Catatan Reflektif Peringatan Hari Kartini Bagi Kaum Perempuan Sulawesi Utara Dan Indonesia
Saya teringat ketika masih mahasiswa dan berkesempatan mengunjungi sebuah pusat pelatihan ekspor impor di salah satu kawasan di Jakarta. Berkumpul dengan beragam rekan dari berbagai etnis dan agama serasa mencicipi kentalnya pluralitas di bangsa majemuk ini.
Sayangnya, pada saat lagi santai sembari ngopi bareng, candaan kita begitu segar hingga berlabuh pada satu tema yang memancing aroma apriori. Saat rekan-rekan tahu saya berasal dari Manado, mereka sempat bertanya tentang sebuah stereotipe tentang Perempuan Manado. Stereotipe yang mereka angkat adalah populernya Manado dengan 4B, yaitu Bunaken Manado, Boulevard Manado, Bubur Manado dan Bibir Manado.
Bibir Manado adalah stereotipe yang agak negative terkait Perempuan Manado.
Dengan segera saya mengklarifikasi bahwa stereotipe tersebut terlalu berlebihan bahkan keterlaluan. Karena tidak semua Perempuan Manado konotasinya begitu negative seperti persepsi yang terbangun dari stereotipe tersebut.
Beranjak dari memori tersebut, dan bertepatan peringatan hari Kartini tanggal 21 April 2023, membuat jari saya tergelitik menggores judul tulisan ini. Dengan sebuah harapan, tulisan ini akan cukup punya nyawa untuk mematahkan persepsi negative dari stereotipe terhadap Perempuan Manado tadi. Sekaligus, menjadi suara provokatif yang menyadarkan kaum perempuan pada umumnya agar berani keluar dari penjara marginalisasi gender, krisis identitas inferior dan konflik batin personal.
KILAS BALIK PERJUANGAN KARTINI
Kisah kehidupan Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) adalah sebuah prasasti hidup yang menjadi bukti bagaimana tradisi feodalisme melakukan diskriminasi gender bagi kaum perempuan. RA Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah dari keluarga bangsawan. Ayah RA Kartini bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat yang merupakan putra dari Pangeran Ario Tjondro IV.
Diskriminasi gender adalah perlakuan tidak setara yang di tujukan pada gender tertentu. Misalnya, perempuan di berikan posisi yang lebih rendah dalam masyarakat sehingga rentan mengalami kekerasan, sulit meraih pendidikan tinggi, dan hidup mandiri. Salah satu bentuk diskriminasi gender adalah marginalisasi, yaitu proses pengabaian hak-hak dasar yang seharusnya di terima oleh kelompok yang di abaikan. Kaum perempuan pada masa RA Kartini mengalami tradisi pingitan, yaitu tradisi lazim yang wajib di alami oleh setiap perempuan ningrat Jawa. Pingitan adalah keadaan di mana seorang perempuan di kurung di rumah sembari belajar menjadi perempuan ideal sampai datangnya lamaran dari laki-laki bangsawan.
Selama mengalami masa pingitan, RA Kartini menghabiskan waktunya dengan membaca, menulis, melukis dan membatik. Sebelum di pingit, RA Kartini sempat belajar di sekolah kelas II Belanda, ia belajar bahasa Jawa, memasak, menjahit dan agama. Sayangnya, RA Kartini harus di pingit pada usia 12 tahun sehingga tak bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi. Hal ini membuat seorang RA Kartini yang haus belajar dan ilmu pengetahuan seperti terpenjara. Selama masa pingitan, RA Kartini harus belajar dalam kungkungan tradisi feodalisme.
Sebagai wanita yang bicara tak boleh keras, di larang tertawa, hanya boleh tersenyum dengan bibir terkatup, berjalan perlahan-lahan dan menundukan kepala ketika ada anggota keluarga yang lebih tua melintas.
Dalam sebuah buku berjudul Kartini:Sebuah Biografi yang di tulis oleh Sitisoemandari, mengungkap kondisi RA Kartini saat di pingit, Dunia menjadi sangat sempit, terbatas antara dinding-dinding gedung kabupaten yang tebal dan kuat, serta halaman luas di lingkari tembok tebal dan tinggi, dengan pintu-pintu yang selalu tertutup rapat. Tradisi feodalisme kala itu, benar-benar menjadi seperti kerangkeng kultural di mana hak kemandirian seorang perempuan itu di abaikan. Kaum perempuan di lekatkan dengan dengan identitas subordinasi, di mana gender perempuan lebih rendah dari gender pria. Dari petikan kisah seorang RA Kartini, saya ingin meng-eksrak beberapa intisari berharga yang bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita semua, khususnya juga bagi para kaum perempuan, yaitu:
Pertama, Terpenjara Dalam Marginalisasi Tapi Merdeka Dalam Literasi Dan Emansipasi
Meski tak bisa lagi melanjutkan sekolah yang lebih tinggi karena tradisi pingitan, RA Kartini tidak membiarkan kehausan dirinya akan pendidikan harus terpenjara. RA Kartini tak kehilangan jalan untuk terus mengasah intelektualnya. Meski terpenjara dalam pingitan, tapi pikirannya merdeka dalam alam literasi yang penuh pencerahan akan emansipasi perempuan. RA Kartini menemukan jalan perjuangannya melalui dunia karya tulis. Kecakapan membaca/menulis adalah salah satu bagian penting dari bidang literasi.
Menurut Wikipedia, literasi berasal dari bahasa latin literatus yang mengandung makna orang yang belajar. Menurut National Institute For Literacy, makna literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca/menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang di perlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Pramoedya Ananta Noer pernah berkata, “Seseorang bisa pintar setinggi langit, tapi jika anda tidak menulis, maka ia akan hilang dalam masyarakat atau sejarah”. Adagium ini yang paling akurat meringkas corak perjuangan RA Kartini selama di penjara oleh tradisi feodalisme melalui pingitan. RA Kartini menemukan takdir perjuangannya saat ia menemukan rekan-rekan koresponden dari Belanda yang terlibat dari gerakan feminisme Belanda. Salah satu rekan korespondennya bernama Maria Ovink Soer yang juga adalah tokoh gerakan feminisme Belanda. Maria Ovin Soer adalah isteri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah.
Sebelum di pingit, Maria Ovin Soer mengenalkan RA Kartini pada jurnal feminisme Belanda bernama De Hollandsche Lelie. Pada 15 Maret 1899, Tulisan RA Kartini yang meminta rekan korespondensi di muat dari jurnal feminisme tersebut. Tulisan RA Kartini tersebut di tanggapi oleh Estella Zeehandelar, seorang pegawai di kantor Pos dan telegram di Amsterdam. Estella Zeehandelar adalah penulis novel populer di Belanda dan merupakan keturunan Yahudi-Belanda. Korespondensi RA Kartini dan Estella Zeehandelar berawal pada tanggal 25 Mei 1989. Sejak itu, korespondensi keduanya berlangsung intens dan panjang meski keduanya tidak pernah bertatap muka.
Melalui tulisan korespondensi, RA Kartini menuangkan tulisan-tulisannya tentang marginalisasi kaum perempuan, penderitaan rakyat oleh kolonialisme dan kebutuhan akan pendidikan bagi kaum perempuan pribumi. Pada masa tulisan RA Kartini di publikasikan, Kerajaan Belanda dalam fase pergeseran politik tanam paksa ke politik etis. Politik etis mengedepankan sikap balas budi Belanda terhadap rakyat di negara jajahan.
Tulisan- tulisan RA Kartini seperti percikan api yang menyulut semangat baru dalam perjuangan gerakan feminism di Belanda, sekaligus menjadi energi perjuangan pendidikan bagi kalangan perempuan pribumi di Indonesia.
Melalui Estella Zeehandelar, RA Kartini di perkenalkan dengan tokoh suami isteri berpengaruh dari Belanda. Mereka adalah Jacques Henrij Abendanon dan Rosa Abendanon, kedua suami isteri ini adalah keturunan Yahudi-Suriname dan juga adalah pendukung gerakan politik etis di Belanda. Jacques Henrij Abendanon adalah Menteri pendidikan, agama dan industri dari Hindia Belanda. Pasca wafatnya RA Kartini, Jacques Henrij Abendanon yang mengumpulkan surat-surat RA Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul “Door Duisternis Tot Liccht” pada tahun 1911. Pada tahun 1939, buku tersebut di terjemahkan oleh Arminj Pane dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Tulisan RA Kartini telah menjadi sebuah gagasan progresif yang mendobrak tradisi feodalisme Jawa menjadi tradisi egaliter yang memberi ruang kesetaraan bagi kaum perempuan. RA Kartini terpenjara dalam tradisi feodalisme Jawa tapi ia merdeka dalam perjuangan literasi dan emansipasi perempuan.
Kedua, Menggunakan Pena Sebagai Senjata Perjuangan Emansipasi
Senjata perjuangan yang di gunakan oleh RA Kartini bukanlah bedil atau bambu runcing tapi seujung pena dengan goresan tulisan yang memiliki energi pencerahan bagi perjuangan emansipasi perempuan. Tapi sebenarnya, energi perjuangan emansipasi perempuan yang di usung RA Kartini jauh berbeda dengan gerakan feminisme mula-mula yang muncul di Eropa. Menurut Wikipedia, feminisme merupakan gerakan dan ideologi yang bertujuan untuk mencapai tingkat gender yang bernaung pada hak asasi manusia. Feminisme adalah serangkaian gerakan social, politik dan ideologi yang memilki tujuan memperjuangkan hak wanita dengan menetapkan kesetaraan pada aspek politik, ekonomi, pribadi dan social.
Pencetus dari cikal bakal dari gerakan feminisme Eropa bernama Mary Wollstonecraft (27 April 1759 – 10 September 1797) yang hidup pada dekade abad ke 18. Wollstonescraft terkenal dengan gagasan feminism dalam tulisan bukunya berjudul “A vindication of the right women”. Dalam tulisannya, Wollstonescraft mengritik tulisan dari James Fardyce dan John Gregory terkait pedoman perilaku, termasuk tulisan filsuf pendidikan bernama Jacques Rousseau. Wollstonescraft mengritik tulisan mereka yang berpendapat bahwa perempuan tidak membutuhkan pendidikan rasional. Bahkan, Jacques Rousseau berpendapat bahwa perempuan harus di didik untuk kesenangan kaum pria.
Meski tulisan Wollstonescraft telah menjadi cikal bakal gerakan feminisme Eropa, pemikirannya tidak sepenuhnya harus di adopsi. Melalui gagasannya, Wollstonescraft menekankan advokasi untuk kesetaraan pendidikan yang setara bagi perempuan, tapi tidak mengadvokasi kemajuan social dan rumah tangga perempuan. Gagasan feminisme Wollstonescraft tidak di rancang bagi kemajuan peran perempuan sebagai ibu, isteri, anak perempuan dan saudara perempuan. Tidak heran, gagasan feminisme Wollstonescraft di kritik oleh tokoh feminisme lainnya bernama Brigitte Holzner (pakar kesetaraan gender).
Menurut Brigitte Holzner, konsep feminisme mengalami tumpang tindih dan kabur batasannya. Menurutnya, di satu sisi, gerakan feminisme masa lalu memberi dampak pada pemenuhan tuntutan kesetaraan yang hari ini di rasakan kaum perempuan. Namun, di sisi lainnya malah memicu masalah social seperti perpecahan keluarga dan penelantaran anak. Akibatnya, banyak kalangan menuduh gerakan feminisme radikal sebagai gerakan yang memicu kehancuran institusi keluarga, perempuan menjadi egois serta kurang peduli terhadap anak sebagai generasi penerus yang penting.
Konsep emansipasi yang di perjuangan RA Kartini melalui ujung penanya berbeda dengan konsep feminisme radikal. RA Kartini memperjuangkan kesetaraan hak perempuan tapi tidak pernah mengharapkan terjadi pertikaian gender antara perempuan dan pria. Dalam salah satu suratnya pada Profesor Gustav Anton, seorang guru besar politik Jerman dari Jena, RA Kartini menuangkan konsep emansipasi perempuan, “kami di sini memohon di usahkan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, yaitu menjadi ibu, pendidik manusia pertama”.
Ketiga, Memilih Menciptakan Terang Daripada Mempersalahkan Kegelapan
RA Kartini mewakili kaum perempuan yang visioner dan futuristik, memiliki wawasan luas yang sanggup melampaui zaman dan generasinya. Tulisan-tulisan RA Kartini mewakili gugatan terhadap realitas marginalisasi terhadap kaum perempuan dalam kungkungan feodalisme Jawa. RA Kartini mewakili sosok perempuan pribumi tangguh dan penuh kobaran semangat optimisme dan kemandirian. RA Kartini lebih memililih berjuang “menciptakan terang perubahan” daripada sekedar “mempersalahkan gelapnya tradisi feodalisme” bagi perempuan Jawa.
RA Kartini mewakili sosok perempuan ningrat tapi egaliter dengan meninggalkan atribut elitis yang eksklusif. RA Kartini memilih turun ke bawah memperjuangkan hak kesetaraan kaum perempuan pribumi. RA Kartini mewakili sosok perempuan yang memiliki gagasan progresif yang tajam dan kuat tentang kesetaraan perempuan, perlawanan terhadap kolonialisme dan kritik terhadap feodalisme Jawa kala itu. Meski di penjara dalam kerangkeng feodalisme, gagasan RA Kartini bagai memiliki sayap menembus sekat tradisionalitas, ia terbang dengan tangkas bertamasya ke alam berpikir modernisasi Eropa.
RA Kartini bukan hanya sekedar sosok perempuan yang mengenakan kebaya, bersanggul dengan kesan penampilan kalem. Sosoknya yang lembut dan kalem tak bisa menjinakan gelora progresif dalam dirinya untuk meretas marginalisasi dan memasuki alam emansipasi perempuan. Gagasan emansipasi wanita dari RA Kartini lahir dari pemikiran modern Eropa dengan tanpa meninggalkan identitas dan karakter original dirinya sebagai perempuan bumiptera (pribumi). Hal tersebut memantik kegelisahan yang memuncak dan pencerahan progresif tentang perjuangan dalam diri seorang RA Kartini. Perjuangannya bukan hanya memperjuangkan kaum perempuan dari marginalisasi gender tapi juga memperjuangkan kemerdekaan kaum pribumi dari kungkungan kolonialisme.
Buah pemikiran RA Kartini membawa dirinya mendapatkan peluang beasiswa pendidikan ke Belanda. Sayangnya, peluang beasiswa pendidikan tersebut tak bisa di ambil olehnya. Hal itu di sebabkan karena RA Kartini sudah harus menikah dengan dengan Bupati Rembang bernama Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat yang langsungkan pada tahun 1903. Pasca pernikahan pada tahun yang sama, RA Kartini membangun sekolah perempuan di Rembang di bantu oleh kedua adik perempuannya. Sekolah tersebut di langsungkan di pendopo Kabupaten Jepara. Pelajaran yang di berikan adalah keterampilan membaca, menggambar, menulis, memasak, tata krama, sopan santun dan kerajinan tangan. Jejak juang RA Kartini harus berakhir, empat hari pasca melahirkan putra tunggalnya, RA Kartini meninggal tanggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun.
Meski sudah meninggal bahkan kronologi kematiannya sempat memicu kontroversi, energi perjuangan emansipasi perempuan dari sosok RA Kartini tak surut. Delapan tahun setelah ia meninggal pada tahun 1912, sekolah Kartini di bangun oleh Yayasan Kartini di Semarang. Sebuah keluarga yang juga penggerak politik etis bernama keluarga Van Deventer menggagas pendirian sekolah tersebut. Tak lama kemudian, pembangunan sekolah tersebut menyebar ke Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya di Pulau Jawa. Ada kutipan tulisan surat RA Kartini kepada rekan korespondensi bernama Estella Zeehandelar, berikut ini adalah cuplikannya.
“Aku tahu jalan yang hendak aku tempuh ini sukar. Banyak duri dan onaknya, begitu juga banyak lubang berliku. Biarpun aku tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun aku patah di tengah jalan, aku akan mati dengan perasahaan Bahagia. Sebab, jalannya telah di rintis. Aku telah ikut membantu membuka jalan menuju ke arah perempuan bumiputera yang merdeka dan berdiri sendiri.”
PENUTUP
Perjuangan dari seorang RA Kartini mungkin tidak seperti Cut Nyak Din dengan menghunus Rencong di garis depan pertempuran, atau juga bukan seperti Martha Christinia Tiahahu yang menghunus tombak di garis depan pertempuran. RA Kartini menggunakan ujung pena menjadi kunci perubahan yang membuka gembok feodalisme yang membuat kaum perempuan di diskriminasi. Pikiran visioner seorang RA Kartini seperti rahim yang mampu melahirkan gagasan hidup yang kuat menggerakan perubahan bagi masyarakat pribumi dan tokoh-tokoh feminisme dan politis etis Eropa. Jejak juang seorang RA Kartini memprovokasi kita agar tidak lagi di penjara oleh pesimisme, apatisme, sinisme termasuk apriori negative terhadap entitas perempuan Indonesia.
Sekaligus, mematahkan stereotipe yang di alamatkan terhadap kaum perempuan dari Sulawesi Utara. Bumi Nyiur Melambai (Sulawesi Utara), memiliki segudang tokoh perempuan progresif yang mewarisi kobaran api juang seorang Kartini. Dengan adanya bukti sejarah tak terbantahkan ini, secara otomatis menyadarkan setiap perempuan dari bumi Nyiur Melambai hari ini, bahwa di setiap nadi mereka mengalir gelora juang untuk menggerakan perubahan. Berikut ini saya sajikan jejak juang dari para Kartini dari Bumi Nyiur Melambai.
Maria Walanda Maramis, di kenal sebagai pahlawan nasional yang memperjuangkan hak politik kaum perempuan dalam Minahasa Raad. Ia juga membangun sekolah rumah tangga (huishoud school) bernama PIKAT. Sekolah tersebut di untukan bagi anak-anak perempuan yang lulus sekolah dasar dan belajar menjahit, merawat bayi, dan beragam keterampilan dan kerajinan tangan. Semangat perjuangan pendidikan PIKAT terus menyebar mendiring cabang-cabangnya di Gorontalo, Poso, Ujung Pandang, Jakarta, Bogor, Magelang dan Malang. Maria Walamnda Maramis juga memperjuangkan hak kaum perempuan dalam keterwakilan perjuangan politik dalam anggota dewan Minahasa Raad. Pada tahun 1932 melalui PIKAT, Maria Walanda Maramis mendirikan Sekolah Kejuruan Wanita.
Frida Dauhan Hermanses, tokoh nasionalis perempuan yang berjuang dari kawasan Nusa Utara di perbatasan Indonesia. Bersama kaum wanita dari Sitaro mendirikan Perhimpoenan Wanita Masehi Siaoe (PWMS). Di dukung oleh anggota perempuan lainnya Fien Pasandaran Lalisang, Ruth David, Elizabeth Dauhan, Ruth Salindeho dan sekretaris oleh Annie Kansil dan Eunika Dandel. Organisasi ini adalah pendukung perjuangan Soekarno melalui partai politik yang di dirikan Soekarno, PNI (Partai Nasional Indonesia). PNI adalah partai politik yang di di dirikan Sokearno dalam rangka perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gerakan kaum perempuan ini tidak terlepas dari perjuangan dari tokoh Sukarnois dari Sitaro bernama Gustaf Erens Dauhan. Perjuangan mereka adalah untuk mempertahankan wilayah Sangihe Talaud sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nurtina Gonibala Manggo, merupakan panglima laskar banteng Bolaang Mangondow dari pasukan wanita. Nurtina Gonibala Manggo terlibat langsung dalam pertempuran di garis depan mempertahankan Bolaang Mongondow sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nurtina Gonibala Manggo memimpian pertempuran pada 19 Desember 1945 yang di kenal sebagai Insiden Merah Putih. Laskar banteng wanita di bawah pimpinan Nurtina Gonibala Manggo terlibat kontak senjata dengan tentara KNIL yang menentang kemerdekaan Indonesia. Kisah tersebut menjadi jejak sejarah bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia di Bolaang Mongondow di torehkan dengan darah pengorbanan para putra dan putri Bogani (Bogani adalah sebutan yang mewakili makna penjaga/pejuang gagah berani bagi rakyat Bolaang Mangondow).