Sejarah Berdirinya Desa Wiau Lapi Minahasa

Desa, Profil2330 Dilihat

Desa Wiau Lapi, yang terletak di Kecamatan Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, memiliki sejarah panjang yang berakar pada dua pemukiman awal, yaitu Wiau dan Lapi.

 

Nama desa ini diambil dari kedua pemukiman tersebut, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah lokal. Desa ini kini terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Wiau Lapi dan Wiau Lapi Barat.

 

Awal Mula Kampung Wiya’u (1670)

Kampung Wiya’u, yang didirikan pada tahun 1670, awalnya terletak di sebelah timur desa Wiau Lapi saat ini, tepatnya di selatan pekuburan umum Wiau. Pemukiman ini dibangun di antara pohon-pohon Kemiri, yang dalam bahasa Tountemboan dikenal dengan nama “Wiya’u.”

 

Seiring berjalannya waktu, kampung ini harus berpindah lokasi akibat serangan wabah penyakit yang melanda pada tahun 1800 (kemungkinan kolera). Para penduduk pun menetap di barat, sekitar rumah keluarga Senduk Somba.

 

Di sini, mereka menemukan pohon manggis tua yang kini dikenal sebagai “Mangustang,” yang menjadi salah satu simbol dari perubahan lokasi tersebut.

 

Kepala desa pertama, TUMEWANG, menjabat dari 1670 hingga 1710. Selain dikenal sebagai seorang pemberani, ia juga berperan sebagai mediator dalam banyak peperangan, termasuk yang terjadi di desa Warembungan dan Langowan.

 

Tumewang memiliki kemampuan luar biasa dalam meredakan ketegangan dengan menggunakan sapu lidi dan daun woka—keahlian yang membuatnya dihormati.

 

Tanda sejarah adanya pemukiman tua di Wiya’u dapat ditemukan melalui batu yang disebut Watu Tumani atau Tumotowa, sebuah batu bersejarah yang menjadi penanda berdirinya kampung. Batu ini ditemukan di depan rumah Om Bung Mondoringin dan pernah dibongkar saat pembangunan jalan Wiau Lapi, namun alat yang digunakan untuk membongkarnya rusak, menandakan adanya kekuatan tak kasat mata yang melindunginya.

 

Kampung Lapi dan Legenda Dotu Lonsu (1679)

Pada tahun 1679, Kampung Lapi mulai dibangun oleh Dotu Lonsu, seorang tokoh yang berasal dari Rumoong. Dotu Lonsu membuka lahan perkebunan di sekitar kampung Lapi yang kini dikenal dengan lokasi sekitar rumah keluarga Prok Manengkey hingga belakang SD Inpres.

 

Salah satu kebiasaan masyarakat Minahasa saat itu adalah menanam jagung di “sabua,” atau tempat pengeringan jagung yang juga berfungsi sebagai lumbung.

 

Dotu Lonsu terkenal akan keahlian dalam bercocok tanam, sehingga hasil pertaniannya selalu melimpah.

 

Cerita mengenai penamaan Lapi berasal dari kebiasaan lumbung yang terlalu penuh dengan hasil panen jagung, hingga bambu penyangga lumbung sering patah.

 

Kata “le’pi” dalam bahasa Minahasa berarti patah, yang kemudian menjadi nama kampung tersebut—Lapi. Keberhasilan dalam bercocok tanam ini mencerminkan kecerdikan dan kedekatan masyarakat dengan alam sekitar mereka.

 

Penyatuan Kampung Wiya’u dan Lapi (1890)

 

Pada tahun 1890, dua kampung ini akhirnya dipersatukan setelah sekian lama mengalami konflik dan peperangan antar kampung. Perselisihan ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dialek bahasa yang digunakan oleh kedua kelompok.

 

Orang Lapi berbicara dalam dialek Tountemboan, sementara orang Wiau menggunakan dialek Makela.

 

Berkat inisiatif dari Abram Sinaulan, kedua kampung akhirnya disatukan di bawah kepemimpinan Arnold Kalangi, kepala kampung pertama setelah penyatuan tersebut.

 

Tujuan dari penyatuan ini tidak hanya untuk menghindari perselisihan, tetapi juga untuk menghindari tekanan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa itu.

Penyatuan ini merupakan langkah penting dalam menciptakan kedamaian dan persatuan antar dua komunitas yang berbeda.

 

Perkembangan Desa Wiau Lapi

 

Pada tahun 2011, desa Wiau Lapi mengalami pemekaran menjadi dua desa terpisah: Desa Wiau Lapi dan Desa Wiau Lapi Barat.

Meskipun terpisah, kedua desa ini tetap saling terhubung oleh sejarah yang panjang dan penuh makna.

 

Seiring berjalannya waktu, kampung ini terus berkembang menjadi salah satu desa yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat kaya di Kabupaten Minahasa Selatan.

 

Desa Wiau Lapi bukan hanya sebuah tempat tinggal, tetapi juga saksi bisu dari perjuangan, perubahan, dan kehidupan masyarakat Minahasa Selatan yang tak terhitung jumlahnya.

 

Sejarah panjang yang tercatat dalam setiap batu, pohon, dan jalan-jalan kampung ini mengajarkan kita tentang kekuatan kebersamaan dan pentingnya melestarikan warisan budaya.

 

Sumber: “Sejarah Wiau Lapi – 116 Tahun Desa Wiau Lapi” oleh Alfian Walukow, 2008.

Tinggalkan Balasan