Burung hantu, atau yang dikenal sebagai burung manguni dalam tradisi Minahasa, memiliki peran yang sangat penting dalam sistem kepercayaan masyarakat setempat, baik pada masa lampau maupun saat ini.
Burung ini tidak hanya dipandang sebagai satwa biasa, tetapi juga dianggap sebagai simbol perantara manusia dengan leluhur atau para dewa.
Bagi leluhur Minahasa, burung manguni adalah pemberi tanda dan pesan, khususnya dalam konteks spiritual dan sosial.
Jejak kepercayaan ini dapat dilihat pada motif ukiran burung manguni yang terukir pada waruga, yaitu kubur batu khas Minahasa.
Waruga adalah makam megalitik yang digunakan untuk mengubur pemimpin adat atau tokoh penting masyarakat.
Motif burung manguni pada waruga melambangkan status dan kedekatan spiritual almarhum dengan leluhur dan para dewa.
Makna dan Peran Burung Manguni
Kemunculan burung hantu di beberapa daerah di Indonesia sering kali dikaitkan dengan mitos pembawa kabar buruk.
Namun, pandangan ini berbeda di kalangan masyarakat Minahasa.
Bagi mereka, burung manguni adalah simbol kebijaksanaan, pembawa pesan, dan perlambang perlindungan.
Burung ini dianggap sebagai makhluk suci yang berperan sebagai penghubung manusia dengan dunia leluhur dan para dewa, khususnya Opo Empung (Tuhan).
Penghormatan terhadap burung manguni tidak hanya tercermin dalam simbol-simbol budaya, tetapi juga pada identitas visual beberapa lembaga dan organisasi.
Contohnya, lambang Kabupaten Minahasa, logo klub sepakbola Persmin Minahasa, simbol gereja, hingga lambang Laskar Manguni, sebuah organisasi berbasis adat dan etnis Minahasa, semuanya menggunakan burung manguni sebagai identitas visualnya.
Waruga dan Simbolisme Burung Manguni
Waruga merupakan salah satu peninggalan megalitik Minahasa yang digunakan sebagai tempat pemakaman para pemimpin adat.
Cara penguburan dalam waruga cukup unik, yaitu jasad diletakkan dalam posisi meringkuk, menyerupai posisi janin dalam kandungan.
Konsep ini mencerminkan filosofi bahwa manusia kembali ke asalnya, sama seperti posisi saat dilahirkan.
Setiap waruga memiliki ukiran-ukiran khas yang menggambarkan status dan identitas pemiliknya.
Motif yang umum ditemukan mencakup gambar manusia, hewan, dan tanaman.
Bagi tokoh adat atau pemimpin yang dihormati, ukiran burung manguni sering kali disematkan pada tutup waruga.
Hal ini menunjukkan peran simbolis burung manguni dalam menghubungkan manusia dengan leluhur.
Menurut Hari Suroto, peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, ukiran burung manguni pada waruga menunjukkan bahwa leluhur Minahasa percaya pada kekuatan-kekuatan gaib di luar manusia.
Alam dan binatang dianggap sebagai media penyampai pesan dari para leluhur.
Tanda-tanda alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hingga perilaku hewan seperti ular, kucing, dan burung manguni diyakini sebagai pertanda bagi masyarakat.
Burung Manguni sebagai Celepuk Sulawesi
Secara ilmiah, burung manguni dikenal sebagai celepuk sulawesi atau Sulawesi scops owl (Otus manadensis), bagian dari famili Strigidae.
Burung ini memiliki bulu berwarna cokelat dengan pola gelap dan terang yang tersebar di seluruh tubuhnya.
Ciri khasnya adalah mata berwarna kuning cerah dan rumbai bulu di telinganya.
Burung ini dapat ditemukan di hutan-hutan di Sulawesi, terutama di kawasan Cagar Alam Tangkoko (Bitung), Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Gorontalo dan Bolaang Mongondow), serta Taman Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah).
Celepuk Sulawesi menghuni lapisan bawah dan pinggir hutan mulai dari dataran rendah hingga pegunungan bawah.
Sebagai burung endemik Sulawesi, populasinya semakin terancam akibat peralihan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman.
Penelitian yang dilakukan oleh Fransisca Solang, J.S. Tasirin, dan Wawan Nurmawan dalam studi berjudul “Distribusi dan Populasi Burung Manguni (Otus manadensis) di Gunung Kosibak, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone” mengungkapkan bahwa burung ini memiliki nilai budaya yang tinggi di kalangan suku-suku asli Sulawesi Utara.
Keberadaannya dianggap sebagai pertanda alam yang memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Dimensi Religius dan Ekologis Burung Manguni
Tidak hanya memiliki makna religius, kehadiran burung manguni juga membawa kesadaran ekologis.
Mayke Rinny Liando, dalam penelitian berjudul “Religiusitas dan Dimensi Ekologis di Balik Mitos Burung Manguni Pada Masyarakat Minahasa”, mengungkapkan bahwa pengetahuan tradisional masyarakat Minahasa tentang burung manguni berkaitan erat dengan upaya pelestarian ekosistemnya.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa mitos dan simbolisme burung manguni turut memengaruhi kesadaran masyarakat Minahasa dalam melestarikan habitatnya.
Hal ini penting mengingat populasi celepuk sulawesi kian menurun akibat kerusakan hutan.
Kesadaran ini mendorong upaya perlindungan ekosistem hutan yang menjadi habitat burung manguni, sekaligus menjaga kearifan lokal yang diwariskan leluhur.
Burung manguni tidak hanya sekadar burung hantu biasa.
Dalam tradisi Minahasa, burung ini memiliki peran penting sebagai simbol keagamaan, sosial, dan ekologi.
Sebagai perantara manusia dengan leluhur dan para dewa, burung manguni dihormati dan bahkan dijadikan lambang berbagai lembaga penting di Minahasa.
Jejak simbolisme burung manguni dapat dilihat dalam ukiran pada waruga, tradisi penguburan, serta kesadaran ekologi masyarakat Minahasa.
Keberadaan burung ini mengingatkan kita akan hubungan erat antara kepercayaan leluhur, identitas budaya, dan kelestarian lingkungan.
Upaya pelestarian burung manguni bukan hanya penting untuk menjaga ekosistem hutan, tetapi juga untuk melindungi simbol budaya Minahasa yang sarat makna.
*Disadur dari situs mongabay.co.id