Otokritik Etis Terhadap Paguyuban Berbasis Kawanua

Opini2041 Dilihat

Istilah “Kawanua” menjadi cukup populer di berbagai kerukunan berbasis entitas Sulawesi Utara, bukan hanya populer secara local dan nasional tapi juga secara internasional.

 

Dalam persepsi umum, kawanua kerap di identikan dengan warga Sulut dengan segala ragam etnis dan religius yang telah hidup sekian lama dengan harmonis. Secara territorial etnis, Sulawesi Utara di dominasi oleh etnis Minahasa, etnis Nusa Utara, etnis Bolmong dan etnis pendatang lainnya seperti Gorontalo, Bugis, Ternate, Papua dan etnis lainnya.

 

Tidak heran, Sulawesi Utara identik dengan “ikon toleransi” yang sejuk di Indonesia. Sulawesi Utara menjadi sebuah “miniatur solidaritas” sekaligus menjadi “rumah pluralitas” yang di ikat oleh semangat “bhineka tunggal ika”. Bukan hanya etnis yang beragam, tapi juga kerukunan umat beragama benar-benar terpelihara lestari di provinsi yang populer di sebut “bumi nyiur melambai”.

Dalam situs Wikipedia, istilah “kawanua” sering di artikan sebagai penduduk negeri atau orang-orang yang Bersatu atau “Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata “kawanua” telah di yakini berasal kata “wanua”, di mana kata “wanua” berasal dari bahasa melayu tua (proto melayu) yang mengandung makna wilayah pemukiman.

Dalam kultur Minahasa, makna etimologis dan makna sosio-kultur dari “kawanua” memiliki makna filosofis yang dalam. Tapi dewasa ini, terminologi “kawanua” memiliki makna solidaritas yang memayungi ragam agama dan etnis bagi masyarakat Sulawesi Utara diaspora (masyarakat Sulawesi Utara perantauan di luar daerah dan luar negeri).

Secara ideal, kawanua adalah sebuah identitas kolektif yang selalu identic dengan semangat solidaritas, kekelurgaan dan gotong royong (mapalus).

Makna filosofis ini yang selalu menjadi latar belakang dan pendorong di dirikannya “paguyuban” berlabel kawanua, baik dalam ruang lingkup local, nasional maupun mancanegara. Kerukunan Kawanua dalam berbagai ruang masyarakat adalah bagian dari “kelompok social masyarakat” yang mendiami ruang-ruang pluralitas.

Sosiolog Jerman, Ferdinnand Tonnies membagi kelompok social menjadi dua bagian, yaitu “gemeinschaft” (paguyuban) dan “gesselschaft” (patembayan).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), paguyuban di artikan sebagai perkumpulan yang bersifat kekeluargaan dan di dirikan oleh orang-orang sepaham atau sedarah untuk membina persatuan  di antara sesama anggotanya.

 

Paguyuban adalah perkumpulan social yang lebih bersifat kekeluargaan, sedangkan patembayan adalah perkumpulan yang lebih bersifat sementara dan formal. Dengan kata lain, hubungan anggota paguyuban lebih erat dari patembayan.

KARAKTERISTIK PAGUYUBAN DAN PATEMBAYAN

Paguyuban, terbangun karena adanya perasaan kekeluargaan dan kasih sayang, bertujuan untuk meningkatkan rasa kebersamaan, masing-masing individu tidak saling menonjolkan untuk menjatuhkan lainnya, memegang teguh aturan atau adat lama, antar anggota memiliki ikatan batin, dan hubungan antar anggota bersifat informal (santai).

Paguyuban bisa di bangun karena adanya ikatan darah (solidaritas dari satu nenek moyang), paguyuban karena komunitas (kedekatan atau kesamaan wilayah/territorial), dan paguyuban karena ideologis (kesamaan ideologis).

Patembayan, tidak bersifat kekeluargaan dan ikatannya lebih lemah, kelompok bisa terdiri dari orang-orang dari latar belakang berbeda, hubungan anggota bersifat sementara, motivasi dari partisipasi karena kepentingan pribadi, memperhitungkan keuntungan atau nilai guna dari kelompok, dan hubungan antar anggota ada yang formal atau non formal.

Contoh patembayan adalah karyawan kantor yang terikat kontrak atau koalisi karena bargaining politik. Patembayan bersifat temporer dengan tujuan tertentu, Ketika tujuan tercapai maka bisa saja di bubarkan.

 

Hubungan patembayan sangat rapuh karena jika anggotanya tidak menerima keuntungan, setiap anggota bisa saja keluar dengan sendirinya.

Dari uraian di atas, maka bisa di pahami bahwa motivasi utama yang mendorong lahirnya paguyuban adalah “rasa senasib sepenanggungan”.

 

Di mana motivasi tersebut yang melahirkan solidaritas kolektif yang solid, meski dalam sebuah paguyuban tetap ada aspek majemuk dari segi agama, etnis, cara pandang, karakter atau status social. Secara konsekuen, paguyuban adalah “rumah ideal” yang bisa merawat sekaligus melestarikan semangat “bhineka tunggal ika”. Paguyuban adalah inkunbator kondusif untuk membumikan semangat “gotong royong”.

Paguyuban menghidupi filosofi kesetaraan dalam peribahasa “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Paguyuban bisa menjadi contoh dari kontekstualisasi konkrit dari kearifan local dalam masyarakat.

Sedangkan patembayan adalah realitas logis dari sebuah kelompok social yang melebur diri karena di dorong kepentingan rasional, dan karena itu cenderung bersifat tidak langgeng.

Dalam patembayan, kepentingan individual lebih menonjol daripada kepentingan kolektif.

Tidak heran, jika kompetisi/persaingan dalam patembayan bisa terjadi. Perekat utama dalam patembayan bukanlah hubungan alamiah tapi kepentingan rasional yang bersifat individual.

Patembayan adalah manifestasi konkrit dari corak manusia modern yang kental dengan kultur individualistic dan opurtunistik. Sekaligus menjadi realitas tragedi dari pudarnya nilai-nilai kearifan local dalam tradisi masyarakat modern.

OTOKRITIK ETIS TERHADAP PAGUYUBAN BERBASIS KAWANUA

Secara sederhana, makna otokritik terkait dengan evaluasi terhadap diri sendiri, bisa juga bermakna kritik terhadap diri sendiri. Pengertian dari “diri sendiri” bukan hanya mewakili person (pribadi), tapi juga bisa berkaitan dengan wujud identitas lainnya seperti entitas masyarakat, institusi formal/non formal atau lembaga formal/non formal.

 

Otokritik jangan selalu di maknai sebagai bentuk sentiment terhadap identitas tertentu. Kerap kali, otokritik bisa cukup pedas dan tajam di lontarkan, tapi kita harus tanggapi secara dewasa dengan pikiran positif.

 

Karena dengan adanya otokritik yang bersifat etis, logis dan bertanggung jawab akan mencegah kita terjebak dalam distorsi dan degradasi. Dengan adanya otokritik, membuat kita tetap bisa berpijak pada hal yang bersifat prinsip.

Di beberapa forum diskusi terkait kawanua dalam jejaring media social, ada fenomena menarik yang saya jumpai. Inisasi kelompok social dengan label “paguyuban” tapi isi di dalamnya adalah “patembayan”. Tidak heran jika eforia saat konsolidasi awal menggebu-gebu, tapi pada akhirnya berujung ricuh dan terpecah belah.

Dan fenomena ini akan kita jumpai pada basis kawanua yang di desain untuk menjadi tunggangan politik praktis. Sejatinya, paguyuban mengusung filosofi populer karena memiliki konsep solidaritas, kekeluargaan dan gotong royong. Filosofi ini yang kerap di peralat sebagai “isu populisme” sekaligus menciptakan “pembauran politis” dalam ruang akar rumput yang bersifat heterogen.

Konsekuensi logisnya, balkanisasi dan segregasi sesama entitas kawanua akan sangat runcing. Pada akhirnya akan menjadi tontonan yang kurang etis dalam ruang publik. Stigma negatif terhadap label kawanua secara otomatis terbangun, dan pada akhirnya memupuk apriori yang penuh sinisme, pesimise dan apatisme. Kerap kali, di dirikannya sebuah basis kawanua karena di dorong oleh hegemoni poltik praktis dalam ruang local dan nasional.

Eforia konsolidasi berlabel kawanua mewabah tapi di bangun dengan eksistensi yang bias. Akibatnya, paguyuban yang harusnya menjadi “rumah pluralitas” yang sejuk malah berubah menjadi “ring tinju politik”. Polemik akan terbangun bukan lagi karena “argument logis” penuh santun tapi di provokasi oleh “sentiment tendensius” yang kurang etis.

Apakah tulisan ini pertanda saya pribadi terlalu naif menilai realitas politik praktis? Tidak demikian! Sampai kapan pun, apapun situasinya, sebagai masyarakat yang hidup dalam ruang heterogen tak akan bisa memisahkan diri dari realitas politik. Antara paguyuban dan patembayan masing-masing memiliki ruang tersendiri yang harus kita sikap dengan bijak.

Ketika kemasan pagyuban di bangun tapi isinya adalah patembayan akan memicu konflik kepentingan yang destruktif. Cara-cara konsolidasi politis yang sifatnya “demagogis” dengan menunggangi paguyuban akan memicu bumerang fatal terhadap entitas kawanua. Bukan hanya solidaritas dalam pluralitas terancam koyak, tapi anak cucu kita akan kehilangan “kiblat keteladan” yang beradab dalam membangun solidaritas social masyarakat.

Tak bisa di pungkiri bahwa realitas politik praktis sangatlah pragmatis, tetapi bukan berarti kita harus meninggalkan etika kesantunan berpolitik dalam ruang public. Saya teringat perkataan Gus Dur, “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Jika politik meninggalkan asas kemanusiaan, maka politik akan menjadi buas.

Orientasi politik hanya focus bagaimana berkuasa tapi mengabaikan tanggung jawab membangun kemanusiaan. Kekuasaan politik harus di pahami bukanlah “tujuan utama” tetapi adalah “batu loncatan” untuk membangun kemanusiaan. Demokrasi dan politik di negara ini harus tetap memiliki “kewarasan” agar bisa menyajikan moralitas yang bermartabat.

Arena tarung politik selalu menciptakan situasi yang penuh volatilitas sehingga bisa memicu beragam relatifitas tidak terduga. Agar perjuangan politik tetap konsisten memiliki “nyawa perjuangan rakyat”, maka seorang figur harus siap untuk selesai dengan dirinya terlebih dahulu. Kematangan figur yang bisa melihat visi perjuangan rakyat jauh lebih penting dari kepentingan politik yang sifatnya pribadi atau kelompok. Rasa kecukupan diri sangat dibutuhkan agar sang figur tidak akan tergiur dengan perselingkuhan politik di bawah selangkangan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kesiapan untuk selesai dengan diri sendiri juga terkait dengan kompetensi personal yang mumpuni dalam mengelola lokus-lokus kekuasaan untuk menjawab kebutuhan kebijakan publik yang pro rakyat, pro transparasi, pro inovasi dan pro restorasi.

Semoga catatan ringkas ini bisa menjadi bahan “kontemplasi” sekaligus “evaluasi” bersama bagi kita sesama warga kawanua. Kita di besarkan oleh nenek moyang kita dengan berbagai nilai kearifan local berharga. Semangat dan tradisi solidaritas, kekeluargaan dan gotong royong (mapalus) harus selalu hidup dalam setiap tarikan nafas hidup kita. Bukan cuma sebatas koleksi filosofis dalam Pustaka intelektual, tapi menjadi nilai berharga yang membumi dalam setiap pikiran, perkataan dan perilaku kita sebagai warga kawanua. Setidaknya, isi tulisan saya tersimpul ringkas dalam sebuah slogan kawanua yang populer, “Torang Samua Basudara”.

Tinggalkan Balasan