Konflik dan perang pada masa pra-sejarah di Minahasa tidak terhitung jumlahnya.
Beberapa peristiwa masih diingat oleh masyarakat Minahasa, tetapi banyak lainnya telah dilupakan.
Salah satu suku yang kurang mendapat perhatian dalam catatan sejarah adalah Suku Bantik.
Penulis Eropa pada abad ke-18 hingga 20 jarang mencatat tentang Suku Bantik, mungkin karena sifat mereka yang tertutup dan kuat berpegang pada tradisi serta kepercayaan mistis.
Bahkan, mereka merupakan salah satu suku yang paling akhir menerima agama Kristen.
Untungnya, Dr. J.G.F. Riedel, anak dari Zendeling Riedel di Tondano, pada pertengahan abad ke-19 berusaha mengumpulkan dan mendokumentasikan sejarah yang masih diingat dalam bukunya:
“Inilah pintu gerbang pengetahuwan itu apatah dibukakan guna orang-orang padudokh tanah Minahasa ini; Artinya pada menjatahkan beberapa perkara deri pada hikajatnya tuwah tanah Minahasa sampet pada kedatangan orang kulit putih Nederlanda itu.”
Asal Usul Orang Bantik
Menurut catatan, nenek moyang Suku Bantik berasal dari Pulau Panimbulrang di dekat Talaud.
Mereka dipimpin oleh Rombogijah dan Subuh, yang menyusuri pantai hingga tiba di Palekoh, Bolaang Mongondow (sekarang Tanjung Flesko).
Perjalanan mereka berlanjut ke Sumoit di Bolaang Utara. Raja Bolaang, Loloda Mokoagow, membawa mereka ke Maadon, sebuah negeri tua dekat Kema.
Dari sana, mereka pindah ke Kahoh (antara Maumbi dan Kairagi), tempat mereka mulai dikenal sebagai Toun Wantik (Orang Bantik).
Kelompok lain dari Sumoit memilih rute berbeda.
Ada yang pindah ke Pontak di Ranoyapo, Amurang, sementara lainnya menuju Gunung Bantik di dekat Negeri Senduk, Tombariri.
Kelompok dari Gunung Bantik akhirnya berpindah ke Minanga (sekarang Minahasa Selatan), termasuk daerah Bahu dan Malalayang.
Penyebaran dan Peristiwa Penting
- Wilayah Utara:
Dari Kahoh, Suku Bantik melintasi Sungai Tondano menuju Singkil, kemudian menyebar ke Bailang, Buha, Bengkol, Pandu, Meras, Molas, dan Talawaan Bantik. Wilayah ini membentuk komunitas Bantik di Manado Utara. - Wilayah Selatan:
Kelompok lain dari Gunung Bantik menetap di Malalayang dan Kalasey, yang kemudian dikenal sebagai Minanga. Wilayah ini menjadi pusat komunitas Bantik di Manado Selatan. - Bentrok dengan Tombulu:
Salah satu konflik terbesar terjadi antara Suku Bantik dan Suku Tombulu Kakaskasen antara tahun 1760-1770. Pertempuran ini berujung pada penghancuran Tateli dan pembakaran Lotta, ibu kota Walak Tombulu Kakaskasen. - Hubungan dengan Bolaang Mongondow dan Belanda:
Suku Bantik masih memberikan upeti kepada Raja Bolaang hingga adanya perjanjian dengan VOC Belanda pada 10 September 1699. - Integrasi ke Manado:
Distrik Bantik baru resmi menjadi bagian dari Manado pada 1 Juli 1919, setelah status Manado ditingkatkan menjadi kotapraja dengan perangkat dewan. Sebelumnya, distrik ini berdiri sendiri, terpisah dari Manado Baru yang dibentuk pada 7 Juni 1884.
Keunikan Wilayah Bantik
Saat ini, komunitas Bantik di Manado terbagi menjadi dua wilayah besar:
- Manado Utara: Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Meras, Molas, Pandu, dan Talawaan Bantik.
- Manado Selatan: Minanga (Malalayang dan sekitarnya).
Penutup
Sejarah Suku Bantik menunjukkan perjalanan panjang dan perjuangan untuk mempertahankan identitas mereka di tengah berbagai konflik dan migrasi. Meskipun kurang tercatat dalam literatur Eropa, warisan mereka tetap hidup melalui tradisi dan wilayah yang mereka tinggali hingga kini.
Tangkoho Bada… Banti Taya Mababata!
(Terima kasih. Semoga kita selalu diberkati).
Penulis Meers Malky Tzedek