Tujuh Isu Sentral Meneropong Presiden Terbaik Dalam Pilpres 2024 (Bagian 1)

Opini385 Dilihat

Pilpres 2024 akan berlangsung tahun depan tetapi konstalasi politiknya sangat dinamis saat ini. Saking dinamisnya, beragam opini dalam ruang publik bertaburan, baik dalam diskusi akademis, podcast, media sosial hingga obrolan rumah kopi. Para pengamat politik local dan nasional berusaha membaca dinamika politik yang sangat penuh dengan probabilitas politik. Para kontestan dalam pilpres 2024 kian gencar melakukan manuver-manuver politik yang di harapkan bisa membangun elektabiltas dan dukungan politik yang solid dan berpotensi meraih kemenangan politik. Pilpres 2024 menjadi sangat krusial karena terkait secara langsung dengan tiga factor utama.

Pertama, pilpres 2024 adalah pilpres pertama pasca pandemic COVID 19. Itu artinya, akan ada begitu banyak pekerjaan yang harus di kerjakan Presiden terpilih untuk mendorong pemulihan dan penguatan ekonomi nasional (inward problem). Kedua, dalam realitas konflik ekonomi global pasca pandemic COVID 19, Indonesia merupakan salah satu negara sentral di Kawasan Pasifik yang berpotensi menjawab kebutuhan pangan dan energi global (outward problem). Ketiga, Indonesia di perhadapkan dengan peluang sekaligus tantangan terkait bonus demografi  2045. Di mana dari 2024 menuju 2045 terdapat kurun waktu 21 tahun yang menuntut Indonesia agar bisa menetapkan langkah kebijakan strategis mengantisipasi bonus demografi 2045.

Beranjak dari tiga factor krusial di atas, maka secara otomatis membuat pilpres 2024 menjadi sangat penting karena akan sangat menentukan masa depan Indonesia. Dan juga, akan menentukan situasi dan posisi Indonesia dalam konteks geoekonomi dan geopolitik secara global. Hari ini, dunia global sementara mengalami transisi dari “uni polar” menjadi “multi polar”. Dominasi dari hegemoni Amerika sebagai negara adidaya mulai di imbangi oleh kebangkitan China di Kawasan Pasifik dan secara global. Di tengah konflik hegemoni antara Amerika dan China yang kian memanas, resistensi Rusia terhadap upaya aneksasi Amerika/Eropa yang menggunakan Rusia sebagai “proxy agent” memicu terganggunya ekonomi global. Akibat dari kondisi tersebut, negara Barat dan Eropa di landa inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan secara bersamaan (stagflasi ekonomi).

Dengan demikian, Indonesia tak bisa lagi di pandang sebatas negara kepulauan (archipelagic nation) di atas peta dunia. Indonesia tak bisa lagi di pandang sebatas salah satu negara sentral di Kawasan Pasifik. Indonesia menganut politik luar negeri (polugri) yang bersifat “bebas aktif”. Polugri bebas aktif tercetus pasca terjadinya perang dunia kedua yang memicu terpolarisasinya kekuatan global, yaitu blok barat dan blok timur. Blok barat adalah Amerika dan sekutunya dan blok Timur adalah Uni Soviet dan sekutunya. Pada tanggal 2 September 1948 di depan KNIP (komite nasional Indonesia pusat), Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul “Mendayung Di Antara Dua Karang”. Dalam pidato tersebut, Mohammad Hatta menawarkan konsep polugri bebas aktif di tengah konflik global antara blok barat dan blok timur. Secara sederhana, konsep polugri bebas aktif adalah sikap Indonesia dalam menentukan sikap politik global secara bebas tanpa harus di kendalikan oleh blok mana pun. Dan pada saat yang sama, Indonesia konsisten menjaga kedaulatan negara dan juga terlibat aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.

Pada masa demokrasi terpimpin, kebijakan polugri bebas aktif tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama pasal 11 dan pasal 13 ayat 1. Pada masa orde baru, polugri bebas aktif di atur dalam ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966.

Pasca era reformasi, polugri bebas aktif lebih di fokuskan pada upaya pembangunan nasional serta upaya menjalin hubungan kerja sama di berbagai bidang bersama dunia internasional. Hari ini, era perang dingin antara blok Barat dan blok Timur berakhir dan di menangkan oleh blok Barat (Amerika dan sekutunya). Pada akhirnya, Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi 15 negara pecahan, runtuhnya Uni Soviet di sebabkan karena kegagalan kebijakan Glasnost dan Perestroika dalam menanggulangi kemerosotan ekonomi saat itu. Perang dingin di menangkan oleh blok barat (Amerika dan sekutunya).

Hari ini, Pilpres 2024 akan berlangsung dalam atmosfer ekonomi global yang berbeda dengan era perang dingin di era Soekarno-Hatta. Di era perang dingin, konflik kepentingan global terkonsentrasi ke Kawasan Atlantik. Saat ini, konflik kepentingan global bergeser secara signifikan ke Kawasan Pasifik. Pasca Pandemi COVID 19, negara-negara Barat dan Eropa mengalami goncangan resesi ekonomi. Kondisi global kian di perparah dengan adanya perang Rusia dan Ukraina yang turut memicu terjadinya inflasi pangan dan energi secara global. Kondisi ini memaksa negara-negara Barat dan Eropa untuk mencari Kawasan strategis yang bisa berperan sebagai penyuplai alternatif untuk pasokan pangan dan energi. Dan salah satu negara penting yang bisa menjawab itu adalah INDONESIA!

Mari belajar dari masa lalu bangsa kita, ketika dunia global membutuhkan pasokan rempah, maka Indonesia sebagai  lumbung rempah dunia menjadi daerah jajahan dari bangsa Eropa. Jejak sejarah bangsa ini terlampau jelas, di mana kepentingan ekonomi global terpusat, maka ke sana akan menjadi sentral ekspansionis dari kolonialisme dan imperialisme global. Indonesia dalam pusaran global ini di perhadapkan dengan dua hal sekaligus, yaitu PELUANG sekaligus ANCAMAN. Menjadi peluang karena secara otomatis menempatkan posisi Indonesia dalam nilai tawar ekonomi yang sangat tinggi di panggung dunia.

Menjadi ancaman karena akan sangat berpotensi menempatkan Indonesia sebagai “battle ground” dari konflik faksi-faksi global yang saling kecamuk. Lemah atau gagalnya negara melindungi kedaulatan ekonomi dan wilayah akan memicu terjadinya aneksasi asing. Dan konsekuensinya, kita menjadi negara merdeka sebatas slogan belaka, kenyataannya kita malah menjadi babu di tanah sendiri.

Oleh karena itu, dengan menyadari krusialnya pilpres 2024, maka kapasitas seorang presiden terpilih nantinya haruslah paripurna menjawab tantangan domestic dan global. Bukan hanya sebatas menjadi figur nasional dengan kualitas elektabiitas politik yang tinggi tapi gagal menakhodai kapal besar bernama Indonesia. Indonesia butuh pemimpin tangguh yang bukan hanya bisa “bernyanyi” merdu dalam populisme politik dalam negeri, tapi juga membutuhkan pemimpin “bernyali” untuk melindungi dan membangun kedaulatan ekonomi Indonesia di mata dunia. Bukan hanya sekedar sosok pemimpin yang populis membangun retorika dalam negeri, tapi juga membutuhkan sosok pemimpin matang yang bisa “meng-organize” pluralitas politik dan sosial masyarakat dan mendorong terciptanya persatuan nasional. Dengan demikian, berbagai keributan politik domestic yang memicu melambannya kebijakan nasional bisa di minimalisir.`

Kita butuh kapasitas pemimpin nasional yang bisa menjadi perekat pluralitas nasional sehingga menciptakan solidaritas national yang kuat. Bukan sosok pemimpin yang menjadi “boneka pinokio” yang di control kartel-kartel oligarki nasional. Bukan menjadi sosok pemimpin yang lebih berpihak kepada “wong licik” daripada melindungi “wong cilik”. Hilirisasi ekonomi di berbagai bidang di tempatkan agar menjadi “karpet merah” bagi kebangkitan ekonomi rakyat dan bukannya menjadi “karpet merah” bagi kaum monopolis. Sehingga kebijakan-kebijakan  pemerintah benar-benar menjadi pemicu “multiplier effect” yang positif ke semua “stakeholder”, akan berdampak positif dan progresif ke pihak pemerintah pusat/daerah, swasta nasional/lokal dan masyarakat pada semua lapisan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin memberikan tujuh catatan penting yang wajib di atensi oleh setiap capres/cawapres dalam pilpres 2024. Ketujuh catatan ini adalah adalah isu sentral Indonesia bukan hanya dalam ruang domestic tapi juga secara global.

Pertama, Urgensi Peningkatan Literasi Nasional

Dalam survey literasi yang di lakukan oleh OECD (Organization For Economic Co-operation & Development) bertajuk Program For International Student Assessment (PISA) menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden. Indonesia pada tingkat 62 hanya memiliki skor 395,3 dan berada jauh di bawah Singapore dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495 dan Thailand dengan skor 415. Skor PISA ini di ukur dengan tiga indicator kualitas pendidikan yaitu kemampuan matematika, ilmu sains dan membaca. Menurut Wikipedia, literasi berasal dari bahasa latin literatus yang mengandung makna orang yang belajar. Literasi bukan hanya merujuk sekedar “gelar sarjana” atau “ijazah akademik” setelah di wisuda dari perguruan tinggi. Literasi lebih terkait pada kemampuan penambahan kosakata, mengoptimalkan kerja otak, menambah wawasan dan informasi baru, mempertajam diri dalam menangkap makna suatu informasi tertentu, mengembangkan kemampuan verbal, melatih kemampuan berpikir dan menganalisa, meningkatkan focus dan konsentrasi dan melatih dalam hal menulis serta merangkai kata yang bermakna kritis.

World Economic Forum pada tahun 2015 sepakat dalam pengelompokan enam literasi dasar yang memiliki segment-segment yang spesifik yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi financial, literasi budaya dan literasi kewarga negaraan (politik). Minimanya literasi membuat masyarakat awam kita kerap kali kurang kritis dalam memilah antara hoax, asumsi subyektif dan fakta obyektif. Hal ini menjadi hal yang cukup berbahaya karena eforia masyarakat kita dalam menggunakan internet dan media sosial cukup tinggi. Data dari Wearesocial tahun 2017 menunjukan bahwa orang Indonesia dalam sehari bisa tahan menatap layar gadget hingga 9 jam per hari. Tidak heran jika Indonesia tergolong Negara keempat terbesar sebagai Negara teraktif pengguna smartphone setelah China, India dan Amerika. Shafiq Pontoh dari CO-FOUNDER PROVETIC  menjelaskan bahwa jenis hoax yang paling dominan adalah isu sosial politik. Berdasarkan hasil penelitian terkait, hoax dalam masalah sosial politik mencapai angka 91,8%, masalah SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) mencapai angka 88,6%, kesehatan mencapai 41,2%, makan/minum mencapai 32,6%, penipuan keuangan mencapai 24,5% dan Iptek mencapai 23,7%.

Hal ini menjadi sangat ironis mengingat dana APBN cukup dominan di alokasikan di kementerian Pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud). Pembiayaan APBN yang di alokasikan untuk kementerian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud) pada tahun 2023 mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah karena mencapai angka Rp 612,2 Triliun. Data dari kementerian keuangan menyatakan bahwa jumlah pembiayaan tersebut tumbuh sebesar  5,8% dari pembiayaan sebelumnya sebesar Rp 574,9 triliun . Dari pembiayaan APBN 2023 untuk pendidikan tersebut, alokasi anggaran pendidikan yang akan di transfer ke daerah mencapai Rp 305,6 Triliun. Jumlah transfer ke daerah akan di bagikan untuk kebutuhan bantuan operasional pendidikan (BOS) kepada 43,7 ju ta siswa, bantuan operasional penyelenggara (BOP) untuk PAUD pada 6,2 juta siswa (Santika, Erlina F. 2023. “Anggaran Pendidikan APBN 2023 Paling Tinggi Sepanjang Sejarah”. www.databooks.katadata.co.id. Di akses Pada 2 Mei 2023).

Sayangnya, Jumlah kasus korupsi di sektor pendidikan yang di tangani penegak hukum dari tahun 2016-2021 mencapai angka korupsi sebesar Rp 2,9 Triliun. Secara umum, kasus korupsi tersebut paling dominan terjadi pada penggunaan dana BOS atau Bantuan operasional sekolah (Dihni, Vika Azkiya. 2022. “Jumlah Kasus Korupsi Sektor Pendidikan Yang Di Tangani Penegak Hukum Periode 2016-2021. www.databooks.katadata.co.id. Di akses Pada 2 Mei 2023). Kebijakan strategis dalam upaya peningkatan angka literasi nasional sekaligus peningkatan kualitas Pendidikan nasional menjadi sangat mendesak. Sehingga bisa mendorong kualitas masyarakat yang memiliki penguasaan iptek dan teknologi secara nasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional bukan hanya di dorong oleh “resources driven state” (pertumbuhan ekonomi yang berpijak sumber daya alam) tapi berkembang menjadi “efficiency economic driven state” dan “innovative technology driven state” (peran dari sains dan teknologi yang memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang signifikan).

Kedua, Urgensi Penanggulangan Stunting Nasional

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita karena di sebabkan oleh karena kurangnya gizi dalam waktu yang lama, paparan infeksi berulang dan kurangnya stimulasi. Kondisi malnutrisi ini di pengaruhi oleh kesehatan ibu hamil, status kesehatan remaja, taraf ekonomi dan budaya lingkungan (sanitasi dan akses layanan kesehatan). Dalam situs www.nestlehealthscience.co.id, defenisi stunting adalah penyakit yang di sebabkan oleh kekurangan gizi kronis pada masa awal kehidupan anak. Resiko masalah stunting wajib di waspadai karena berdampak buruk pada anak bukan hanya pada saat ini tapi juga berdampak jangka panjang.anak yang mengalami stunting akan mengalami gangguan perkembangan otak. Secara otomatis, akan berdampak buruk pada kemampuan kognitif anak yang akan mengalami kesulitan mengingat, kesulitan menyelesaikan masalah dan tersendat dalam aktivitas yang melibatkan kegiatan mental dan fungsi otak. Jika kemampuan kognitif anak telah terganggu karena stunting, maka generasi masa depan yang di proyeksikan untuk Indonesia emas 2045 pun ikut terancam.

Terjadinya penuruhan fungsi intelektual karena stunting akan memicu sulitnya memproses informasi dan sulitnya bersosialisasi di sekolah, pergaulan dan rumah. Menurut penelitian Dr. dr. Darmayanti Rusli Syarif, SpAk bahwa anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia 1 tahun, 25% di antara mereka beresiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah 70 dan 40% beresiko memiliki tingkat kecerdasan antara 71-90. Dengan tingkat kecerdasan tersebut, akan membuat kemampuan akademis dari generasi masa depan bangsa ini terancam. Kementerian kesehatan melalui situs resmi www.sehatnegeriku.kemenkes.go.id pada tanggal 25 Januari 2023, merilis hasil survey gizi Indonesia (SSGI) dalam rapat kerja nasional BKKBN terkait prevalensi stunting Indonesia yang mengalami penurunan dari 24,6% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022.

Capaian penurunan stunting tersebut wajib di apresiasi tapi ini masih memiliki gap yang lebar dengan target capaian stunting pada tahun 2024 sebesar 14% (sesuai Peraturan Presiden no.72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting). Masih terdapat selisih penurunan stunting yang cukup lebar sebesar 7,6% dari tahun 2021 menuju target 2024. Kita tak boleh pesimis tapi juga harus di sadari untuk menekan angka stunting butuh strategis dan sinergitas lintas sectoral dari pemerintah pusat hingga ke daerah. Standard WHO menegaskan prevalensi stunting harus di bawah 20%, jika melampaui dari prevalensi tersebut maka di anggap kronis. Dengan kata lain, meski prevalensi stunting tahun 2022 mengalami penurunan, prevalensi stunting secara nasional masih tergolong pada status kronis. Akar penyebab stunting di sebabkan karena factor langsung dan factor secara tak langsung.

Ketiga, Mendesaknya Solusi Strategis Untuk Menyongsong Dividen Demografi

Istilah “dividen demografi” hari ini sangat populer di berbagai ruang diskusi dan seminar secara tatap muka atau webinar (online). Bonus demografi di maknai sebagai kondisi demografi Indonesia yang di dominasi oleh penduduk pada usia produktif di bandingkan dengan penduduk dari usia non produktif. Berdasarkan data dari Dirjen Dukcapil Kemendagri, jumlah penduduk Indonesia pada bulan Juni 2022 mencapai 275,36 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, ada 190,83 juta jiwa atau sekitar 69,3% adalah penduduk pada usia 15-64 tahun yang tergolong usia produktif. Dan sisanya sebesar 84,53 juta jiwa atau sekitar 30,7% dari kelompok usia non produktif (kelompok usia belum produktif di bawah 15 tahun dan kelompok usia non produktif di atas 64 tahun). Dengan komposisi jumlah penduduk tersebut, maka rasio ketergantungan/beban tanggungan (depency ratio) adalah sebesar 44,3%. Artinya, 100 jiwa penduduk usia produktif menanggung 44-45 jiwa penduduk usia non produktif (Kusnandar, Viva Budy. 2022. “Era Bonus Demografi, 69% Penduduk Indonesia Masuk Kategori Usia Produktif Pada Juni 2022”. www.databooks.katadata.co.id. Di akses Pada 2 Mei 2023).

Kementerian perencanaan pembangunan nasional (PPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2045, tepat 100 tahun setelah Indonesia merdeka. Dalam laporan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2015-2045 yang di laporkan oleh kementerian perencanaan pembangunan nasional (PPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia di prediksi pada tahun 2045 akan mencapai jumlah penduduk pada angka 318,96 juta jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk pada usia produktif akan mencapai angka 207,96 juta jiwa. Sedangkan penduduk usia non produktif akan mencapai angka 110,97 juta jiwa. Dengan komposisi jumlah penduduk tersebut, maka rasio ketergantungan/beban tanggungan (depency ratio) adalah sebesar 53,35%, artinya 100 jiwa penduduk usia produktif akan menanggung beban 54 jiwa dari penduduk usia non produktif (Kusnandar, Viva Budy. 2022. “Waspada Bencana Demografi, Proyeksi Penduduk 2045”. www.databooks.katadata.co.id. Di akses Pada 2 Mei 2023).

Pada tahun 2022, serapan tenaga kerja malah menurun di tengah melonjaknya investasi asing. Data yang di kutip Annur dalam situs www.databooks.katadata.co.id pada tanggal 25 Januari 2023, kementerian investasi/BKPM mencatat realisasi investasi pada kuartal IV-2022 mencapai Rp 318,8 triliun. Dari jumlah total tersebut, nilai penanaman modal asing (PMA) mencapai angka sebesar Rp 175,2 triliun dan berkontribusi 55,6% terhadap total realisasi investasi. Prosentase tersebut tumbuh 43,3% secara tahunan (year on year/yoy). Pada kuartal yang sama, serapan tenaga kerja dari PMA berada pada angka 39,70%. Serapan tenaga kerja dari sektor PMA di atas turun sebesar 5,25% dari kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq) dan tumbuh tipis sebesar 0,62% dari tahun sebelumnya (year on year/yoy). Serapan tenaga kerja dari sektor PMA pada kuartal IV-2022 bahkan lebih kecil dari kuartal IV-2019, padahal realisasi PMA pada kuartal IV-2019 tertinggal jauh di bandingkan capaian realisasi PMA pada kuartai IV-2022.

Dari paparan data di atas, maka pemerintah harus awas dengan kebijakannya terkait investasi. Harusnya, peningkatan investasi harus berdampak signifikan pada peningkatan serapan tenaga kerja yang memprioritaskan populasi kerja domestic. Hal ini sebegai bentuk keberpihakan dan komitmen pemerintah untuk memaksimalkan potensi dari dividen demografi di atas. Upaya penguatan kompetensi populasi kerja domestic harus menjadi prioritas sehingga memiliki daya saing dalam pasar kerja secara nasional dan internasional. Slogan terkait pentingnya pembangunan dividen demografi jangan hanya sebatas wacana kebijakan, harusnya urgensi tersebut juga bisa terkontekstualisasi secara konsekuen dalam setiap lokus-lokus kebijakan pemerintah dari pusat hingga ke daerah. Bagaimana dividen demografi 20245 bangsa kita akan bisa maksimal jika penguatan “generasi emas” Indonesia tak di tunjang dengan kebijakan yang konsekuan pada aspek keunggulan, daya saing, kemandirian dan kesejahteraan?

Keempat, Urgensi Penanggulangan Korupsi Nasional

Dari hasil survey Transparency International melalui situs www.ti.or.id, di laporkan bahwa skor CPI (corruption perception index) pada tahun 2022 merosot pada skor 34. Skor ini merosot 4 poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38. CPI merupakan sebuah indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik. Di mana range skor berada pada angka nol (sangat bersih korupsi) sampai pada angka 100 (sangat korupsi). CPI Indonesia pada skor 34 jauh berada di bawah standar global CPI pada skor 43 (selisih 9 poin). Dengan angka CPI ini, Indonesia masuk kategori sebagai negara korup kelima di Asia Tenggara. Indonesia berada pada peringkat kelima setelah Myanmar dengan skor 23, Kamboja dengan skor 24, Laos dengan skor 31 dan Philipina dengan skor 31 (Annur, 2023, www.databoks.katadata.co.id). Skor CPI di hitung dari delapan indikator yang di amati oleh Transparency International. Dari delapan indikator tersebut, yang paling anjlok dari CPI Indonesia adalah dari komponen PRS (political risk service).

Komponen PRS dalam CPI Indonesia anjlok dari skor 48 menjadi skor 35 (anjlok 13 poin). PRS terkait pembayaran ekstra, konflik kepentingan antar politisi dan pelaku usaha, serta kasus korupsi dalam sistem politik. Dari hasil pantauan ICW (Indonesia Corruption Wath), ada empat modus korupsi yang dominan pada tahun 2021, yaitu penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, penggelapan dan mark up. Empat modus ini sering di temukan dalam kasus korupsi pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah (Dihni, 2023, www.databoks.katadata.co.id). Hasil pantauan ICW ini sinkron dengan hasil survey Transparency International, bahwa penyumbang terbesar anjloknya CPI Indonesia bersumber dari komponen PRS (political risk service).

Ironisnya, Para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia di dominasi dari kelompok yang tergolong “well educated” atau memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Reportase berita resmi dari situs www.merdeka.com pada tanggal 17 November 2021 dengan tajuk “Wakil Ketua KPK: Banyak Koruptor Bergelar Master, Kedua Sarjana”, Nuruf Ghufron sebagai Wakil Ketua KPK menyebut mayoritas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia berpendidikan tinggi. Menurut Ghufron, sebanyak 86% koruptor yang berurusan dengan KPK pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Apakah dengan ironisnya kondisi ini membuat kita berpikir, bahwa sektor pendidikan nasional kita masih kurang berhasil mendidik moralitas dan integritas di bangsa ini? Presiden terbaik yang di butuhkan Indonesia haruslah memiliki komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan kasus korupsi tanpa padang bulu, baik dari tingkat pemerintah pusat hingga ke tingkat pemerintah desa.

(Bersambung pada Bagian Kedua)

Tinggalkan Balasan