Mais Wuisan: Pahlawan Perjuangan Merah Putih

Mayor Servius Dumais Wuisan (8 November 1914 โ€“ 25 Februari 1980), yang lebih dikenal sebagai Mais Wuisan, adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dikenal karena perannya dalam Peristiwa Heroik Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado.

 

Peristiwa ini merupakan aksi revolusioner yang menegaskan dukungan masyarakat Sulawesi Utara terhadap Republik Indonesia, dengan pemimpin-pemimpin dari kelompok KNIL (Tentara Kerajaan Belanda) yang beralih mendukung Indonesia.

Latar Belakang Keluarga

Mais Wuisan lahir di Airmadidi, Sulawesi Utara, pada tanggal 8 November 1914. Ia adalah putra dari Sadrak P. Wuisan dan Magdalena B. Mandagi.

 

Mais berasal dari keluarga yang memiliki peran penting dalam sejarah lokal, termasuk ibu mertuanya, Maas Tangkilisan, yang memiliki hubungan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Karir Awal dan Pekerjaan di KNIL

Pada usia muda, Mais Wuisan bergabung dengan KNIL (Tentara Kerajaan Belanda) pada tahun 1934, ketika ia berusia hampir 20 tahun.

Ia melanjutkan pelatihan di Kaderschool di Magelang dan lulus sebagai calon kopral pada tahun 1937, kemudian naik pangkat menjadi sersan pada 1939.

Mais sempat bertugas di Sumatera Barat dan menjadi bagian dari pasukan Belanda, tetapi dengan datangnya pendudukan Jepang, ia sempat beralih menjadi polisi selama periode tersebut.

 

 

 

Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946

Menjelang tanggal 14 Februari 1946, yang dikenal dengan Peristiwa Merah Putih, Mais Wuisan menjadi salah satu tokoh utama dalam perlawanan terhadap Belanda.

 

Meskipun sebelumnya ia sempat ditangkap oleh Militaire Politie (Polisi Militer Belanda) pada 10 Februari 1946 bersama rekannya, Charles Chosei Taulu, mereka melanjutkan perjuangan meskipun dalam kondisi terpenjara.

Pada tanggal 14 Februari 1946, sebuah rapat rahasia disamarkan dengan pesta ulang tahun di rumah keluarga Wuisan, yang digunakan untuk merencanakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

 

Gerakan ini melibatkan anggota-anggota KNIL yang berpihak kepada Indonesia, yang berusaha merebut kendali atas Manado dan Tomohon.

 

Meskipun perlawanan ini hanya dapat bertahan dalam waktu singkat karena kekuatan Belanda yang lebih besar, aksi tersebut memberikan pesan kuat bahwa orang Sulawesi Utara mendukung kemerdekaan Indonesia.

Penangkapan dan Hukuman

 

 

Setelah peristiwa tersebut, Mais Wuisan dan Taulu ditangkap oleh pihak Belanda dan dijatuhi hukuman penjara.

Menurut laporan, Mais Wuisan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.

Setelah dibebaskan pada tahun 1950, Mais melanjutkan karir sebagai polisi di Sulawesi Tengah dan akhirnya menjabat sebagai Kepala Polisi di sana dengan pangkat Komisaris.

Karir Politik dan Kehidupan Setelah Perjuangan

 

Setelah perjuangannya di medan pertempuran, Mais Wuisan melanjutkan karir politik.

Pada tahun 1977, ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara mewakili Golongan Karya (Golkar).

Di masa tuanya, ia dikenal sebagai sosok yang akrab dengan masyarakat, terutama kalangan pemuda, dan sering menghabiskan waktu di warung kopi atau sekretariat KNPI Sulawesi Utara.

 

 

Kematian dan Penghormatan

 

Mais Wuisan meninggal dunia pada 25 Februari 1980, di usia 65 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kairagi di Manado, Sulawesi Utara, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam ingatan masyarakat, Mais Wuisan dikenang sebagai pahlawan lokal yang berperan besar dalam mempersatukan warga Sulawesi Utara di bawah semangat perjuangan kemerdekaan, meskipun dalam perjuangannya ia harus menghadapi tantangan besar, termasuk penangkapan dan kehidupan yang penuh kesulitan.

Tinggalkan Balasan