Desa Mapanget, yang kini menjadi salah satu wilayah strategis di Kota Manado, Sulawesi Utara, memiliki sejarah panjang yang penuh makna.
Berdiri sejak abad ke-16, tepatnya pada 23 Februari 1782, desa ini memiliki akar budaya dan tradisi yang kuat, dibuktikan dengan keluarnya surat resmi dari Residen Manado yang ditandatangani oleh Dr. J. Boot, Komandan Benteng Manado (Fort Amsterdam).
Surat tersebut diterbitkan atas nama Wakil Residen Manado, Bartholomeus Francois Heimmekam, yang pada saat itu sedang cuti dan kembali ke Belanda. Keputusan ini dibuat sebagai jawaban atas permohonan dari TUUK dan Moningka, dua tokoh penting dari suku Tonsea, beserta 30 kepala keluarga yang ingin menetap di wilayah yang saat itu disebut Tapanget.
Awal Mula Berdirinya Tapanget
Sebelum resmi menjadi sebuah desa, Tapanget sebenarnya telah lama menjadi tempat persinggahan bagi masyarakat sekitar.
Warga dari desa-desa di sekitar Tonsea Lama dan Kembuan sering berburu hewan dan menyadap enau (Batifar) di wilayah tersebut.
Beberapa di antaranya bahkan mulai membuka lahan pertanian dan perkebunan.
Nama Tapanget kemudian bergeser menjadi Mapanget, seiring berkembangnya desa dan bertambahnya jumlah penduduk. Tonaas atau Wadian pertama yang menjadi pemimpin desa adalah TUUK, yang kemudian mendapat gelar Katuuk/Tumani um Mbanua Tapanget.
Dia dibantu oleh wakilnya, Moningka, yang kemudian juga tercatat sebagai Hukum Tua (kepala desa) ketiga.
Moningka dikenal sebagai salah satu pemimpin yang ikut menjaga eksistensi wilayah Mapanget di tengah ancaman dari desa-desa tetangga.
Konflik Wilayah dan Perjuangan Mempertahankan Batas Desa
Seiring waktu, Desa Tapanget dihadapkan pada tantangan besar, yaitu konflik perbatasan dengan suku Bantik yang tinggal di sebelah barat desa.
Perselisihan ini tidak jarang memicu perang kecil antarwarga.
Batas desa yang diperebutkan dikenal dengan nama Tulap, sebuah wilayah yang hingga kini masih memiliki nilai historis bagi masyarakat Mapanget.
Namun, di tengah konflik tersebut, masyarakat Desa Tapanget dan suku Bantik sepakat untuk menyelesaikan masalah secara damai. Salah satu caranya adalah dengan pertandingan adu kekuatan tarik tali.
Dalam pertandingan ini, pihak yang berhasil menarik lawan hingga melampaui batas tertentu akan memenangkan hak atas wilayah tersebut.
Berkat kekompakan dan kekuatan warga Tapanget, mereka berhasil menarik suku Bantik hingga ke wilayah Kooyan, yang akhirnya menjadi batas baru desa Tapanget.
Batas Wilayah Desa Mapanget
Secara geografis, Desa Mapanget memiliki batas wilayah yang cukup luas dan berbatasan dengan beberapa desa serta wilayah pesisir. Batas-batas tersebut adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara: Laut (Tasik Laut)
- Sebelah timur: Linekepan Likupang, Winewaan (Desa Talawaan), dan Makelongan (Desa Kolongan)
- Sebelah selatan: Desa Kalawat atas (sekarang disebut Desa Maumbi)
- Sebelah barat: Wilayah Wenang Bantik
Wilayah yang luas ini mencerminkan betapa strategisnya posisi Desa Mapanget, terutama karena berbatasan dengan laut di utara.
Akses ke laut ini memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan sektor perikanan dan transportasi laut.
Pemekaran Wilayah Desa Mapanget
Seiring perkembangan zaman dan bertambahnya jumlah penduduk, Desa Mapanget mengalami beberapa kali pemekaran wilayah.
Pemekaran ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat.
Berikut beberapa pemekaran penting yang pernah terjadi:
1. Tahun 1960
Desa Mapanget Barat dimekarkan menjadi beberapa desa baru, yaitu:
- Desa Mapanget Barat
- Desa Lapangan
- Desa Kima Atas
2. Wilayah Kecamatan Wori
Wilayah Kecamatan Wori juga berasal dari pemekaran wilayah Mapanget.
Beberapa desa di Wori yang dulunya termasuk wilayah Mapanget antara lain:
- Desa Pulo
- Desa Ponto
- Desa Lansa
3. Tahun 1904
Desa Warisa mengalami pemekaran yang menghasilkan beberapa desa baru, seperti:
- Desa Ponto
- Desa Lansa
- Warisa Kampung Baru
- Desa Teep
- Desa Patokaan
4. Pemekaran Desa Wusa
Pemekaran wilayah ini mencakup beberapa desa baru, yaitu:
- Desa Winetin
- Desa Kapataran
Pemekaran ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan pemerintahan di tingkat desa, sekaligus mempermudah pengelolaan sumber daya, pelayanan masyarakat, dan percepatan pembangunan.
Jejak Sejarah dan Warisan Budaya Desa Mapanget
Hingga saat ini, Desa Mapanget masih menyimpan jejak-jejak sejarah yang dapat ditemukan di wilayah Tulap.
Nama Tulap mengingatkan masyarakat pada masa-masa penuh perjuangan ketika batas desa diperebutkan melalui “pertarungan tarik tali” melawan suku Bantik.
Kisah ini menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan solidaritas masyarakat Mapanget dalam menjaga hak dan wilayah mereka.
Sebagai desa yang memiliki tradisi dan budaya yang kuat, Mapanget juga dikenal dengan warisan budaya masyarakat Tonsea.
Tradisi berburu, bertani, dan menyadap enau masih dilestarikan hingga saat ini.
Bahkan, beberapa generasi muda di Mapanget terus memperkuat identitas budaya tersebut dalam kegiatan adat dan acara peringatan desa.
Desa Mapanget bukan sekadar wilayah administratif, tetapi simbol dari perjuangan, identitas, dan tradisi masyarakat Tonsea.
Dari sebuah perkampungan kecil bernama Tapanget, wilayah ini berkembang pesat menjadi desa besar yang kemudian melahirkan banyak desa baru melalui proses pemekaran.
Keberanian para pemimpin awal seperti TUUK dan Moningka dalam memperjuangkan hak atas wilayah hingga ke Tulap mencerminkan semangat pantang menyerah warga Mapanget.
Selain itu, proses pemekaran wilayah yang menghasilkan banyak desa baru menunjukkan betapa besar potensi desa ini sebagai pusat pengelolaan pemerintahan di tingkat lokal.
Kini, Desa Mapanget terus berkembang seiring pesatnya pembangunan di wilayah sekitar Manado.
Dengan posisi strategis, akses ke laut, serta dukungan dari warisan budaya yang kuat, Mapanget berpotensi menjadi salah satu desa yang paling berkembang di wilayah Sulawesi Utara.
Semangat dan warisan para leluhur Desa Tapanget akan terus menjadi inspirasi bagi generasi penerusnya.