Waruga: Jejak Tradisi Pemakaman Unik Masyarakat Minahasa

Artikel2335 Dilihat

Pelukis: Adrianus Johannes Bik (c. 1822)

Waruga adalah sarkofagus batu tradisional yang digunakan oleh masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara, Indonesia.

 

Sebagai bagian penting dari warisan budaya Minahasa, waruga terdiri dari dua bagian utama: tutup berbentuk segitiga bergerigi dan dasar berbentuk kotak. Tradisi ini mencerminkan keyakinan spiritual dan cara hidup masyarakat setempat sejak abad ke-9.

 

Awalnya, jenazah masyarakat Minahasa dibungkus dengan *woka*—daun palem kipas (*Livistona*)—dan ditempatkan di dalam peti kayu.

 

Seiring waktu, tradisi bergeser ke penggunaan waruga. Jenazah dimakamkan dalam posisi duduk, dengan tumit dan jari kaki menempel pada bokong, kepala “mencium” lutut, dan wajah menghadap ke utara. Posisi ini mencerminkan keyakinan bahwa nenek moyang mereka berasal dari arah tersebut.

 

Namun, pada tahun 1828, pemerintah kolonial Belanda melarang penggunaan waruga, dengan alasan kesehatan masyarakat terkait wabah tipus dan kolera, serta pengaruh ajaran Kristen yang menganjurkan penguburan konvensional.

Setelah itu, masyarakat Minahasa mulai menggunakan peti mati sebagai alternatif pemakaman.

 

Keunikan dan Keindahan Waruga

 

Waruga di wilayah Tonsea terkenal karena ukiran dan reliefnya yang indah, menggambarkan aktivitas sehari-hari, mata pencaharian, serta cara jenazah disimpan.

Di beberapa lokasi, seperti Rap-Rap (15 waruga), Airmadidi Bawah (211 waruga), dan Sawangan (144 waruga), koleksi sarkofagus ini menjadi daya tarik wisata sekaligus bukti peradaban kuno.

 

Taman Purbakala Waruga di Sawangan, yang kini terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1995, menjadi pusat pelestarian budaya ini. Di lokasi tersebut, waruga yang dikumpulkan dari berbagai daerah dilestarikan, bersama dengan artefak seperti porselen, gelang, kapak, dan tulang manusia yang dipamerkan di museum terdekat.

 

Sayangnya, banyak waruga yang telah dijarah untuk mengambil barang berharga di dalamnya.

 

Waruga bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi juga pengingat akan kekayaan tradisi dan filosofi hidup masyarakat Minahasa yang patut dijaga dan dilestarikan.

Sumber: Museum Rijks

Tinggalkan Balasan