Bennie Walangitang: Serdadu Minahasa yang Gugur di Perang Vietnam

Latar Belakang Keluarga dan Asal-Usul

Bennie Walangitang, yang memiliki nama lengkap Benjamin Thomas Walangitang, adalah seorang pria keturunan Minahasa yang mencatatkan kisah hidupnya sebagai prajurit di dua perang besar.

Ia lahir pada 10 November 1934 di Banjarmasin, hanya berselisih satu hari dari ulang tahun ayahnya, Benjamin Thomas Walangitang Sr., seorang mantan perwira tinggi di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

Dari sisi garis keluarga, Bennie adalah bagian dari trah terpandang di Minahasa.

Marga Walangitang berasal dari suku Tombulu, sedangkan garis ibunya, Wilhelmina Mamahit, juga berasal dari keluarga Minahasa.

Kakek Bennie, Willem Walangitang, pernah menjabat sebagai Hukum Besar di Tanawangko, setara dengan jabatan wedana di Jawa.

Keluarga ini juga memiliki hubungan kerabat dengan keluarga Alexander Herman Hermanus Kawilarang, ayah dari Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang, pendiri Kopassus (Komando Pasukan Khusus) Indonesia.

Bennie adalah anak bungsu dari pasangan Benjamin Walangitang Sr. dan Wilhelmina Mamahit, dengan kakak-kakaknya meliputi Willem Lucas Walangitang (1920), Helena Elisabeth Walangitang (1922), Thomas Lodlrijk Walangitang (1925), dan Nicoline Walangitang (1926).

 

Perjalanan Ayahnya sebagai Perwira KNIL

Ayah Bennie, Benjamin Walangitang Sr., adalah perwira KNIL dengan pangkat Mayor, sebuah jabatan bergengsi pada masa kolonial.

Pangkat ini diperoleh setelah pengabdiannya bertahun-tahun. Pada 1935, ia pensiun dengan pangkat mayor, sebuah posisi yang memungkinkan keluarganya hidup sejahtera.

Pada masa itu, seorang mayor KNIL memiliki gaji yang cukup untuk membeli rumah dan mobil mewah.

Namun, kehidupan nyaman itu berakhir ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942.

Sebagai seorang perwira, Benjamin Walangitang Sr. kembali diaktifkan untuk melawan Jepang.

 

Sayangnya, seperti banyak prajurit KNIL lainnya, ia menjadi tawanan perang Jepang.

Pada 1944, ia dipaksa naik ke kapal pengangkut tawanan bernama Junyo Maru, yang direncanakan menuju Burma (Myanmar) untuk proyek kerja paksa. Namun, di tengah perjalanan, kapal Junyo Maru ditorpedo oleh kapal selam Inggris HMS Tradewind di lepas pantai Muko-Muko, Bengkulu, pada 19 September 1944.

Sebanyak 6.000 tawanan, termasuk Benjamin Walangitang Sr., meninggal dunia di lautan Samudra Hindia.

Berita kematian itu baru sampai ke keluarga beberapa waktu kemudian.

 

Masa Kecil dan Kehidupan di Belanda

Setelah kematian ayahnya, kehidupan keluarga Walangitang berubah drastis. Ibu Bennie, Wilhelmina Mamahit, terpaksa menjadi kepala keluarga.

Bennie dan keluarganya sempat tinggal di kamp tawanan Jepang, di mana mereka menghadapi perlakuan kejam dari tentara Jepang.

 

Kakak-kakak perempuan Bennie pun menghadapi bahaya besar karena tentara Jepang terkenal kejam terhadap perempuan muda.

Bennie yang masih kecil kemungkinan luput dari siksaan berat.

Setelah Perang Dunia II berakhir, keluarga Walangitang pindah ke Belanda sebagai pengungsi.

Di sana, Wilhelmina bekerja sebagai juru tulis di kantor pos milik pemerintah Belanda.

Salah satu kakak laki-laki Bennie mengalami trauma berat akibat kekejaman tentara Jepang dan kesulitan bekerja secara normal.

Meski hidup sebagai pengungsi, Bennie perlahan tumbuh dewasa.

 

Perjalanan ke Amerika Serikat

Setelah melalui masa sulit di Belanda, Bennie berusaha mencari kehidupan yang lebih baik.

Pada 26 September 1960, ia berangkat ke Amerika Serikat menggunakan paspor Belanda dan didukung oleh Pelayanan Gereja Dunia (World Church Service).

 

Ia tiba di New York dan kemudian menetap di Auburn, Indiana, di mana ia ditampung sementara oleh pasangan Arie van Straten dan istrinya.

Seperti Bennie, Arie juga seorang warga negara Belanda.

Awalnya, Bennie menghadapi kesulitan karena tidak memiliki pekerjaan.

Sebuah artikel di Garrett Clipper, koran lokal di Indiana, edisi 3 November 1960, mencatat bahwa Bennie sedang mencari pekerjaan demi bertahan hidup di Amerika Serikat.

 

Bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF)

Pada awal 1961, Bennie berhasil masuk Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF), meskipun saat itu ia belum memiliki status kewarganegaraan AS.

 

Ia ditempatkan di Wing Taktis Tempur ke-336 dan bertugas di divisi pemeliharaan.

Dengan dedikasi dan kemampuannya, Bennie berhasil naik pangkat hingga Sersan (Sergeant). Pada saat itu, ia tinggal di Dayton, Ohio.

 

Pengiriman ke Perang Vietnam

Pada 11 September 1968, Bennie dikirim ke Quang Nam, Vietnam Selatan.

Di Vietnam, ia bertugas sebagai bagian dari pasukan pemeliharaan dan logistik.

Wilayah Quang Nam adalah salah satu lokasi strategis dalam Perang Vietnam, sering menjadi sasaran serangan pasukan gerilya Viet Cong.

 

Kematian di medan perang

Pada 22 Agustus 1969, pangkalan militer di Quang Nam diserang oleh tembakan roket dari pasukan Viet Cong.

Serangan tersebut menghantam barak tempat Bennie berada, yakni barak nomor 933. Bennie tewas dalam serangan itu.

Kematian ini membuatnya menjadi salah satu dari ribuan prajurit AS yang gugur di Vietnam.

 

Penghormatan dan Warisan

Setelah kematiannya, jenazah Sersan Bennie Walangitang dimakamkan di Arlington National Cemetery, Virginia, sebuah tempat pemakaman bergengsi bagi prajurit dan tokoh penting Amerika Serikat.

Ia dimakamkan di Sektor 51, Situs 2966. Sebagai korban perang Vietnam, nama Bennie juga diabadikan di Vietnam Veterans Memorial Wall, sebuah dinding peringatan di Washington D.C., pada panel 19W, baris 99.

Meski memiliki darah Minahasa, Bennie diakui sebagai pahlawan perang Amerika Serikat.

Keberadaannya diabadikan dalam arsip-arsip dan catatan perang Amerika, terutama melalui memorial-memorial resmi.

Namanya dikenang bersama ribuan prajurit lain yang gugur di Perang Vietnam, sebuah perang yang menyisakan trauma besar bagi generasi Amerika.

Bennie Walangitang adalah simbol pengorbanan dan keberanian, baik bagi keluarga besarnya di Minahasa, Belanda, maupun Amerika Serikat.

Dari seorang anak kecil yang selamat dari kamp tawanan Jepang, ia menjadi prajurit yang ikut berperang dalam konflik besar lainnya di Vietnam.

Kisah hidupnya mencerminkan perjuangan diaspora Indonesia, khususnya warga Minahasa, yang tersebar di berbagai penjuru dunia akibat perang dan politik kolonialisme.

 

 

Warisan Bennie Walangitang tak hanya tertulis di Vietnam Veterans Memorial Wall, tapi juga di hati keluarga besarnya dan komunitas diaspora Indonesia di Belanda dan Amerika Serikat.

Dari seorang anak yang terpisah dari ayahnya akibat torpedo Inggris, ia akhirnya mengukir namanya di barisan pahlawan perang Amerika.

Tinggalkan Balasan