Tulisan oleh Hersevien M. Taulu (1968)
Pada saat pergolakan Permesta mengguncang Sulawesi Utara, masyarakat Minahasa mengalami penderitaan yang sangat mendalam. Perang saudara menyebabkan perpecahan dalam keluarga—saudara melawan saudara, orang tua melawan anak, hingga pembunuhan dan penghancuran rumah.
Dalam waktu singkat, desa-desa seperti Kakaskasen, Tatelu, Tombatu, dan Tompasoweru habis terbakar, menelan ribuan jiwa dan menghancurkan sekitar enam puluh tujuh desa.
Namun, di tengah penderitaan tersebut, ada yang menarik perhatian pengamat luar daerah.
Meski sedang mengungsi, rakyat Minahasa di Tomohon dan Kinilow tidak menunjukkan muram durja.
Mereka malah berkumpul di halaman rumah tempat pengungsian, menari Maengket, Makamberu, dan Malalayaan, seolah mengabaikan kesulitan hidup.
Penting untuk dipahami bahwa bagi orang Minahasa, menghadapi penderitaan adalah bagian dari takdir Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada.
Mereka percaya bahwa kehidupan terus berjalan, dan mereka tetap menyemarakkan hari-hari dengan tarian dan nyanyian, meskipun dalam kondisi sulit.
Pada tahun 1960, penulis pindah ke Manado, yang menjadi pusat pergerakan kesenian Minahasa, seperti lomba Maengket dan lomba menyanyi.
Di kota ini, setiap sudutnya dipenuhi dengan kelompok Maengket dan penyanyi yang berlatih untuk pertandingan. Bahkan, lomba Maengket bisa diikuti oleh puluhan hingga ratusan kelompok, dengan penonton yang sangat antusias.
Biaya yang dikeluarkan untuk acara-acara ini bisa mencapai jutaan rupiah, namun rakyat Minahasa tidak menganggapnya sebagai beban. Mereka lebih memilih untuk merayakan kehidupan dengan kebersamaan dan kesenian.
Namun, kritik terhadap kebiasaan ini muncul dari luar Minahasa, seperti dalam pernyataan seorang wartawan yang menulis, “Het Minahassische volk gaat al zingende en dansende ten onder” (Rakyat Minahasa akan tenggelam tengah menyanyi dan menari).
Kritik tersebut beranggapan bahwa budaya menari dan menyanyi yang terus dilestarikan oleh masyarakat Minahasa dapat meruntuhkan moral, terutama moral wanita Minahasa.
Penulis menanggapi kritik ini dengan tegas, mengatakan bahwa meskipun ada satu-dua orang yang mungkin jatuh dalam moralitas, hal itu tidak bisa disamaratakan dengan seluruh rakyat Minahasa.
Bahkan, dalam sejarahnya, meskipun masyarakat Minahasa sangat suka menari dan menyanyi, mereka tetap bertahan sebagai bangsa yang utuh setelah penjajahan Belanda, dan tetap melestarikan tradisi mereka, seperti tarian Maengket, yang sudah ada sejak abad ke-17.
Penulis juga membela kebiasaan rakyat Minahasa dengan menunjukkan bahwa, meskipun ada orang yang jatuh atau tenggelam karena budaya ini, itu adalah hal biasa yang juga bisa terjadi tanpa adanya tarian atau lomba.
Rakyat Minahasa sangat tahu batasan dalam menikmati tarian dan nyanyian mereka.
Mereka percaya bahwa budaya kesenian mereka tidak meruntuhkan moral, bahkan sampai sekarang pun tarian Maengket dan lomba menyanyi sering dilakukan dengan restu dari pemerintah dan gereja.
Bagi orang Minahasa, tarian dan nyanyian adalah bagian dari hidup mereka, bukan pengaruh negatif yang bisa meruntuhkan kehidupan mereka.
Mereka tahu bagaimana cara menikmati kebudayaan mereka tanpa mengorbankan moral dan nilai-nilai hidup yang ada.
**Keterangan Foto**: Tari Maengket dari Minahasa 1952
Diwarnai oleh Romy Toar Nonutu