Latar Belakang dan Kehidupan Awal
Johanna Tumbuan, yang lebih dikenal sebagai Jo Masdani, lahir pada 29 November 1910 di Amurang, Minahasa, dari keluarga pengusaha perkebunan yang kaya dan terpandang.
Sejak kecil, Johanna telah menunjukkan bakat kepemimpinan dan keberanian.
Ia menempuh pendidikan dasar di Tomohon, Sulawesi Utara, sebelum melanjutkan ke sekolah menengah dan universitas di Jakarta.
Orang tuanya berharap Johanna akan menempuh pendidikan kedokteran, tetapi ia justru memilih Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia.
Pilihan ini mengukuhkan perannya sebagai perempuan yang mandiri dan tegas dalam menentukan jalan hidupnya.
Pendidikan tingginya diselesaikan pada tahun 1961, dan ia kemudian memperdalam ilmu psikoterapi di Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda.
Peran dalam Pergerakan Kemerdekaan
Sebagai pemudi yang aktif dalam organisasi Jong Celebes dan kepanduan, Johanna Masdani menjadi salah satu dari 71 pemuda yang menghadiri Kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928.
Dalam kongres yang berlangsung di Weltrevreden (sekarang kawasan Gambir) dan Indonesisch Clubhuis di Kramat 106 Jakarta Pusat, Johanna turut menyaksikan pembacaan Ikrar Sumpah Pemuda yang dipimpin oleh Sugondo Joyopuspito.
Semangat kebangsaan yang membara dalam kongres itu menggetarkan jiwa mudanya.
Selama masa pergerakan kemerdekaan, Johanna sering kali menjadi gadis di balik tirai yang bekerja secara diam-diam untuk membantu para tokoh perjuangan.
Ia aktif menggalang dana ketika Bung Hatta, Ali Sastroamidjojo, dan Datuk St. Pamuntjak ditangkap oleh Belanda.
Bersama rekan-rekannya, Johanna menghimpun dana guna membayar pengacara yang membela para tokoh pergerakan tersebut.
Sebagai bentuk penggalangan dana, Johanna juga terlibat dalam pementasan teater (tonil) di Gedung Kesenian, Pasar Baru, Jakarta.
Ia memerankan tokoh Candra Kirana dalam lakon Ken Arok dan Ken Dedes bersama Ibu Sud, Mr. Rusli, dan Dr. Roesmali.
Perannya ini membuat wajahnya terpampang di majalah d’Orient, yang sempat memicu kemarahan orang tuanya hingga mereka memutuskan bantuan finansial untuknya.
Namun, keputusan itu justru membuat Johanna semakin mandiri sebagai perempuan rantau di Jakarta.
Saksi Proklamasi Kemerdekaan
Johanna Masdani juga tercatat sebagai salah satu saksi sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Ia hadir di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, saat Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan teks Proklamasi.
Sebagai seorang pejuang perempuan, ia memiliki pandangan bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih tanpa peran perempuan.
Dalam catatannya, Johanna pernah menulis,
“Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan, Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
Tidak hanya sebagai saksi, Johanna juga terlibat dalam pembangunan tugu sederhana di halaman rumah Bung Karno sebagai penanda momen bersejarah tersebut.
Meskipun tugu tersebut kemudian dibongkar oleh Bung Karno, sebuah tugu baru dibangun kembali pada 1980-an untuk memperingati peristiwa tersebut.
Peran Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Johanna Masdani melanjutkan kiprahnya sebagai pendidik dan pejuang sosial.
Ia sempat menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, ketika bantuan finansial dari orang tuanya dihentikan.
Sebagai pendidik, ia membantu generasi muda mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Johanna juga aktif dalam organisasi sosial, termasuk Palang Merah Indonesia (PMI) dan organisasi kepanduan Pandu Rakyat Indonesia.
Selain itu, ia berperan aktif dalam Pemuda Puteri Indonesia, sebuah organisasi yang berfokus pada pengembangan generasi muda perempuan di Indonesia.
Pada tahun 1961, Johanna lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan kemudian menjadi dosen di almamaternya.
Ia mengajar di Departemen Psikiatri dan menjadi dosen yang dihormati oleh para mahasiswanya.
Setelah kematian suaminya, Masdani, pada Oktober 1967, Johanna mengambil kesempatan untuk melanjutkan pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris, memperkuat keahliannya di bidang psikologi dan psikiatri.
Penghargaan dan Pengakuan
Johanna Masdani menerima berbagai penghargaan dari pemerintah Indonesia atas kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Beberapa penghargaan yang ia terima meliputi:
- Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia (1953) dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo.
- Bintang Satya Gerilya (1958) dari Presiden Soekarno.
- Bintang Satyalancana Penegak (1967) dari pemerintahan Presiden Soeharto.
- Bintang Mahaputera Utama (1998) dari Presiden B.J. Habibie.
Secara total, Johanna menerima delapan bintang penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai pengakuan atas jasa-jasanya di masa perjuangan dan kontribusinya di era pasca-kemerdekaan.
Kisah Keluarga dan Hubungan Pribadi
Johanna bertemu dengan suaminya, Masdani, yang juga seorang tokoh pergerakan kemerdekaan, saat terlibat dalam kegiatan perjuangan nasional.
Sebagai pasangan yang sama-sama memiliki semangat kemerdekaan, mereka saling mendukung dalam pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia.
Keduanya memiliki hubungan yang erat dengan banyak tokoh nasional, seperti Mohammad Yamin, Rusmali, dan Assaat.
Setelah kematian suaminya pada tahun 1967, Johanna menjalani kehidupannya dengan tekad yang lebih besar.
Ia fokus mengembangkan karier sebagai dosen dan ahli psikoterapi.
Akhir Hayat dan Warisan
Johanna Masdani meninggal dunia pada 13 Mei 2006 dalam usia 95 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya sebagai seorang pejuang kemerdekaan, pendidik, dan tokoh nasional.
Kepergian Johanna Masdani tidak hanya meninggalkan duka bagi keluarga dan rekan-rekan seperjuangannya, tetapi juga bagi generasi penerus bangsa.
Ia adalah simbol perempuan Minahasa yang tangguh, mandiri, dan berdedikasi untuk bangsa Indonesia. Semangatnya untuk berjuang dari balik layar telah menginspirasi banyak perempuan di Indonesia.
Johanna Tumbuan Masdani adalah sosok perempuan Indonesia yang langka.
Ia tidak hanya hadir dalam momen-momen besar seperti Kongres Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga terlibat aktif dalam penggalangan dana, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai pejuang tiga zaman, ia tidak sekadar menyaksikan peristiwa-peristiwa penting, tetapi juga turut mengambil peran nyata dalam perjuangan tersebut.
Melalui penghargaan Bintang Mahaputera dan penghormatan sebagai pahlawan yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, jasa-jasanya tetap dikenang oleh bangsa Indonesia.
Johanna Masdani membuktikan bahwa perempuan dapat berperan besar dalam perjuangan bangsa, baik di garis depan maupun dari balik layar.
Sebagaimana pernah ia katakan, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita.”
Pesannya ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita pada pentingnya peran perempuan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.