Sejarah tentang Raja Wintu Wintu dan Raja Dotulongo merupakan bagian penting dari kisah migrasi masyarakat bahari yang membentuk budaya dan komunitas di kawasan Sulawesi Utara.
Catatan tentang keduanya berasal dari berbagai sumber sejarah, termasuk catatan Dr. J.G.F. Riedel dan tulisan tokoh-tokoh kolonial lainnya.
Siapakah Raja Wintu Wintu dan Raja Dotulongo?
1. Raja Wintu Wintu (Intu Intu):
Raja Wintu Wintu adalah pemimpin kelompok bahari yang datang dari Pulau Batang Dua (dekat Pulau Bacan dan Ternate) pada sekitar tahun 1320–1340. Mereka digambarkan berkulit gelap dan berambut keriting.
Kelompok ini bermigrasi ke Pulau Lembeh, membangun komunitas, dan akhirnya menjadi bagian dari sejarah Pulau Lembeh.
Dr. J.G.F. Riedel dalam Hikajatnja Tuwah Tanah Minahasa menyebutkan bahwa Raja Wintu Wintu wafat di Pulau Lembeh. Kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Doepayago, dan kemudian oleh cucunya, Raja Dotulongo.
2. Raja Dotulongo:
Dotulongo adalah cucu Wintu Wintu yang memimpin komunitas Rumoyongporong dari Pulau Lembeh menuju daratan Minahasa, di wilayah yang dikenal sebagai Kaburukan (sekarang Kema).
Dotulongo memainkan peran penting dalam ekspansi komunitas ini, termasuk asimilasi dengan kelompok-kelompok lokal di daratan.
Asal Usul dan Perpindahan Suku Rumoyongporong
Menurut berbagai catatan, perjalanan Suku Rumoyongporong bermula dari Pulau Batang Dua hingga akhirnya menetap di beberapa wilayah:
1. Pulau Lembeh:
Mereka awalnya tinggal di Pulau Lembeh, tetapi karena pertumbuhan komunitas dan konflik dengan suku Babontehu (Manado), mereka akhirnya bermigrasi ke daratan.
2. Kaburukan (Kema):
Dipimpin oleh Raja Dotulongo, komunitas ini menetap di daerah yang disebut Kaburukan, yang kini dikenal sebagai Kema.
Tempat ini menjadi pusat asimilasi antara Suku Rumoyongporong dan kelompok lokal lainnya, seperti Suku Tonsea.
3. Tonsea Lama:
Sebagian kelompok bermigrasi ke daerah Tonsea Lama (Lembe Koba), yang terletak di sekitar air terjun yang sekarang dikenal sebagai Dano Tua.
4. Pulau Bangka dan Manado Tua:
Kelompok yang lebih besar melanjutkan perjalanan ke Pulau Bangka, Manado Tua, hingga ke Bolaang Mongondow.
Konflik dan Asimilasi
1. Konflik dengan Suku Babontehu:
Kedatangan Suku Rumoyongporong di Pulau Lembeh memicu konflik dengan suku Babontehu.
Akibat serangan balik, mereka terpaksa meninggalkan Lembeh dan bermigrasi ke daratan.
2. Pernikahan dengan Suku Tonsea:
Setelah tiba di Tonsea Lama, terjadi asimilasi melalui pernikahan antara kelompok Rumoyongporong dan Suku Tonsea.
Dari sini, muncul kelompok baru yang dikenal sebagai Orang Tonsea.
3. Migrasi ke Timur:
Kelompok Rumoyongporong yang tidak menetap di daratan Minahasa melanjutkan perjalanan ke Pulau Bangka, Siau, hingga ke wilayah Bolaang Mongondow.
Mereka kemudian dikenal sebagai Orang Bolango.
Pengaruh Sejarah Raja Dotulongo
1. Nama Dotulong dalam Sejarah Tonsea:
Nama “Dotulong” kemudian diwarisi oleh masyarakat Tonsea, menjadi nama marga besar.
Seorang tokoh terkenal dengan nama baptis Xaverius Dotulong pernah menjabat sebagai Hukum Mayor di Kema pada abad ke-18.
2. Sengketa Pulau Lembeh:
Dalam sejarah berikutnya, Dotulong terlibat dalam sengketa pengelolaan sarang burung di Pulau Lembeh, yang menunjukkan pentingnya Pulau Lembeh sebagai sumber daya ekonomi sejak dahulu.
3. Kaitan dengan Bolaang Mongondow:
Raja Bolaang, Loloda Mokoagow, mengklaim wilayah Manado hingga ke Pulisan dan menggunakan nama Bolango untuk menyebut kelompok Rumoyongporong yang telah bermigrasi ke wilayah Bolaang.
Kesimpulan
Sejarah Raja Wintu Wintu dan Raja Dotulongo mencerminkan dinamika migrasi, konflik, dan asimilasi budaya di Sulawesi Utara.
Kelompok Rumoyongporong meninggalkan jejak yang mendalam, baik di Pulau Lembeh, Kema, hingga wilayah Bolaang Mongondow.
Kisah mereka menjadi bagian penting dari mosaik sejarah Minahasa dan sekitarnya, memperkaya identitas budaya kawasan ini.
Disadur dari tulisan Meerz Melky Tzedek