Sejarah Desa Tumaluntung Tonsea

Desa, Profil343 Dilihat

Awal Mula Perjalanan: Dari Walantakan hingga Kadimbatu (1656)

Pada tahun 1656, rombongan berjumlah 37 orang Dotu, yang dipimpin oleh Dotu Rotti dan istrinya Karagian, memulai perjalanan dari Walantakan, Wewuringen, hingga tiba di Kembuan (Tonsea Lama).

Dalam perjalanan, mereka melewati berbagai wilayah seperti Tinengadan si Kooko (kini Desa Tanggari), Sawangan, dan Koyawas sebelum menetap di Kadimbatu.

 

Beberapa tahun kemudian, adik Dotu Rotti, Dotu Wagiu, memutuskan untuk menjelajahi bagian kanan Kadimbatu bersama rombongannya.

Dalam perjalanan, mereka menghadapi berbagai tanda alam, termasuk burung Manguni, yang menurut kepercayaan mereka adalah petunjuk dari Opo Empung Waidan.

Akhirnya, mereka menemukan mata air yang kini dikenal sebagai Doud Tumetenden dan menetap di sana.

 

Kisah Pindahnya Rombongan Kadimbatu

Tak hanya Dotu Wagiu, Dotu Makalew beserta rombongannya juga memutuskan untuk menjelajahi wilayah sebelah kiri Kadimbatu.

Namun, perjalanan mereka dihentikan oleh seekor ular hitam yang dianggap sebagai tanda untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Tempat mereka berhenti kemudian dinamakan Kinaengkoan (kini Desa Kawangkoan).

 

Sementara itu, Dotu Rotti bersama sisa rombongan di Kadimbatu memutuskan pindah ke wilayah yang menghadap arah terbitnya matahari.

Di tempat baru itu, mereka menetap selama 23 tahun dan menamainya Pata’ian Ko’ko’.

Namun, karena sering terjadi gangguan, mereka melanjutkan perjalanan dan menemukan air terjun yang mengeluarkan suara “teng-teng-teng.” Tempat itu dinamakan Matalengteng, yang berarti “bunyi air jatuh.”

 

Transformasi Matalengteng Menjadi Tumaluntung

 

Setelah menetap selama 50 tahun, Dotu Rotti mengganti nama Matalengteng menjadi Mataluntung, yang kemudian berubah menjadi Tumaluntung pada tahun 1725.

Pada masa itu, wilayah ini sering diserang bajak laut dari Loloda, Mangindano, dan Tasikela, yang dipimpin oleh seorang pemimpin terkenal bernama Santerina.

Namun, perlawanan rakyat Tumaluntung, dipimpin oleh Dotu Gerung, berhasil mengusir mereka.

 

Pembagian Wilayah Tumaluntung (1745)

Pada tahun 1745, wilayah Tumaluntung dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing dipimpin oleh seorang Dotu:

1. Tumaluntung dipimpin oleh Dotu Sialaki

2. Tumopo dipimpin oleh Dotu Sundalangi

3. Wangurer dipimpin oleh Dotu Kanowangko

 

Penggabungan Wilayah oleh Pemerintah Belanda (1854)

Pada tahun 1854, Belanda menggabungkan Tumaluntung, Tumopo, dan Wangurer menjadi satu wilayah dengan nama Negeri Tumaluntung.

Pemimpin pertama yang ditunjuk adalah Hendrikus Lolong, seorang tokoh asal Kema.

 

Pada tahun 1917, Negeri Tumaluntung, Paslaten, dan Lembean disatukan menjadi satu pemerintahan yang disebut Hukum Tua Sambung, sebelum akhirnya dipisahkan kembali pada tahun 1922.

 

Daftar Pemimpin Tumaluntung

Selama perjalanan sejarahnya, Tumaluntung telah dipimpin oleh banyak tokoh penting, baik saat masih berupa wilayah kecil maupun setelah menjadi satu negeri.

Berikut beberapa nama pemimpin Tumaluntung:

 

Tunduan dan Tonaas Negeri Tumaluntung:

1. Dotu Rotti (1656–1728)

2. Dotu Ogotan (1728–1733)

3. Dotu Sambuaga (1733–1735)

4. Dotu Gerung (1735–1741)

5. Dotu Mapaliey (1741–1742)

6. Dotu Sialaki (1742–1745)

 

Hukum Tua Negeri Tumaluntung Setelah Penyatuan:

1. Hendrikus Lolong (1854–1866)

2. Yan Karamoy (1866–1880)

3. Daniel Dendeng (1880–1892)

*daftar lengkap berlanjut hingga saat ini)

 

Tumaluntung: Jejak Sejarah yang Terus Hidup

Sejarah Tumaluntung bukan hanya kisah perpindahan dan penemuan tempat, tetapi juga bukti kekuatan komunitas dalam menghadapi tantangan alam dan ancaman bajak laut.

Hingga kini, Tumaluntung tetap menjadi simbol budaya dan perjuangan masyarakat Tonsea.

*Diambil dari postingan Herry M. Lumempouw

 

Tinggalkan Balasan