Sejarah
Tarian perang tradisional Minahasa yang dikenal dengan berbagai nama seperti Kabasaran, Kawasaran, Sakalele, Cakalele, Mahasau-sau, Opas, dan lainnya sudah ada sejak abad ke-16.
Tarian ini menggambarkan semangat patriotik rakyat Minahasa dalam membela dan mempertahankan tanah Minahasa dari ancaman musuh.
Dulu, tanah Minahasa sering mendapat ancaman dari suku Mangindanao (perompak/bajak laut) dan suku Bolaang-Mongondow.
Dalam situasi tersebut, para leluhur Minahasa membentuk pasukan yang kuat dan berani, yang terdiri dari pemuda-pemuda terpilih yang dilatih dalam pertempuran dengan senjata seperti pedang dan tombak.
Dari sini lahir para ksatria yang disebut *tauma* (bersifat jantan) dan *wuaya* (bersifat berani), yang merupakan militer pertama di Minahasa.
Tarian Opas/Sakalele ini dimulai sebelum para *waraney* (pejuang) berangkat ke medan perang setelah melakukan ritual *poso* untuk menambah semangat tempur.
Tarian ini juga dilakukan setelah pertempuran, saat para pejuang pulang membawa kemenangan.
Mereka merayakan kemenangan dengan gembira, mengelilingi api unggun, dan melakukan gerakan-gerakan perang dengan teriakan-teriakan (bakuku), wajah ekspresi ganas, dan mata melotot.
Penari tidak menyanyi, tetapi menari dengan melompat-lompat mengikuti irama tambur dan tetengkoren sambil berhadapan dengan pasangan yang dipilih sendiri.
Setelah perang berakhir, tarian ini tetap dilakukan pada upacara-upacara adat. Meskipun begitu, dalam kehidupan sehari-hari, para penari adalah petani atau rakyat biasa.
Jika Minahasa dalam keadaan perang, penari Kabasaran menjadi *waraney*. Tarian ini sering dipertunjukkan saat mengawal tokoh penting Minahasa, sebagai penyambutan tamu, atau hiburan dalam pesta adat.
Pada masa kolonial Belanda, pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah (Staatsblad Nomor 104 B, 1859) yang mengatur fungsi Kabasaran sebagai polisi desa atau *Opas*.
Tugas mereka meliputi mengawal pemimpin negeri dan tokoh masyarakat, menghadiri upacara adat, serta menjaga keamanan wilayah. Kabasaran bertugas selama 24 hari dalam setahun menjaga pos keamanan. Namun, setelah insiden pada 1901, di mana Kabasaran tewas membunuh tawanan yang melarikan diri, peran mereka sebagai polisi desa dihapuskan.
Tarian Kawasaran “Opas” Khas Rumoong-Lansot
Di Rumoong-Lansot, Kec. Tareran, tarian Kabasaran dikenal sebagai *Opas* (Polisi Desa), mengikuti nama yang tercantum dalam Staatsblad.
Dalam tarian ini, penari mengenakan pakaian dominan merah (raindang) dan hitam (wuring) serta membawa peralatan perang seperti tombak, pedang, dan perisai.
Kepala dihiasi dengan topi dari akar dan serabut pohon, serta bulu ayam atau burung. Gerakan tariannya dinamis, disertai dengan iringan tambur/genderang dan teriakan heroik seperti “I Yayat U Santi” yang berarti ‘Demi Kebenaran’, menunjukkan kesiapan menuju medan perang.
Tarian ini menggambarkan perilaku masyarakat Minahasa di bawah pimpinan para *tonaas* (pemimpin) untuk menghadapi tantangan.
Dalam pertunjukan tarian, perintah dari pemimpin Kabasaran (*Tonaas*) diikuti oleh penari yang melakukan berbagai gerakan seperti mengangkat kaki, mengayunkan tombak, dan membentuk barisan.
Gerakan tarian ini juga mengandung makna simbolis, seperti mempersiapkan diri untuk perang dan menunjukkan kekuatan serta semangat juang.
Susunan Gerakan dalam Tarian Opas:
1. Pendahuluan:
– Maator (Atur): Atur barisan.
– Wangunan!: Bangun dan rapikan barisan.
– Sumaru Monge/Mico: Barisan menghadap arah yang ditentukan.
– Iru’ut: Mengumpulkan tombak dan perisai.
2. Gerakan Awal:
– Timboyan tumbak keliit wangunan: Mengambil kembali tombak dan perisai.
– Tumondong Makapat Wangunan: Membentuk 4 barisan.
3. Gerakan Inti:
– Nomore: Hitung pasukan.
– Me’pat: Membentuk 4 barisan lagi.
– Mesaru: Saling berhadapan.
4. Gerakan Penutup:
– Lopat Masaru Mator: Melangkah sambil mengatur barisan.
– Mayak: Barisan berjalan.
– Mentok: Berhenti dan berdiri tegak.
Tarian ini mengakhiri dengan gerakan bebas yang menggambarkan kesiapan untuk bertempur satu lawan satu atau lebih, seperti ayam jantan yang bertarung.
Tarian Opas atau Kabasaran bukan hanya sekadar kesenian, tetapi juga bagian dari ritual hidup seorang *waraney*.
Melalui tarian ini, masyarakat Minahasa menunjukkan semangat juang, kekuatan, dan kebersamaan dalam mempertahankan tanah dan kehormatan mereka.
Disadur & diringkas dari Buku “Sejarah Neg’ri Rumoong-Lansot” oleh Drs. Valry S.H. Prang, 2007.