Walian Abad Ke-15: Peran dalam Sejarah Minahasa

Artikel4332 Dilihat

Pada abad ke-15, jalur perdagangan rempah-rempah yang berkembang pesat di Ternate dan Tidore membawa pengaruh besar ke Minahasa.

Pelabuhan-pelabuhan di wilayah ini menjadi ramai oleh pedagang dari berbagai bangsa, termasuk Cina, Arab, Portugis, dan Spanyol. Interaksi ini tidak hanya melibatkan barang dagangan tetapi juga budaya, agama, dan konflik.

 

Minahasa dalam Perdagangan Global

 

Ekspedisi besar dari Kaisar Cina pada tahun 1292-1293 membawa kapal layar jung yang memulai perdagangan beras Minahasa dengan keramik porselen.

Beras dari Minahasa menjadi komoditas berharga karena di Ternate, tempat raja-raja gemar makan nasi, tanaman padi tidak tumbuh.

Pedagang Arab kemudian mengikuti jalur perdagangan ini, seperti Sharif Makdon pada tahun 1380, yang selain berdagang juga menyebarkan agama Islam ke suku Manarouw Mangindanouw.

 

Masuknya Portugis pada awal abad ke-16 membawa dinamika baru. Pedro Alfonso tiba di Ternate pada 1511, diikuti ekspedisi resmi Antonio de Abreu ke Maluku pada 1512.

 

Portugis bahkan mencoba menyewa tanah di Wenang untuk mendirikan basis dagang, tetapi ditolak oleh Walak Ruru Ares.

Setelah gagal di Wenang, mereka mendirikan benteng di Amurang pada tahun yang sama.

 

Kolonisasi dan Konflik Portugis-Spanyol

 

Portugis mendirikan benteng di daerah pesisir, sementara Spanyol mulai masuk ke pedalaman Minahasa pada 1523. Salah satu peristiwa penting adalah pernikahan Lingkan Wene dari Kakaskasen, Tomohon, dengan Kapiten Spanyol Juan de Avedo. Anak mereka, Mainalo Wulaï’an, menjadi simbol perpaduan budaya Minahasa dan Spanyol.

 

Namun, hubungan Portugis dan Spanyol di Minahasa tidak harmonis.

 

Portugis merasa terancam oleh pengaruh Spanyol yang semakin kuat, apalagi setelah Spanyol mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi untuk memperoleh tanah.

 

Pada akhirnya, Spanyol berhasil mendominasi Minahasa dengan bantuan suku Mongondouw, merebut benteng Portugis di Amurang pada 1550-an.

 

Peran Walian dalam Perlawanan Minahasa

 

Pada abad ke-16, peran Walian—pemimpin agama tradisional Minahasa—semakin terlihat, terutama dalam mempertahankan budaya dan melawan pengaruh asing. Surat-surat para misionaris Portugis dan Spanyol mencatat sikap permusuhan walian terhadap misi mereka.

 

Pater Blas Palomino, dalam suratnya pada 8 Juni 1619, mencatat bagaimana Walian Kali menghasut masyarakat untuk menolak misionaris Spanyol.

Konflik memuncak pada 1644 ketika 10.000 prajurit Minahasa mengusir Spanyol dari tanah mereka, membunuh 19 misionaris, termasuk Pater Lorenzo Garalda.

Perlawanan ini dipimpin oleh walian yang menjadi motor penggerak perjuangan rakyat.

 

Warisan Sejarah

 

Meskipun Spanyol dan Portugis meninggalkan jejak mereka di Minahasa, perlawanan yang dipimpin walian menunjukkan kekuatan budaya lokal dalam menghadapi pengaruh asing.

Ironisnya, kematian para misionaris justru menjadi katalis penyebaran agama Katolik di Minahasa.

 

Sejarah ini menggambarkan bagaimana Minahasa menjadi titik pertemuan berbagai peradaban dan medan perjuangan mempertahankan identitas.

Peran walian dalam membela tanah air dan budaya mereka adalah bukti semangat juang yang tetap relevan hingga kini.

*Penulis Jessy Wenas

*Foto Roderick C Wahr

Tinggalkan Balasan