Pada sekitar tahun 1560 hingga 1590, ketika orang-orang Mongondow mulai memperluas wilayahnya ke selatan Minahasa, para tonaas (pemimpin adat) suku Minahasa merasa terpanggil untuk mempertahankan tanah leluhur mereka.
Musyawarah diadakan di Watu Pinawetengan, sekitar kaki Gunung Soputan, untuk menyusun strategi menghadapi ancaman dari suku Mongondow, yang telah menguasai wilayah barat Kuntung Tareran.
Tiga tonaas yang ahli dalam berbagai bidang diutus untuk menyelidiki dan merencanakan perlawanan.
Tonaas Mamarimbing dikenal sebagai ahli burung, Tonaas Palandi adalah pakar dalam memanggil dan menirukan suara burung, sedangkan Tonaas Sage ahli dalam memasang patok sebagai penanda wilayah.
Mereka memilih kaki bukit di sebelah barat (sekarang Desa Wuwuk) sebagai tempat untuk menghadang serangan Mongondow, yang telah mendirikan markas di desa Pinamorongan.
Setelah menyusun strategi dan memetakan lokasi, para tonaas dan pengikutnya mulai berkumpul untuk menghadapi pasukan Mongondow. Ketika pasukan Mongondow datang, pasukan Minahasa menyerang dengan suara teriakan “Makapetor…! I Yayat U Santy…!” dari segala penjuru, meskipun mereka kalah jumlah.
Namun, berkat pengetahuan medan dan semangat yang tinggi, pasukan Minahasa berhasil memukul mundur Mongondow kembali ke markas mereka.
Meski berhasil, pasukan Minahasa yang kelelahan harus menyusun strategi baru untuk menghadapi serangan berikutnya.
Tonaas kemudian memutuskan untuk menakuti pasukan Mongondow dengan cara menancapkan kepala korban pertempuran pertama ke patok-patok yang dipasang di sepanjang bukit Kuntung Tareran.
Ketika pasukan Mongondow kembali, mereka terkejut melihat kepala-kepala teman mereka yang tertebas terpasang di sepanjang bukit, yang membuat mereka takut dan akhirnya mundur.
Kemenangan ini berlanjut dengan pengusiran Mongondow dari markas mereka di Pinamorongan hingga ke sungai Ranoyapo dan Poigar.
Di sepanjang sungai Poigar, barikade bambu yang didirikan oleh pasukan Minahasa masih dapat dilihat hingga kini.
Kisah ini juga menjelaskan asal-usul nama Kuntung Tareran, yang berasal dari kata “Rinareran,” yang berarti berjejer, merujuk pada berjejernya kepala-kepala korban Mongondow di sepanjang bukit tersebut.
Peristiwa ini menjadi legenda yang dikenang turun-temurun, terkait dengan pertempuran sengit antara Minahasa dan Mongondow yang melibatkan keberanian, strategi, dan pengorbanan para tonaas dan pasukan Minahasa.
Sumber:
Disadur dan diringkas dari Buku *”Taar Era – Legenda Lipan & Konimpis”* oleh Valry S.H. Prang, 2017