Sebelum pendaratan 11-12 Januari 1942 dilakukan, Jepang secara aktif menyebarkan propaganda politik melalui Radio Tokyo, yang siarannya dapat diterima hingga wilayah Sulawesi Utara.
![](https://malesung.com/wp-content/uploads/2025/01/FB_IMG_1736433529831.jpg)
Jepang mengklaim bertujuan memerdekakan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan Barat, termasuk dari Belanda, dan menyerukan agar rakyat Indonesia menyambut kedatangan mereka sebagai saudara tua dalam semangat “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.”
![](https://malesung.com/wp-content/uploads/2025/01/FB_IMG_1736433688581.jpg)
Saat Jepang mendarat di wilayah ini, propaganda mereka, seperti semboyan “Jepang-Indonesia sama-sama Asia” dan “Nippon-Indonesia joto” (persekutuan baik Jepang-Indonesia), berhasil menarik simpati sebagian rakyat.
Banyak yang percaya bahwa Jepang sungguh-sungguh ingin membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Toko-toko milik orang asing dibuka paksa, dan rakyat dipersilakan mengambil isinya.
Jepang juga mengizinkan bendera Merah Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera Hinomaru, sebuah peristiwa yang terjadi di Tahuna (10 Januari 1942), Gorontalo (23 Januari 1942), dan Sulawesi Tengah.
Di Minahasa, beberapa tokoh nasionalis membentuk “Komite” untuk mengambil alih pemerintahan dari tangan Belanda.
Namun, komite tersebut kemudian dibubarkan oleh Jepang.
Pegawai sipil zaman Belanda diinstruksikan untuk tetap bekerja seperti biasa, sementara para tahanan politik seperti G.E. Dauhan, O.H. Pantouw, M.B. Tumbe, dan J.U. Mangowal dibebaskan.
Para tokoh ini kemudian membantu Jepang, meskipun tujuan utama mereka adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Aktivitas Olahraga dan Kesenian
Pada masa pendudukan, Jepang mendorong aktivitas olahraga dan kesenian.
Di Manado, lapangan sepak bola Tikala kembali ramai digunakan oleh pemuda-pemudi sejak Juni 1942.
Tokoh Jepang seperti Kodama dan Kato bahkan terlibat langsung melatih mereka.
Bersama Arnold Mononutu, mereka membentuk organisasi olahraga pemuda pada 15 Juli 1942, dengan 30 tokoh pemuda Minahasa turut hadir.
Tahun 1943, organisasi ini diperluas untuk mencakup bidang kesenian.
Pada 1โ14 Oktober 1943, mereka mengadakan Pekan Olahraga dan Kesenian di lapangan Sparta Tikala dan gedung pemerintahan kota.
Acara ini diikuti oleh berbagai kontingen dari seluruh keresidenan, dengan kegiatan seperti sepak bola, tinju, yudo, silat, orkes keroncong, hingga seni lukis.
Namun, rencana mengulang pekan tersebut pada 1944 gagal karena situasi perang yang semakin genting akibat serangan Sekutu.
Pendidikan dan Propaganda Jepang
Dalam bidang pendidikan, Jepang mengambil alih semua sekolah dan mendirikan lembaga pendidikan baru, seperti Menado Nippon Go Gakko I (5 Maret 1942) dan II (28 Maret 1942).
Institusi lain seperti Menado Gaku En, Menado Cuu Gakko, dan Tomohon Syihan Gakko juga didirikan.
Pendidikan digunakan untuk menyebarkan semangat pro-Jepang kepada seluruh lapisan masyarakat.
Namun, tokoh nasionalis seperti Arnold Mononutu, B.W. Lapian, G.E. Dauhan, dan lainnya terus mengingatkan rakyat agar tidak melupakan perjuangan menuju kemerdekaan.
Pada 1943โ1944, mereka mendirikan Angkatan Muda Indonesia (AMI) di Manado sebagai wadah perlawanan tersembunyi.
Dengan dalih olahraga, AMI diam-diam menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda.
Beberapa anggotanya, seperti Elsje Dauhan, Eddy Gagola, dan Filip Parengkuan, kemudian menjadi tokoh penting dalam organisasi Badan Penyelidik Nasional Indonesia (BPNI) yang dibentuk pada Agustus 1945.
![](https://malesung.com/wp-content/uploads/2025/01/a7573bbb-41e8-4cb0-b4cd-fbcf4b40d8c3.jpeg)
Interaksi Politik dan Perlawanan
Di Sulawesi Utara, pendudukan Jepang memberikan peluang bagi terbentuknya organisasi politik dan sosial yang terkait dengan perjuangan nasional.
Meskipun Jepang menggunakan propaganda untuk mengendalikan rakyat, semangat perlawanan terhadap penjajahan tetap terjaga, dan Sulawesi Utara memainkan peran penting dalam upaya mencapai kemerdekaan Indonesia.
*Sejarah revolusi kemerdekaan (1945- 1949) daerah sulawesi utara – kemdikbud Indonesia