Pembagian Wilayah Malesung

Artikel1316 Dilihat

Pemberontakan Golongan Pasiowan Telu

Pada masa pemerintahan tradisional Minahasa Tua, telah tersusun struktur sosial yang menjadi dasar pemerintahan.

Struktur ini terdiri atas tiga golongan utama yang masing-masing memiliki tugas tertentu:

 

1. Golongan Makarua Siow (Dua Kali Sembilan):

  • Terdiri dari para Tonaas sebagai pemimpin masyarakat dan sejumlah Walian sebagai pengatur dalam bidang keagamaan.
  • 2. Golongan Makatelu Pitu (Tiga Kali Tujuh):
  • Berperan sebagai pemerintah negeri sekaligus penjaga wilayah atau disebut Paendon Tua (Patuan) atau Pamatuan sebagai kepala walak/balak.

3. Golongan Pasiowan Telu (Tiga Orang Pasiowan):

  • Berasal dari rakyat biasa, terdiri atas individu-individu yang kuat dan berani, yang dipilih untuk tugas-tugas tertentu.

 

Awal Pemberontakan

 

Seiring waktu, masyarakat Minahasa mulai berinteraksi dengan suku-suku lain melalui perdagangan dan barter. Interaksi ini memperkenalkan mereka pada sistem pemerintahan lain, seperti kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja, Sultan, Kolano, Datu, atau Punu. Pemimpin seperti itu memiliki kekuasaan absolut, dihormati, dan disegani oleh rakyatnya.

 

Pengaruh ini menggoda sebagian anggota golongan Makarua Siow (pemimpin eksekutif) yang mulai menginginkan status dan kekuasaan serupa.

Mereka mencoba menerapkan sistem monarki di Minahasa yang sebelumnya hanya mengenal sistem pemerintahan kolektif berdasarkan tiga golongan tersebut.

 

Namun, perubahan ini ditentang keras oleh golongan Pasiowan Telu karena dianggap merugikan posisi mereka sebagai rakyat biasa.

Penolakan ini memicu pemberontakan besar-besaran di seluruh wilayah Minahasa.

 

Faktor Penyebab Pemberontakan

 

Menurut J.G.F. Riedel, konflik ini mencapai puncaknya pada abad ke-7. Beberapa sumber lain menyebut pemberontakan mulai terjadi sejak abad ke-5. Adapun penyebab utama pemberontakan meliputi:

 

1. Pelanggaran terhadap adat yang diturunkan oleh Opo Toar Lumimuut:

  • Golongan Makarua Siow dianggap memerintah secara sewenang-wenang.

 

2. Kesombongan dan tekanan terhadap golongan lain:

  1. Sikap arogan dari Makarua Siow membuat golongan Makatelu Pitu dan Pasiowan Telu merasa tertekan.

 

3. Distribusi kekuasaan yang tidak merata:

  • Golongan Makarua Siow cenderung memusatkan kekuasaan di wilayah tertentu, sehingga menimbulkan persaingan internal dan konflik dengan golongan lain.

 

Tuntutan Golongan Pasiowan Telu

 

Golongan Pasiowan Telu mengajukan sejumlah tuntutan, di antaranya:

 

1. Redistribusi tanah adat:

  • Mereka meminta agar lahan pertanian yang dikuasai golongan Makarua Siow dan Makatelu Pitu dibagikan secara adil kepada seluruh masyarakat.

2. Sistem pengangkatan pemimpin yang lebih demokratis:

  • Mereka menuntut agar pemimpin dipilih dari seluruh anggota masyarakat, bukan hanya berasal dari golongan tertentu.

 

Namun, tuntutan ini ditolak oleh golongan Makarua Siow dengan alasan tidak sesuai adat. Penolakan ini memicu ketidakpuasan yang lebih besar di kalangan Pasiowan Telu.

 

Konflik dan Kehancuran Tatanan Sosial

 

Pertikaian yang melibatkan ketiga golongan dan walak/balak di bawah kendali masing-masing tidak dapat dihindari.

Perang antar wilayah dan perebutan kekuasaan semakin meluas. Konflik ini juga merembet ke dalam keluarga besar (taranak), yang saling berebut lahan pemukiman dan pertanian.

 

Akibatnya:

  • Hukum adat tidak lagi dihormati.
  • Pembunuhan menjadi hal yang lumrah.
  • Kehidupan masyarakat Minahasa menjadi kacau dan tidak stabil.

 

Peperangan ini berlangsung lama tanpa penyelesaian yang jelas, menyebabkan kerusakan besar dalam tatanan kehidupan di Tanah Malesung.

 

Musyawarah di Watu Pinawetengan

 

Setelah perpecahan dan kekacauan di tanah Malesung akibat perang antar walak, para pemimpin Malesung menyadari pentingnya musyawarah untuk memulihkan harmoni dan persatuan.

Pada abad ke-7, sekitar tahun 670 M, musyawarah besar dilakukan di kaki Gunung Tonderukan, sebuah lokasi yang memiliki batu Tumotowa, tempat ritual poso diadakan.

 

Tokoh-tokoh penting yang memimpin musyawarah ini termasuk:

  • Muntu-Untu (Golongan Makatelu Pitu), dikenal sebagai pemimpin bijak.
  • Kopero (Golongan Pasiowan Telu), pemimpin muda yang berani dan pandai berbicara.
  • Mandey (Golongan Makarua Siow), turut menyumbangkan pemikiran dalam musyawarah.

 

Musyawarah ini melibatkan tiga kelompok utama keturunan Toar dan Lumimuut: Tounkimbut (Tompakewa/Tountemboan), Tounwulu, dan Tountewoh (Tonsea).

Mereka bersepakat untuk kembali ke ajaran leluhur yang mengedepankan musyawarah, persamaan gender, serta kedaulatan kolektif tanpa seorang raja yang memegang otoritas absolut.

 

Kesepakatan dan Hasil Musyawarah

 

Beberapa hasil penting yang dicapai meliputi:

1. Pembagian Wilayah

  • Tounkimbut/Tountemboan: Wilayah selatan-barat (Pegunungan Soputan).
  • Tounwulu/Tombulu: Wilayah barat laut dan tenggara.
  • Tountewoh/Tonsea: Wilayah utara-timur.
  • Toundanouw/Tolour: Wilayah sekitar danau (Tondano dan Tonsawang).

 

2. Prinsip Kehidupan dan Pemerintahan

  • Kepala pemerintahan dipilih berdasarkan usia, kejujuran, keberanian, dan wibawa.
  • Semua keputusan penting diambil melalui musyawarah.
  • Perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan setara.
  • Adat istiadat yang baik dipertahankan.

 

3. Keutuhan Identitas

  • Setiap suku diberi kebebasan mengembangkan adat, ritual, dan bahasa. Namun, mereka tetap dipersatukan sebagai keturunan Toar dan Lumimuut.

 

Lambang dan Penetapan Watu Pinawetengan

Musyawarah diakhiri dengan pembagian wilayah secara simbolis yang diabadikan melalui ukiran pada Watu Pinawetengan. Batu ini menjadi saksi sejarah dan simbol persatuan, pembagian wilayah, dan identitas suku-suku Malesung.

 

Anak Suku dan Wilayah

Setelah musyawarah selesai, setiap kelompok kembali ke wilayah yang telah ditentukan:

  • Tonsea: Timur Laut (Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi).
  • Tombulu: Utara (Tonaas Walian Mapumpun dan Tonaas Kekeman).
  • Tolour: Timur (Tonaas Singal).
  • Tontemboan: Barat Laut (Tonaas Kopero dan Tonaas Pandeiroth).

 

Sub Etnik Bantik

Legenda menyebutkan bahwa suku Bantik terlambat menghadiri musyawarah di Watu Pinawetengan, sehingga mereka tidak termasuk dalam pembagian wilayah.

Mereka kemudian menetap di daerah pantai seperti Malalayang, Kema, dan Ratahan.

 

Musyawarah ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Minahasa, yang tidak hanya menyatukan empat anak suku, tetapi juga menciptakan sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai leluhur yang menjunjung tinggi persatuan dan kebersamaan.

 

Pembagian Wilayah Malesung: Musyawarah Kedua di Watu Pinawetengan

 

Pada abad ke-7, melalui musyawarah adat di Batu Pinawetengan, wilayah Malesung dibagi berdasarkan pakasaan Tombulu, Tontewoh, dan Tongkimbut. Ketiga pakasaan ini menetap sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.

Namun, seiring waktu, pertumbuhan populasi, asimilasi budaya, dan permasalahan batas wilayah menimbulkan konflik internal yang melibatkan perebutan lahan perburuan dan tempat tinggal.

Dinamika Konflik di Malesung

 

Perselisihan mengenai batas wilayah awalnya dapat diselesaikan melalui musyawarah adat. Akan tetapi, percampuran dengan budaya pendatang melahirkan variasi baru dalam adat istiadat dan bahasa yang perlahan-lahan berbeda dari tradisi asli Malesung.

Akibatnya, beberapa kelompok suku memisahkan diri dari pakasaan induk.

Mereka membentuk masyarakat baru di lokasi yang dianggap aman, subur, dan memiliki sumber air melimpah.

Kelompok-kelompok ini biasanya terdiri dari individu-individu yang kuat, sehat, dan tangguh, mampu bertahan dalam kondisi sulit.

 

Namun, perbedaan aspirasi antara kelompok lama dan baru sering kali menyebabkan persaingan yang memperlemah persatuan Malesung. Lemahnya persatuan ini membuat wilayah mereka rentan terhadap ancaman luar, seperti serangan bajak laut Mindanou dan invasi Kerajaan Bolaang-Mongondow.

Musyawarah Kedua: Awal Persatuan Baru

 

Pada tahun 1428, menyadari ancaman yang semakin besar dari luar, para pemimpin adat mengadakan musyawarah kedua di Watu Pinawetengan.

Dalam musyawarah ini, diputuskan bahwa nama “Malesung” diubah menjadi “Minahasa.”

Nama ini berasal dari kata esa (satu) yang diberi awalan ma dan sisipan in, membentuk istilah yang berarti “menyatukan” atau “menjadi satu.”

Keputusan ini menandai awal penyatuan seluruh sub-etnik Minahasa yang sebelumnya terbagi berdasarkan bahasa dan dialek, yaitu:

  1. Tombulu (Tou in wulu): Mendiami wilayah barat laut Danau Tondano.
  2. Tonsea (Tou in sea): Berada di wilayah utara dan timur laut.
  3. Toulour (Tou in rano): Menempati daerah timur dan selatan Danau Tondano.
  4. Tontemboan (Tou in temboan): Bermukim di bagian selatan dan barat daya Minahasa.
  5. Tonsawang (Tou in sini): Berada di wilayah tengah dan tenggara.
  6. Pasan-Bangko-Ratahan: Daerah tenggara Minahasa.
  7. Ponosakan: Daerah tenggara lainnya, yang kemudian berasimilasi dengan Pasan.
  8. Bantik: Tersebar di wilayah pesisir barat, utara, dan selatan Manado.
  9. Babontehu & Siau: Tersebar di pulau-pulau sekitar Minahasa.

Dalam perkembangannya, beberapa sub-etnik seperti Pasan-Bangko dan Ponosakan, serta Bantik dan Babontehu, berasimilasi menjadi satu. Dengan demikian, Minahasa kini dikenal memiliki tujuh sub-etnik utama.

Filosofi Minahasa

 

Nama “Minahasa” mencerminkan kesepakatan luhur untuk selalu bersatu, sebagaimana dipesankan leluhur di Watu Pinawetengan. Dalam semangat Sitou Timou Tumou Tou, masyarakat Minahasa meneguhkan prinsip:

  • Maesa-esaan: Bersatu dalam satu tujuan.
  • Maleo-leosan: Saling mengasihi.
  • Magenang-genangan: Saling mengingat.
  • Malinga-lingaan: Saling mendengar.
  • Masawang-sawangan: Saling menolong.
  • Matombo-tomboloan: Saling menopang.

Filosofi ini memastikan bahwa orang Minahasa, di mana pun mereka berada, akan tetap bersatu. Sebagaimana amanat opo Karema, “Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan, tetapi tetap bersatu dan berjaya.”

Musyawarah sebagai Benteng Identitas

 

Musyawarah kedua ini tidak hanya memperkuat persatuan internal, tetapi juga menjadi landasan untuk menghadapi ancaman eksternal, termasuk dari bajak laut Mindanou, Kerajaan Bolaang-Mongondow, dan kekuatan kolonial Eropa. Nama Minahasa yang juga dilafalkan sebagai “Batasaina” oleh Portugis dan Spanyol menjadi simbol identitas yang kokoh di tengah arus perubahan zaman.

 

Sejarah Minahasa membuktikan bahwa persatuan adalah kunci bagi masyarakat yang menghadapi tantangan internal maupun eksternal. Musyawarah di Watu Pinawetengan, baik yang pertama maupun kedua, menjadi tonggak penting dalam membangun identitas dan keberlanjutan masyarakat Minahasa.

*Disadur dari tulisan Valry Prang

Tinggalkan Balasan