Pada awal tahun 1950, Brigade 16 di bawah pimpinan Letkol J. F. Warouw dilikuidasi, dan Batalyon B di bawah pimpinan Mayor H. V. Worang diperintahkan oleh Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) untuk menuju Jakarta guna menghadapi sisa-sisa pasukan APRA.
Di Jakarta, Kompi I yang dipimpin oleh Kapten D. J. Somba sempat menyisir Tanah Abang untuk mencari Kapten Westerling, namun Westerling sudah melarikan diri dengan pesawat Catalina.
Pada Januari 1950, MBAD secara resmi merubah nama Batalyon B menjadi Batalyon Worang.
Setelah tiba di Jakarta, Mayor Worang dan Kapten Nun Pantouw mencari Arnold Mononutu yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mereka meminta bantuan Mononutu untuk mengirimkan Batalyon Worang ke Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Utara. Namun, Arnold Mononutu awalnya menolak dengan alasan adanya perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar).
Walau demikian, Mayor Worang memaksa dengan menyebut adanya usulan dari MBAD agar Batalyon Worang dikirim ke Jambi, yang saat itu tidak memiliki pasukan.
Sebagai upaya pemecahan masalah, Mayor Worang mengancam akan menembakkan mortir ke arah gedung-gedung pemerintahan Jakarta.
Melihat situasi yang memanas, Arnold Mononutu akhirnya menghubungi Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, melalui telepon. Setelah perundingan yang panjang, Sultan Hamengkubuwono IX menyetujui pengiriman Batalyon Worang ke Makassar sebagai tentara APRIS.
Meskipun ada penolakan dari Negara Indonesia Timur (NIT), rencana pengiriman Batalyon Worang tetap dijalankan. NIT kemudian membentuk satu kompi tentara APRIS yang dipimpin oleh Kapten Andi Aziz.
Penolakan terhadap kedatangan Batalyon Worang memicu pemberontakan Kapten Andi Aziz, yang mendapat dukungan dari Jaksa Agung NIT, Soumokil.
Tindakan ini semakin memperkuat tekad pemerintah RIS untuk mengirimkan Batalyon Worang ke Makassar.
Untuk menyelesaikan konflik ini, Arnold Mononutu memberitahukan Presiden Soekarno, yang kemudian mendukung penuh pengiriman Batalyon Worang.
Dalam pertemuan yang diadakan di Istana Merdeka, Soekarno, didampingi oleh Arnold Mononutu, menerima perwira-perwira Batalyon Worang.
Presiden Soekarno menginstruksikan mereka untuk masuk dan menduduki Makassar, membubarkan NIT, dan mengibarkan bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia di seluruh wilayah Indonesia Timur.
Pada akhir pertemuan tersebut, Presiden Soekarno memberikan pesan khusus kepada Mayor Worang dalam bahasa Belanda, “Saya titip tongkat Marshall-ku di dalam ranselmu dan gunakanlah sebaik mungkin.”
Setelah pertemuan itu, diadakan sebuah pertemuan di Prinzen Park yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Minahasa, termasuk Arnold Mononutu dan L. N. Palar.
Di pertemuan ini, mereka memberikan wejangan dan informasi penting mengenai situasi politik terkini.
Pada akhir pertemuan, mereka mendoakan kesuksesan Batalyon Worang dalam menjalankan misi di Makassar.
Pada 20 April 1950, Batalyon Worang berhasil menduduki Makassar dan mulai menjalankan instruksi dari Presiden Soekarno.
Dalam waktu singkat, Mayor H. V. Worang membubarkan pemerintahan NIT, menangkap tokoh-tokoh NIT, dan menunjuk Insinyur Putuhena sebagai Gubernur Indonesia Timur.
Setelah itu, Batalyon Worang dikirim ke Manado pada 10 Mei 1950, di bawah komando Letkol J. F. Warouw, yang akhirnya tidak jadi diturunkan pangkatnya berkat bantuan Arnold Mononutu yang menghubungi Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Arnold Mononutu memiliki andil besar dalam menjaga keutuhan NKRI, terutama dalam pengiriman Batalyon Worang ke Indonesia Timur, yang menjadi bagian penting dari perjuangan Indonesia dalam mempertahankan integritas wilayah negara.
Catatan: Arnold Mononutu diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2020*
Penulis: F. R. L. Worang
11 November 2020