Desa Lelema memiliki sejarah panjang dan menarik yang penuh dengan perjuangan dan dinamika perpindahan lokasi pemukiman.
Pada mulanya, desa ini berada di sebuah wilayah bernama Lekler, yang terletak sekitar 2 kilometer di sebelah timur lokasi Desa Lelema yang ada saat ini.
Lokasi tersebut sekarang dikenal dengan nama Masaka dan berada di sekitar Jalan Trans Sulawesi.
Penduduk yang menghuni wilayah Lekler hidup secara sederhana dengan mengandalkan sumber daya alam di sekitarnya.
Namun, suatu waktu, bencana besar menimpa mereka. Wabah penyakit kolera melanda pemukiman tersebut, menyebabkan banyak penduduk meninggal dunia.
Situasi ini membuat masyarakat merasa khawatir akan keselamatan mereka.
Setelah mempertimbangkan keadaan tersebut, mereka memutuskan untuk meninggalkan Lekler dan mencari tempat tinggal baru.
Perpindahan ke Tinuwa
Setelah meninggalkan Lekler, para penduduk menyeberang jalan raya dan bermukim di sebelah utara.
Tak lama kemudian, mereka kembali memutuskan untuk pindah ke wilayah yang disebut Tinuwa, sebuah tempat yang berada di bagian barat dari lokasi sebelumnya.
Di lokasi ini, mereka berupaya membangun pemukiman yang lebih aman dan nyaman.
Namun, musibah kembali datang. Penduduk mengalami gangguan yang sangat mengusik kenyamanan mereka.
Sejenis serangga atau makhluk kecil menyerang perkampungan tersebut, bahkan sampai ke dalam tempat tidur para penduduk.
Makhluk kecil itu dikenal dengan nama Wicok, sejenis udang kecil yang menyebabkan rasa tidak nyaman bagi para penghuni.
Kondisi ini membuat para tokoh masyarakat dan penduduk setempat kembali memikirkan langkah selanjutnya.
Karena merasa tempat tersebut tidak aman untuk dihuni, mereka memutuskan untuk pindah lagi.
Perpindahan ke Pasanggerahan (Mawale)
Perpindahan berikutnya membawa mereka ke wilayah barat, ke sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Pasanggerahan.
Di lokasi ini, masyarakat mulai membangun pemukiman yang lebih terstruktur.
Rumah-rumah mulai didirikan dan masyarakat mulai menetap lebih lama di sana.
Proses membangun rumah ini membuat masyarakat menyebut tempat tersebut sebagai Mawale, yang berarti “mulai membangun” atau “memulai kembali” dalam bahasa setempat.
Namun, kedamaian di Pasanggerahan tidak berlangsung lama.
Penduduk kembali mengalami musibah yang sama seperti sebelumnya. Gangguan dari hewan kecil, yang kali ini disebut Wicok, kembali terjadi.
Hewan-hewan ini masuk ke rumah-rumah dan mengganggu kenyamanan para penghuni.
Peristiwa ini membuat para tokoh adat dan pemimpin masyarakat kembali mempertimbangkan lokasi pemukiman mereka.
Untuk ketiga kalinya, keputusan diambil untuk berpindah ke tempat yang dianggap lebih aman.
Perpindahan ke Lelema
Kali ini, pemukiman baru dipilih di sebelah barat sekitar 1,5 kilometer dari lokasi sebelumnya.
Wilayah ini terletak di lembah dekat pinggiran sebuah sungai bernama Nimanga.
Tempat ini diberi nama Lelema, sesuai dengan nama pohon besar yang tumbuh subur di sekitar wilayah tersebut.
Pohon Lelema dikenal sebagai pohon tempat bertengger burung Manguni, burung yang memiliki makna khusus dalam kepercayaan adat Minahasa.
Dalam kepercayaan masyarakat Minahasa, burung Manguni diyakini sebagai pemberi petunjuk atau pertanda baik dan buruk.
Namun, kehidupan di lokasi baru ini tidak berlangsung tanpa tantangan.
Hujan deras yang terjadi secara terus-menerus menyebabkan Sungai Nimanga meluap.
Banjir besar melanda perkampungan dan mengakibatkan rumah-rumah penduduk hanyut terbawa arus.
Ternak peliharaan juga turut menjadi korban, sebagian dari mereka mati karena terendam air.
Kerugian besar ini membuat masyarakat semakin resah dan takut.
Para pemimpin masyarakat kemudian mengadakan musyawarah untuk menentukan langkah berikutnya.
Pencarian Lokasi Aman
Berdasarkan hasil diskusi dan musyawarah bersama, para pemimpin masyarakat sepakat untuk kembali memindahkan pemukiman.
Kali ini, mereka memilih lokasi di sebelah timur sejauh 1 kilometer dari tempat sebelumnya.
Pemukiman baru ini dipilih dengan mempertimbangkan faktor keamanan dari bencana banjir.
Lokasinya berada di area yang lebih tinggi, di wilayah berbukit, jauh dari jangkauan luapan air Sungai Nimanga.
Pemilihan Nama Desa Lelema
Nama “Lelema” diambil dari nama pohon yang banyak tumbuh di wilayah tersebut. Di sekitar pohon Lelema ini, burung Manguni sering terlihat bertengger.
Menurut kepercayaan adat Minahasa, sebelum menetap di suatu wilayah, masyarakat harus memanggil seorang Tonaas (pemimpin adat) untuk meminta petunjuk dari burung Manguni.
Bunyi burung Manguni diyakini sebagai tanda atau isyarat mengenai baik atau buruknya suatu wilayah sebagai tempat bermukim.
Di lokasi terakhir inilah burung Manguni memberikan tanda baik, sehingga masyarakat memutuskan untuk menetap di sana.
Mereka membangun rumah-rumah permanen dan menetap secara permanen.
Sejak saat itu, wilayah tersebut dikenal dengan nama Desa Lelema, sebuah nama yang diambil dari pohon Lelema yang dianggap sebagai simbol keberuntungan dan perlindungan.
Hingga kini, Desa Lelema tetap menjadi pemukiman masyarakat setempat yang masih eksis hingga saat ini.
Daftar Nama Pejabat/Hukum Tua Desa Lelema
Selama perjalanannya, Desa Lelema dipimpin oleh sejumlah tokoh yang bertanggung jawab atas pengelolaan pemerintahan desa.
Berikut adalah daftar pejabat atau Hukum Tua (kepala desa) Desa Lelema dari masa ke masa:
- Albert Legi (1832-1878)
- Karel Suban (1878-1889)
- Arnold Menajang (1889-1901)
- Daniel Piri (1901-1936)
- Festus Legi (1936-1938)
- Simon Wulan (1938-1941)
- Karel Lumowa (1941-1948)
- Festus Legi (1948-1950)
- Petrus Moga (1950-1955)
- Willem B. Lontokan (1955-1959)
- Jost Lumowa (1959-1960)
- William Togo Piri (1960-1964)
- Paul Lamia (1964-1969)
- Hendrik Rapar (1969-1970)
- Leo Winerungan (1970-1971)
- Paul Rembang (1971-1976)
- Willem F. Piri (1976-1981)
- Elias Mantur (1981-1987)
- Jantje Kader (1987-1988)
- Albert Langi (1988)
- Herry Lontokan (1988-1989)
- Johny Sorongan (1989-1995)
- Max Potu (1995-1996)
- W. P. Rumengan (1996)
- Herry Lontokan (1996-2000)
- Simon Slat (2000-2002)
- Hansje Monintja (2002)
- Jultje Rauan (2002-2007)
- Decky Walangitan (2007)
- Simon Slat (2007-2014)
- Tirza Tumober, SE (2014-2020)
- Maxi A. Liwe, S.Sos (2020-2021)
- Vonny A. Pelealu, SE (2021)
- Shandy A. Maindoka, SE
- Dan seterusnya
Sejarah Desa Lelema menggambarkan keteguhan dan semangat masyarakatnya dalam menghadapi bencana dan tantangan.
Perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lain menunjukkan tekad mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman.
Dengan memanfaatkan kearifan lokal melalui kepercayaan pada burung Manguni, masyarakat akhirnya menemukan lokasi yang dianggap aman.
Desa Lelema saat ini menjadi saksi bisu dari perjuangan dan kerja keras masyarakatnya dalam membangun sebuah pemukiman yang layak huni.
*Disadur dari situs berita elnusanews.com judul artikel 190 Tahun Dalam Penyertaan Tuhan, Ini Sejarah Terbentuknya Desa Lelema