dan Irian Barat.

 

Letnan Kolonel Inf (Purn) Herman Nicolas Ventje Sumual

 

Program Permesta tersebut tertuang dalam Piagam Perjuangan Semesta, ditandatangani oleh Sumual sebagai pencetus dan oleh tokoh-tokoh sipil dan militer dari seluruh wilayah Indonesia bagian timur.

Dan tujuan utama Permesta adalah menuntut otonomi daerah seluas-luasnya, serta pembangunan semesta di seluruh wilayah Indonesia Timur.

Tanpa menunggu jawaban dari Pemerintah Pusat, Permesta memulai dengan kegiatan antara lain: ekspor kopra, pembangunan pelabuhan samudera Bitung, peningkatan lapangan udara Mapanget (sekarang Bandara Sam Ratulangi), perbaikan Pelabuhan Manado dengan memindahkan muara sungai (sekarang Kuala Jengki), pembuatan jalan bypass Manado – Bitung, pelebaran jalan Manado – Tomohon dan lain-lain.

 

 

Konon ceritanya, selang beberapa hari setelah proklamasi Permesta, Sumual dipanggil ke istana negara untuk berunding, namun setelah Presiden Soekarno menyatakan penolakan terhadap tuntutan Permesta tersebut, kelompok Sumual akan ditahan.

Berkat informasi dan bantuan teman-teman kalangan petinggi TNI, Sumual cs. lolos dari jebakan Soekarno dan berhasil pulang ke Manado.

 

Entoch pada bulan Agustus 1957, Presiden Soekarno masih berkunjung ke daerah ini, dan di hadapan ribuan massa dari seluruh Minahasa yang berkumpul di halaman depan Gereja Sion Tomohon (sekarang RS. Bethesda), dengan penampilannya yang khas Bung Karno: seragam putih-putih, peci hitam, dasi hitam, dan sepatu putih, si ‘penyambung lidah rakyat’ mengawali pidatonya dengan penuh wibawa: “Kepada Saudara-Saudara, saya perintahkan supaya semua kain spanduk dan bendera digulung agar kita dapat saling bertatap muka… dan supaya semua diam…” yang serentak dipatuhi oleh semua yang hadir.

 

 

Keadaan yang tadinya hiruk-pikuk dengan simpang siurnya lambaian bendera merah putih, lambang-lambang ormas dan spanduk dalam sekejap diturunkan dan semua terpaku diam.

 

 

Masih dalam lanjutan pidatonya untuk menyadarkan rakyat Minahasa akan keadaan yang tidak menentu, beliau dengan kebesaran jiwa seorang pemimpin bangsa berkata, “Kepada kamu rakyatku, ingin kutanyakan… dimana ibukota Republik Indonesia… bukannya Bukittinggi… bukan pula di Kinilow… ibukota Republik Indonesia tetap di Jakarta…” yang dijawab oleh teriakan ribuan suara berulang-ulang “Hidup Permesta… Hidup Permesta…” sambil melambai-lambaikan kembali bendera-bendera dan spanduk.

Mungkin pada saat berpidato Bung Karno sempat memperhatikan bahwa yang hadir sebagian besar terdiri dari generasi muda.

Dan sebagai orator yang tersohor sampai ke mimbar PBB di New York, lanjutnya, “Hai kamu kaum muda, kamulah patriot bangsa (kebetulan di depan panggung ada tumpukan musik membawa vandel ‘Musik Bambu Patriot’)… kamulah pengawal nusa dan bangsa… dan kamulah pemilik dunia… Berikan padaku seribu orang dewasa saya mampu memindahkan gunung Lokon… Berikan saya sepuluh pemuda, saya dapat menggoncang dunia.”

Orasi Soekarno yang membakar tersebut disambut dengan seruan lebih menggemuruh “Hidup Permesta…! Hidup Bung Karno…! Hidup Permesta…!” Terus-menerus secara emosional tak terkendali sehingga suara Soekarno tidak terdengar lagi.

Pada saat itu di antara spanduk dan lambang-lambang ormas, masih terlihat bendera merah dengan gambar palu-arit warna kuning dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Musuh nomor satu Permesta!

Maksud kunjungan Presiden Soekarno untuk meredakan suasana politik ternyata gagal.

 

Bahkan reaksi keras dari Ventje Sumual, sebagai pemimpin tertinggi Permesta, menantang Soekarno dengan menyatakan: Permesta putus hubungan dengan pemerintah Republik Indonesia, dan Sulawesi Utara dalam keadaan darurat perang (S.O.B).

 

 

Selanjutnya Sumual menyatakan Permesta bergabung dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera pimpinan Kol. Simbolon cs., yang kemudian memproklamirkan RPI (Republik Persatuan Indonesia), dan Sumual sebagai Menteri Pertahanan merangkap KSAD.

 

PROKLAMASI

Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia

pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya,  maka dengan ini kami nyatakan seluruh wilayah Teritorial VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya pemerintahan militer sesuai dengan pasal  129  Undang – Undang Dasar  Sementara, dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari
Republik Indonesia.

Segala  peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dalam
arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.

            Semoga   Tuhan   Yang   Maha   Esa  beserta
kita dan menurunkan berkat dan hidayatNya atas
umatNya.-

 

Makassar,  2  M a r e t   1957.-
Panglima Tentara & Territorial VII

tertanda

Letkol. H.N.V. Sumual
Nrp. 15958

 

Piagam Permesta

 

Dari markas Komando Staf TT VII Wirabuana di kompleks Termomandi (sekarang Indraloka) Kinilow, Ventje Sumual mengajak rakyat Minahasa bersiap membela Permesta.

Yang kemudian mendapat respons sehingga relawan terdaftar mencapai kurang lebih 30.000, terdiri dari ex-TNI, Veteran, ex-KNIL (Koninklijke Nedelandse Inlandse leger) yaitu bekas serdadu kerajaan Belanda dan kelompok milisi terbesar dari kalangan pemuda dan pelajar yang kemudian dinamakan TJAPER (Tjalon Pradjurit Permesta).

Untuk kaum perempuan dibentuk Pasukan Wanita Permesta (PWP), veteran dan pensiunan KNIL (dipanggil ‘Papo’) direkrut dalam kesatuan senjata berat (AA).

Sepak terjang Sumual membawa risiko yang harus dibayar mahal dengan hengkangnya tokoh-tokoh sipil dan militer dari seluruh Indonesia Timur yang semula mendukung dan turut menandatangani Piagam Perjuangan Semesta tersebut.

Kemudian Sumual menarik seluruh kesatuan TNI yang masih setia dari Sulawesi Tengah dan sebagian pasukan pimpinan Mayor De’ Gerungan menuju Sulawesi Selatan dan bergabung dengan DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kahar Muzakar.

 

51D Mustang, AUREV Permesta bantuan US

 

Kemudian Sumual perintahkan AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) membom Ambon, Palu dan Makassar.

Setelah Presiden Soekarno mendapat laporan tentang situasi di Minahasa yang ‘sampe rumpu so permesta’, beliau mengungkap kedongkolannya dengan berkata, “Sudah lama Minahasa menjadi duri di mataku.”

Dan langsung memerintahkan ABRI (TNI) segera melakukan operasi penumpasan terhadap gerakan Permesta di Minahasa, diawali dengan konsentrasi pasukan di Ambon dan Makassar, kemudian TNI menduduki Palu, Gorontalo dan Morotai.

*Tulisan Joseph F.N Ngangi – tumoutou.com

Tinggalkan Balasan