Nelwan Katuuk: Simfoni Kolintang dari Mata yang Tak Melihat

Latar Belakang dan Kehidupan Awal

Nelwan Katuuk lahir pada 31 Maret 1922 di Desa Kauditan, Tonsea, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Yoseph Katuuk dan Clara Tumatar, yang memiliki delapan orang anak.

Meskipun dilahirkan dalam keadaan buta, orang tuanya menerima kehadirannya dengan penuh kasih dan keyakinan akan rencana Tuhan.

Nama “Nelwan” yang diberikan kepadanya diambil dari nama salah satu nenek moyang Minahasa, yang menunjukkan kesadaran budaya tinggi dari keluarganya.

 

Sejak kecil, Nelwan tumbuh dalam keluarga Kristen yang taat. Kehidupan keluarga Katuuk sangat sederhana dan bergantung pada hasil ladang serta sawah.

Kehilangan ayahnya pada usia tiga tahun menjadi pukulan berat bagi keluarga, terutama bagi ibunya yang harus mengasuh delapan anak seorang diri.

Kakaknya, Yulius, mengambil alih tanggung jawab sebagai pengganti ayah dan memberikan perhatian besar kepada adik-adiknya, termasuk Nelwan.

 

Perjalanan Bermusik

Meski tidak dapat melihat, Nelwan menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang musik sejak usia dini. Kakaknya, Yulius, memainkan peran penting dalam mengasah kemampuan musiknya.

Nelwan mulai bermain suling bambu saat berusia lima tahun, dilanjutkan dengan harmonika yang diberikan oleh Yulius. Guru Kalangie, seorang pendidik di Kauditan, turut membimbing Nelwan belajar memainkan biola.

 

Pada usia enam tahun, Nelwan sudah mahir memainkan tiga alat musik: suling, harmonika, dan biola. Ia memanfaatkan kemampuan pendengarannya yang tajam untuk mempelajari nada dan irama.

Selama masa remajanya, ia terus mengembangkan bakat musiknya dan bahkan mampu memainkan gitar serta keroncong.

 

 

Pengembangan Kolintang

Pada masa pendudukan Jepang (1942), Nelwan mulai terinspirasi oleh bunyi-bunyian kayu yang diketuk para petani di kebun. Suara itu menarik perhatiannya, dan ia mulai mempelajari alat musik kolintang, yang saat itu masih sangat sederhana.

Dengan bantuan ibunya dan kakaknya, ia mulai bereksperimen dengan potongan-potongan kayu manderan (kayu ringan yang biasa digunakan untuk kolintang).

 

Pada awalnya, kolintang yang dimainkan Nelwan terdiri dari lima potongan kayu yang diletakkan di atas batang pisang.

Namun, ia melihat potensi besar dari alat musik ini dan mulai mengembangkan nada-nada yang lebih kompleks.

Melalui ketekunan, ia berhasil menciptakan kolintang dengan 18 potongan kayu yang mencakup lebih dari dua oktaf nada.

Hal ini membuat kolintang bisa digunakan untuk mengiringi berbagai lagu, baik tradisional maupun modern.

 

Nelwan dikenal sebagai orang yang memulai upaya sistematis dalam menyempurnakan kolintang menjadi alat musik yang lebih lengkap dan berfungsi sebagai instrumen yang mendukung pendidikan musik di Indonesia.

Kontribusi terhadap Seni Musik

Nelwan Katuuk bukan hanya seorang pemain musik, tetapi juga seorang inovator yang berjasa besar dalam membawa kolintang dari alat musik tradisional sederhana menjadi instrumen yang diakui secara nasional.

Ia mengabdikan hidupnya untuk memperkenalkan dan menyempurnakan kolintang sebagai bagian dari seni musik Minahasa.

 

Kolintang yang dirancang oleh Nelwan akhirnya menjadi salah satu alat musik yang sering digunakan dalam pendidikan seni di Indonesia.

Dengan dedikasinya, ia berhasil menjadikan kolintang sebagai simbol kebudayaan Minahasa yang tetap relevan di era modern.

 

Ciri Khas dan Peninggalan

Meskipun hidup dalam keterbatasan fisik, semangat dan dedikasi Nelwan terhadap seni musik tidak pernah surut.

Kemampuannya mengembangkan kolintang menunjukkan bakat luar biasa yang dipadukan dengan kerja keras dan dukungan dari keluarganya.

Keberhasilan Nelwan Katuuk menjadi bukti bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya.

 

Melalui karyanya, nama Nelwan Katuuk dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah seni musik Indonesia, khususnya dalam pengembangan alat musik tradisional kolintang.

 

Nelwan Katuuk adalah simbol perjuangan, ketekunan, dan cinta terhadap seni. Keberhasilannya dalam mengembangkan kolintang menjadi warisan budaya yang tak ternilai, mengangkat martabat seni musik Minahasa, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk melestarikan seni tradisional Indonesia.

*Disadur dari buku Nelwan Katuuk dan seni musik kolintang Minahasa

*Foto Alexander Katuuk

Tinggalkan Balasan