Kisah SS Swartenhondt dan MV Norse Lady: Kapal yang Terlibat dalam Konflik Permesta

Artikel2432 Dilihat

SS Swartenhondt adalah kapal penumpang yang dimiliki oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), yang mulai beroperasi pada tahun 1924 hingga 1959.

Kapal ini memiliki peran penting dalam sejarah pelayaran Indonesia, termasuk pada masa-masa penuh ketegangan saat konflik Permesta meletus pada tahun 1958.

 

Pada awal tahun tersebut, SS Swartenhondt menjadi salah satu kapal yang ditahan oleh kelompok Permesta, sebuah organisasi yang menentang pemerintah Indonesia pada waktu itu.

 

Namun, pada bulan April 1958, kapal ini akhirnya dibebaskan dan digunakan untuk mengangkut para ekspatriat yang sebelumnya terjebak di Manado, kembali ke tanah asal mereka.

 

Di sisi lain, MV Norse Lady adalah kapal kargo milik perusahaan pelayaran Norwegia yang pertama kali dibuat pada tahun 1919 dengan nama awal SS Norefos/Norefjord.

Pada awal tahun 1958, kapal ini dibeli oleh Pan-Norse Steamship Co. dari Panama, yang kemudian mengganti nama kapal tersebut menjadi Norse Lady.

Namun, pada tanggal 14 Agustus 1958, Norse Lady kandas di lepas pantai Parigi, Sulawesi Tengah, akibat cuaca buruk dan kondisi laut yang tidak menguntungkan.

Kapal tersebut kemudian dikuasai oleh tentara Permesta, yang berhasil melayarkannya kembali menuju Belang, Minahasa, sejauh sekitar 600 kilometer.

 

Pada tanggal 18 Agustus 1958, kapal tersebut ditemukan oleh Angkatan Laut Indonesia yang segera bertindak untuk menghentikan aksi tersebut.

 

Setelah beberapa hari terjadi ketegangan, pada tanggal 22 Agustus, Norse Lady akhirnya ditembak dan terbakar habis oleh pasukan Indonesia. Bangkai kapal itu tidak dibiarkan begitu saja, pada tahun 1966, sebuah perusahaan pembeli dari Hong Kong membeli bangkai Norse Lady dan menjualnya ke galangan kapal di Taiwan untuk dibongkar.

 

Kedua kapal ini—SS Swartenhondt dan MV Norse Lady—terlibat dalam peristiwa bersejarah yang menggambarkan ketegangan politik dan militer pada masa pasca-kemerdekaan Indonesia.

Kedua kapal tersebut juga mencerminkan bagaimana sektor pelayaran dapat terjebak dalam konflik internal negara, yang mempengaruhi pergerakan dan nasib kapal serta kru yang terlibat di dalamnya.

Tinggalkan Balasan