Sejarah Rumah Adat Warokka di Batu Pinabetengan

Wisata Budaya2289 Dilihat

Pada tahun 1987, sepupu saya, Willie Warokka, yang merupakan Ketua Tenis Meja KONI DKI Jakarta, mengajak saya untuk melihat rumah adat Warokka di Kawangkoan.

Rumah adat ini dibangun oleh nenek moyang kami, Alanos Kawengian Warokka, yang menjabat sebagai Tonaas Kepala Walak Kawangkoan.

Rumah adat tersebut saat itu masih berdiri di Kawangkoan, meskipun kini sudah dipindahkan ke Watu Pinawetengan.

Willie Warokka mengungkapkan kepada saya bahwa rumah ini dibangun dengan balok-balok kayu yang kokoh, tanpa menggunakan paku, sebuah prestasi konstruksi yang mengesankan.

Saya, Roderick C. Wahr, adalah anak dari Wilhelmina Lefina Warokka, yang merupakan salah satu anak dari Willem Hendrik Warokka, Hukum Besar Amurang.

 

Ayah Willie Warokka dan ibu saya adalah saudara kandung. Salah satu keponakan saya, Christine Fink-Warokka, yang pernah tinggal di rumah adat ini di Kawangkoan, mengirimi saya foto-foto rumah adat tersebut beserta cerita mengenai latar belakangnya.

 

Sejarah Rumah Adat “Warokka” di Kawangkoan

 

Rumah adat “Warokka” berasal dari desa Kumelembuay, kecamatan Motoling, dan terletak di kelurahan Sendangan, kecamatan Kawangkoan, tepat di depan pertigaan jalan raya yang mengarah ke kantor pembantu bupati wilayah Kawangkoan.

 

Rumah ini merupakan warisan dari almarhum Lamberthus Alanos Warokka, Hukum Besar Kawangkoan, yang meninggal dunia pada tahun 1945.

 

Rumah ini dibangun oleh Tonaas Warokka pertama, yaitu Alanos Kawengian Warokka, sekitar tahun 1800-an. Alanos Warokka berasal dari desa Kumelembuay dan diangkat menjadi Kepala Walak di Kawangkoan pada tahun 1800-an, yang kemudian dipromosikan menjadi Mayor Kawangkoan pada tahun 1845, setelah gelar Kepala Walak dihapus oleh pemerintah Belanda.

 

Alanos Warokka wafat pada tahun 1852 sebagai Mayor Kawangkoan.

 

Rumah adat ini dipindahkan oleh Alanos Warokka dari Kumelembuay ke Kawangkoan setelah diangkat menjadi Kepala Walak.

 

Pada saat itu, Kawangkoan membutuhkan seorang pemimpin yang berani dan kuat untuk menghadapi suku-suku lain di sekitarnya.

 

Rumah adat ini dibongkar dan dihanyutkan melalui Sungai Ranoiapo hingga sampai ke Amurang. Dari Amurang, rumah tersebut diangkut secara gotong royong menggunakan gerobak hingga akhirnya sampai di Kawangkoan.

 

Atap rumah ini awalnya menggunakan rumbia, yang kemudian diganti dengan atap seng sekitar tahun 1860 oleh Mayor Hendrik Alanos Warokka (anak dari Alanos Warokka) untuk meningkatkan daya tahan rumah, terutama saat musim barat dengan hujan dan angin kencang. Rumah ini dibangun dari kayu wasian dan cempaka, dua jenis kayu yang sangat kokoh.

 

Alanos Warokka, yang dikenal karena kepemimpinannya yang luar biasa, memiliki kemampuan yang unik: ia dapat berkomunikasi dengan burung manguni (dikenal sebagai “warak” dalam bahasa Tountembuan).

 

Melalui tanda siulan burung manguni, Alanos dapat mengetahui apakah mereka akan menang atau kalah dalam pertempuran.

Oleh karena itu, nama “Warokka” diyakini berasal dari kata “Warak”, yang merujuk pada burung manguni yang menjadi simbol Minahasa.

 

Rumah adat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat pengumpulan bahan makanan dalam kondisi darurat atau perang, serta tempat berlindung bagi wanita dan anak-anak ketika kaum pria berperang.

Selain itu, rumah ini juga berfungsi sebagai gudang kopi yang berasal dari perkebunan kopi di Gunung Lengkoan, yang sebagian besar terletak di wilayah Kawangkoan dan Remboken.

 

Daftar Penghuni Rumah Adat Warokka

 

1. Tahun 1780-1800: Alanos Kawengian Warokka, Kepala Walak Kumelembuay-Motoling (istri: Rinci Talumepa)

2. Tahun 1800-1864: Alanos Kawengian Warokka, Mayor Kawangkoan (istri: Johan Tumbelaka)

3. Tahun 1854-1859: Daniel Mambo, Mayor Kawangkoan (istri: Wilhelmina Warokka, anak pertama Alanos Warokka)

4. Tahun 1859-1890: Hendrik Alanos Warokka, Mayor Kawangkoan (anak kedua Alanos Warokka)

5. Tahun 1890-1903: Jansen Alanos Warokka, anak ketiga Alanos Warokka

6. Tahun 1903-1912: Theodorus E. Gerungan, Maror Kawangkoan (istri: Martha Warokka, anak keempat Alanos Warokka)

7. Tahun 1912-1924: Lamberthus Alanos Warokka, Hukum Besar Kawangkoan (anak dari Mayor Hendrik Alanos Warokka)

8. Setelah 1945: Rumah tersebut dihuni oleh tiga anak perempuan Lamberthus A. Warokka, yaitu Ny. W.C. Mamahit-Warokka, Elisabeth Warokka, dan Clasina Warokka, yang berumur di atas 65 tahun.

Rumah Warokka setelah dipindahkan ke watu Pinawetengan

Bentuk dan Ukuran Rumah Adat Warokka

 

  • Bentuk: Rumah ini memiliki dua tangga di bagian depan dan dua tangga di bagian belakang, dengan bumbungan rumah bertingkat.
  • Atap: Awalnya terbuat dari papan, lalu diganti dengan atap rumbia dan akhirnya menggunakan atap seng pada sekitar tahun 1900.

Ukuran Rumah:

  • Panjang: 20 m
  • Lebar: 12 m
  • Tinggi dari tanah ke lantai: 225 cm
  • Tinggi dari lantai ke loteng: 425 cm
  • Pintu: Tinggi 325 cm, lebar 150 cJendela: Tinggi 300 cm, lebar 150 cm
  • Lantai: Tebal 8 cm
  • Dinding: Tebal 4 cm
  • Loteng: Tebal 4 cm
  • Balok di bawah rumah: Tinggi 200 cm, tebal 40 cm x 40 cm

 

Rumah adat ini adalah simbol kekuatan, keberanian, dan warisan budaya keluarga Warokka, yang masih dipertahankan dan dihargai hingga saat ini.

 

 

Melanjutkan artikel yang saya tulis sebelumnya tentang “Sejarah Rumah Adat Warokka di Kawangkoan”, saya memposting di sini silsilah Warokka yang diberikan saya oleh almarhum sepupu saya, Willy Warokka.
Silsilah ini ditandatangani oleh beberapa warga terkemuka di Minahasa:

  • A.C. TUMBUAN
  • J.A. SARUNHOLIANG
  • O.F. SUAK
  • M.A.J.M. WAROKKA
  • A.B.H. VIAVID-PUNTU
  • P. GERUNGAN

Di dalam kotak merah adalah orang tua saya: Wilhelmina Lefina Warokka menikah dengan Eddy Wahr.

Sumber tulisan

Elisabeth C. Warokka ( Ellen) Ditulis oleh Oscar B. Mamahit, 17 juli 1984 ( suami dari W.C. Warokka ( Zus) dan di post kembali oleh Roderick C Wahr

 

Tinggalkan Balasan