Kapten Maarten Luther Walangitan: Dari Prajurit KNIL hingga Pemimpin AUREV

Tokoh Permesta2385 Dilihat

Kapten Maarten Luther Walangitan, yang lahir di Manado pada 16 Maret 1926, adalah salah satu tokoh penting dalam gerakan Permesta dan Angkatan Udara Revolusioner (AUREV).

Ia memulai karir militernya sebagai prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Belanda) pada akhir tahun 1949, namun kemudian memilih untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah penyerahan kedaulatan Indonesia. Walangitan ditempatkan di kesatuan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan bertugas di Pangkalan Udara Morotai, yang sebelumnya adalah pangkalan udara Sekutu pada masa Perang Dunia II.

 

Pada tahun 1958, ketika pergolakan Permesta meletus, Walangitan yang pada saat itu sudah berpangkat Letnan, memilih untuk bergabung dengan gerakan Permesta di Manado dan menjadi salah satu petinggi dalam AUREV.

 

Ia tercatat beberapa kali mendampingi Kepala Staf AUREV, Kolonel Petit Muharto, dalam kegiatan-kegiatan AUREV selama periode Maret hingga Mei 1958.

 

Namun, setelah pesawat Permesta yang dioperasikan oleh pilot Amerika, A.L. Pope, ditembak jatuh pada akhir Mei 1958, hampir seluruh aktivitas AUREV terhenti karena penarikan pesawat tempur Amerika ke pangkalan udara Clarkfield di Filipina.

 

Walangitan bersama pasukan Permesta lainnya diduga melanjutkan perjuangan mereka dengan gerilya di hutan-hutan Morotai.

 

Pada tahun 1960, Panglima Ventje Sumual mengirimkan surat melalui jalur kurir yang memerintahkan Walangitan untuk bertemu dengan pemimpin RMS (Republik Maluku Selatan), Dr. Ch.R.S. Soumokil, di Pulau Ceram untuk membicarakan kemungkinan kerja sama antara Permesta dan RMS dalam bingkai RPI (Republik Indonesia Serikat). Walangitan berhasil menghubungi Soumokil di markas besar RMS di Kampung Ahiolo, Pulau Ceram.

Ketika itu, ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) melakukan blokade laut sebagai persiapan operasi Trikora di Irian.

 

Walangitan pun tetap tinggal bersama pasukan RMS di Pulau Ceram hingga tahun 1962. Keadaan pasukan RMS semakin sulit karena kekurangan pasokan logistik.

 

Akhirnya, RMS mengirimkan misi bantuan yang dipimpin oleh Kapten Walangitan, yang beranggotakan 12 orang, termasuk 6 prajurit RMS, 3 orang Buton, dan 3 tentara Permesta.

 

Pada malam 25 Maret 1962, kelompok ini berangkat dari pantai utara Pulau Ceram menuju Papua.

 

Mereka berhasil menghindari patroli laut ALRI, namun setelah terombang-ambing selama 3 hari di laut, mereka akhirnya mendarat di Pulau Misool, yang masuk dalam gugusan Raja Ampat.

Sayangnya, keberadaan mereka sudah diketahui oleh patroli Angkatan Laut Belanda, yang segera menjemput mereka dan membawa mereka ke Sorong.

 

Meskipun Walangitan menunjukkan surat-surat resmi sebagai pemimpin misi, pihak keamanan Belanda tidak mengakui posisi mereka karena Permesta dan RMS tidak diakui secara diplomatik oleh pemerintah Belanda. Mereka pun ditahan dengan tuduhan sebagai pendatang gelap. Setelah tiga bulan, mereka akhirnya dibebaskan.

 

Pada September 1962, Walangitan bersama sebelas pasukannya dikirim ke Belanda untuk alasan keamanan.

Kapten Walangitan dan dua pengawalnya akhirnya menetap di Belanda. Pada tahun 1978, Walangitan bersama Letnan Laurens Rampen menghadiri acara RMS di Amsterdam.

 

**Disarikan dan dirangkum oleh Romy Toar Nonutu**

Tinggalkan Balasan