Runtu, Pahlawan Tak Terduga Dari Kema

Legenda419 Dilihat

Pada awal tahun 1800-an, di sebuah negeri pesisir bernama Kema, hiduplah seorang nelayan sederhana bernama Runtu.

Ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah dalam sekejap menjadi kisah penuh petualangan, bahaya, dan keberanian yang luar biasa.

Suatu hari, ketika sedang melaut seperti biasa, Runtu ditangkap oleh para bajak laut dari Mangindanao. Mereka menculiknya dan membawanya jauh ke Manila.

Namun, nasib baik belum sepenuhnya meninggalkannya. Saat para penculik lengah, Runtu diam-diam menyelinap ke sebuah kapal Eropa yang tengah bersandar di pelabuhan. Ia bersembunyi di dalam ruang kapal, menahan napas saat syahbandar memeriksa. Untungnya, ia tidak ditemukan.

Setelah sehari pelayaran, ia pun memberanikan diri muncul. Sang nakhoda dan para awak kapal merasa iba melihat kondisinya. Mereka pun mengangkatnya menjadi bagian dari kru, dan Runtu akhirnya menjalani hari-hari baru sebagai nelayan di kapal asing itu.

Beberapa waktu kemudian, kapal mereka berlabuh di Pulisan untuk menangkap ikan. Runtu bertugas memancing dengan perahu kecil saat malam hari. Malam itu, angin bertiup lembut ketika ia melaut sendirian. Sekitar pukul sepuluh malam, dari kegelapan muncullah sebuah perahu. Ternyata isinya tiga orang bajak laut Mangindanao. Mereka mengenali Runtu dan tanpa ampun menariknya ke perahu mereka, mengikat tangannya ke belakang meskipun Runtu memohon-mohon.

Duduk tak berdaya dalam perahu bajak laut, Runtu diliputi ketakutan. Ia membayangkan dirinya tak akan pernah lagi melihat istri, anak, atau kampung halamannya. Ia yakin kematian sudah menantinya.

Namun, saat mendengar potongan percakapan para penculik dalam bahasa Mangindanao, darahnya serasa membeku. Mereka tertawa-tawa sambil berkata, “Nanti sedap… sampai kenyang… banyak ikan!” Tawa mereka menggema di udara malam, dan Runtu menyadari dengan ngeri bahwa mereka berniat memakannya!

Dalam hati ia berdoa penuh harap, “Tuhan Yang Maha Kuasa, tunjukkanlah jalan untukku.” Perlahan, dengan sangat hati-hati, Runtu mulai menggosokkan tali pengikatnya ke tepi perahu. Setiap kali para bajak laut diam, ia ikut diam. Begitu mereka berbicara, ia lanjut menggosok.

Tengah malam tiba. Tali itu akhirnya putus.

Kini, hanya satu hal yang harus dilakukan: bertindak cepat.

Di dekatnya, sang jurumudi tampak mengantuk. Secepat kilat seperti harimau lapar, Runtu menyergap, merampas pedang dari pinggang sang jurumudi, dan membelah kepalanya dalam satu tebasan. Tubuh keduanya tercebur ke laut.

Kaget, dua bajak laut lainnya tidak sempat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dari air, Runtu berteriak dengan logat Mangindanao, “Lebih ke depan! Orang Kema itu lari!” Mereka pun mengejar ke arah yang salah.

Sementara itu, Runtu berenang ke pantai dan segera berlari menembus hutan menuju kampung halamannya.

Saat fajar menyingsing, kakinya menginjak kembali tanah tercinta—tanah Kema.

Ia selamat. Ia kembali. Dan kisahnya pun menjadi legenda di kampung halaman—kisah seorang nelayan biasa yang melawan takdir, menipu maut, dan pulang sebagai pahlawan.

 

Disalin dan diadaptasi dari Cahaya Siang, 1909 oleh Romy Toar Nonutu

Tinggalkan Balasan