Jabatan Hukum Tua di Minahasa dikenal sebagai sebuah posisi adat yang bergengsi, bernilai tinggi, dan kerap menjadi dambaan banyak orang.
Tidak sedikit yang rela mengorbankan harta benda demi menjadi kandidat untuk memperebutkan jabatan ini.
Fenomena ini mencerminkan betapa besarnya daya tarik dan kehormatan yang melekat pada posisi tersebut.
Hal serupa juga terlihat di Negeri Kauditan, Tonsea, ketika diadakan pemilihan Hukum Tua baru pada 15 Maret 1941.
Pemilihan ini dilaksanakan setelah Hukum Tua sebelumnya, Tuan L.G. Lengkong, meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya.
Proses pemilihan dipimpin oleh Hukum Besar, Hukum Kedua, dan dua orang Hukum Tua senior dari Distrik Tonsea yang bertindak sebagai panitia.
Proses Pemilihan dan Hasilnya
Pemilihan diikuti oleh delapan calon, dan berikut hasilnya:
1. Josis Pangemanan: Putaran I = 30 suara, Putaran II = 17 suara
2. Jacob Pangemanan: Putaran I = 35 suara, Putaran II = 10 suara
3. Frans Pangemanan: Putaran I = 68 suara, Putaran II = 120 suara
4. Ferdinand Punuh: Putaran I = 61 suara, Putaran II = 74 suara
5. Arie Rottij: Putaran I = 69 suara, Putaran II = 123 suara (Pemenang)
6. Saverius Rottij: Putaran I = 38 suara, Putaran II = 4 suara
7. Robert Siwij: Putaran I = 39 suara, Putaran II = 18 suara
8. Djoromus Tirajoh: Putaran I = 28 suara, Putaran II = 4 suara
Tuan Arie Rottij akhirnya keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara terbanyak, yakni 123 suara di putaran kedua.
Perjuangan Kandidat dan Kebiasaan “Sumakey
Dari delapan kandidat tersebut, empat di antaranya (Josis, Jacob, Frans, dan Ferdinand) telah tiga kali mengikuti pemilihan serupa sejak tahun 1930 dan 1932, tetapi belum pernah berhasil meraih posisi Hukum Tua.
Sementara itu, empat kandidat lainnya baru pertama kali ikut serta pada tahun 1941, dan salah satu dari mereka, Arie Rottij, akhirnya berhasil menjadi pemenang.
Namun, yang menarik perhatian dalam pemilihan ini bukan hanya persaingan antar-kandidat, melainkan juga kebiasaan adat yang dikenal sebagai “Sumakey” (makan bersama).
Kebiasaan ini berperan besar dalam menentukan hasil pemilihan. Para kandidat biasanya mengadakan pesta atau jamuan makan untuk menarik simpati para pemilih.
Sejak pengumuman pencalonan pada November 1940 hingga waktu pemilihan pada Maret 1941, diperkirakan kerugian kolektif yang diderita oleh para kandidat mencapai 3.000 gulden.
Jumlah ini belum termasuk waktu dan tenaga rakyat yang tersita serta pengeluaran tambahan lainnya. Fenomena ini memunculkan pertanyaan:
– Apakah masyarakat Minahasa dapat meninggalkan kebiasaan “Sumakey” yang menguras sumber daya?
– Apakah pemerintah seharusnya campur tangan untuk mengatur kebiasaan tersebut agar lebih efisien dan adil?
Refleksi dan Harapan
Pemilihan Hukum Tua di Kauditan Tonsea menunjukkan betapa tingginya antusiasme masyarakat terhadap jabatan ini, meskipun di sisi lain ada pengorbanan besar yang harus dilakukan oleh para kandidat.
Kebiasaan seperti “Sumakey” mungkin telah menjadi bagian dari budaya, tetapi dampak finansial dan sosialnya perlu menjadi bahan diskusi di masa depan.
Apakah kebiasaan ini akan terus berlanjut, atau akan ada reformasi dalam tradisi pemilihan di Minahasa?
Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, yang pasti, jabatan Hukum Tua tetap menjadi simbol kebanggaan dan kehormatan di tanah Minahasa.
Sumber: Koran Keng Hwa Poo (disalin dan disesuaikan bahasanya oleh Romy Toar Nonutu)