Latar Belakang Kampung Tua
Tanawangko merupakan sebuah wilayah yang terkenal dengan keberagamannya.
Di daerah ini, masyarakat dari berbagai suku, ras, warna kulit, dan agama hidup berdampingan dengan harmonis.
Terkait agama, selain daerah-daerah mayoritas Kristen seperti Borgo, Sarani, Tambala, Ranowangko, Lemoh, Lolah, Ranotongkor, dan Mokupa, terdapat pula wilayah mayoritas Muslim, yakni Kampung Baru dan Kampung Tua.
Artikel ini berfokus pada Kampung Tua, sebuah kawasan di Desa Borgo, Kecamatan Tombariri.
Sumber utama informasi ini adalah Takin, seorang penduduk Kampung Tua yang telah menggali sejarah dan kehidupan masyarakat setempat melalui wawancara dengan para tetua kampung.
Sejarah Kampung Tua
Kampung Tua merupakan bagian dari Desa Borgo, dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan dan memeluk agama Islam.
Berdasarkan sejarah, pendiri Kampung Tua berasal dari wilayah Makian, Ternate, yang merantau ke Tanawangko, Sulawesi Utara.
Salah satu tokoh pendiri kampung ini adalah seseorang bermarga Baba.
Setelah menetap di Tanawangko pesisir, para perantau Makian Ternate ini berasimilasi dengan penduduk setempat.
Ketika masyarakat dari Desa Sarani sering datang untuk mendapatkan pengobatan tradisional dari para tetua Makian, Dotu Sarani Posumah dan Ansouw menghadiahkan sebidang tanah di pesisir pantai kepada mereka sebagai bentuk penghargaan.
Kawasan tersebut kemudian dikenal sebagai Kampung Tua.
Marga Modimbaba dan Awal Keagamaan
Kampung Tua didominasi oleh penduduk bermarga Modimbaba, yang sebenarnya berasal dari marga Baba.
Gelar “Modim” sendiri merujuk pada imam atau pengurus masjid yang juga merangkap sebagai pegawai syara.
Salah satu pendiri Kampung Tua, yang bermarga Baba, merupakan imam masjid pertama di kampung tersebut.
Masjid dan Peran Keagamaan
Masjid pertama di Kampung Tua dibangun di tepi pantai dan diresmikan oleh Habib Idrus Bin Salim Al-Jufri, pendiri Al-Khairaat.
Namun, masjid tersebut kemudian diubah fungsinya menjadi SD Al-Khairaat Tanawangko.
Proses pengalihfungsian ini memiliki cerita menarik, terutama saat memotong tiang kubah masjid yang membutuhkan doa bersama untuk keberhasilan.
Masjid baru, An-Nur, dibangun di tepi jalan Trans Sulawesi pada tahun 1991.
Masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat Kampung Tua. Susunan pengurus Masjid An-Nur adalah:
- Imam: Abdul Madjid Urut (1991-sekarang)
- Pegawai Syara: Ustad Syamsudin Tawaba, Ustad Abdurahman Binjanati, Ridwan Roringkon, Faruk Modimbaba, dan Bambang Kamah.
Masjid ini juga didukung oleh tokoh agama seperti Rais Kordi, Sam Lauma, Abdullah Modimbaba, Idin Rosidin, Pak Rustam, Pak Sudar, dan Hasan Hajitaher.
Kehidupan Sosial dan Tradisi Lokal
Pemuda Kampung Tua memiliki semboyan unik, “Biar Kampung Kacili mar banya tampa nongkrong,” yang berarti meskipun kampung kecil, banyak tempat menarik untuk berkumpul. Salah satu tempat favorit mereka adalah “Tangga Dua”, yang terletak di depan Toko LA milik Ko Edi. Di sana, anak muda sering bermain gitar dan bernyanyi setelah sholat Maghrib dan Isya.
Hari Raya Ketupat: Tradisi yang Tak Terlupakan
Salah satu momen paling berkesan di Kampung Tua adalah perayaan Hari Raya Ketupat.
Warga berbondong-bondong mengunjungi rumah kerabat dan sahabat untuk menikmati hidangan khas seperti ketupat kuning, gulai kambing, dan ikan bakar.
Penulis sendiri mengingat kebersamaan ini dengan teman-teman seperti Abdullah Modimbaba, Abdillah, Sahril, Hamka Abdul Ghani, Fauzi Marwan, Iskandar Nasadi, Yuyun, Sri, dan banyak lainnya.
Penutup
Kampung Tua tidak hanya menjadi saksi sejarah panjang migrasi dan asimilasi budaya, tetapi juga melestarikan tradisi dan semangat kebersamaan di tengah kehidupan modern.
Dengan sejarah yang kaya dan kehidupan masyarakat yang harmonis, Kampung Tua adalah cerminan keberagaman Tanawangko yang memikat.
*Disadur dari tanawangkobigland.blogspot.com