Artikel oleh Dr. J.G.F. Riedel tentang Watu Rerumeran ne Empung di Minahasa (1896)

Artikel2440 Dilihat

Dalam artikel yang diterbitkan dalam *Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde* (Jilid 40, tahun 1897), Dr. J.G.F. Riedel mengungkapkan tentang Watu Rerumeran ne Empung, atau Lempeng Batu Empung, sebuah situs purbakala yang sangat penting di Minahasa.

Batu ini terletak di daerah dekat Kanonang, di kabupaten Toumpaso, dan dianggap sebagai tempat suci oleh masyarakat Minahasa kuno, terutama bagi para “Empung”, yaitu orang-orang bijak yang dianggap sebagai bapak pujaan.

Batu tersebut diyakini sebagai tempat dimana para Empung melakukan pembicaraan dan perundingan mengenai pemujaan mereka.

 

Menurut cerita tradisional, batu ini adalah lokasi di mana para Empung mengadakan doa adat dan pertemuan ritual sebelum melaksanakan tugas mereka sebagai pendeta atau wali, dengan tujuan untuk memuliakan leluhur dan kekuatan alam.

 

Batu ini juga dikatakan dianggap sangat sakral, bahkan dianggap suci oleh orang-orang yang belum memahami sepenuhnya makna atau asal-usulnya.

 

Batu tersebut baru ditemukan pada tahun 1888, ketika beberapa orang tua menunjukkannya kepada J.A.T. Schwarz, seorang peneliti yang tertarik pada sejarah dan tradisi Minahasa.

Penemuan ini kemudian dibersihkan oleh E.J. Jellesma pada tahun-tahun berikutnya, yang memerintahkan untuk membersihkan batu tersebut dari lumut dan tanaman yang menutupi.

 

Namun, pada tahun 1896, Riedel sendiri mengunjungi batu tersebut, yang terletak di kaki bukit Tonderukan, dan meskipun sebagian besar tertutup lumut, ia berusaha mendapatkan gambaran tentang batu tersebut.

 

Batu yang dimaksud berukuran sekitar satu setengah meter panjangnya dan satu meter lebar.

Beberapa orang asli Minahasa menganggap bahwa batu ini memiliki prasasti yang lebih dari seribu dua ratus tahun usianya, tetapi sayangnya, penduduk setempat tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai gambar-gambar yang ada di batu tersebut.

 

Garis-garis yang ada di batu ini diyakini memiliki makna tertentu, meskipun tidak dapat dipastikan secara pasti.

 

Di sekitar batu utama ini, terdapat dua patung yang dipahat di batu, menggambarkan seorang pria dan wanita, yang menurut beberapa pendapat bisa saja melambangkan Lumimu’ut dan Toar, pasangan manusia pertama yang muncul di Minahasa.

Ada juga yang berpendapat bahwa patung-patung tersebut menggambarkan Empu Marinoja dan suaminya, Lingkambene, wanita yang sangat dihormati dalam kenangan sejarah Minahasa.

 

Riedel menekankan pentingnya perhatian terhadap situs purbakala ini agar tidak dihancurkan atau diabaikan, dan mengingatkan agar penduduk yang lebih muda tidak merusak situs-situs bersejarah seperti ini dengan mengukir nama mereka sendiri di atasnya.

 

Ia mengingatkan bahwa situs-situs purbakala semacam ini perlu dilestarikan sebagai warisan sejarah yang sangat berharga.

 

Secara keseluruhan, artikel ini mengungkapkan keprihatinan Riedel terhadap pelestarian situs-situs sejarah di Minahasa, yang memainkan peran penting dalam memahami sejarah dan tradisi masyarakat Minahasa, serta penghargaan terhadap warisan budaya mereka.

*Disadur dari tulisan Roderick C Wahr

*Foto P.A Moores calon controller Tondano 1896

Tinggalkan Balasan