Sejarah Militer Minahasa dalam KNIL dan Tradisi Soldadu

Artikel347 Dilihat

Pada dekade 1940-an, menjadi seorang serdadu atau “soldadu” KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) adalah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Minahasa.

Profesi sebagai tentara kolonial Hindia-Belanda ini dipandang sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik, dihormati, dan bergengsi.

Tanda tangan kontrak menjadi soldadu menjadi peristiwa yang sering dirayakan oleh keluarga di setiap desa atau negeri Minahasa.

 

Hampir setiap negeri di Minahasa memiliki pemuda yang berdinas di KNIL.

Kebanggaan orang tua semakin bertambah apabila anak mereka terpilih menjadi anggota Marsose, pasukan elite KNIL yang terkenal karena berhasil menumpas perlawanan di Aceh.

Menjadi serdadu juga membuka peluang karier di bidang lain, seperti menjadi tokoh agama, masyarakat, anggota Raad Negeri, atau Hukum Tua.

 

 

Awal Partisipasi Militer Minahasa

 

Keterlibatan Minahasa dalam dinas militer Belanda sebenarnya telah dimulai sejak abad ke-18 pada masa VOC.

Benteng Amsterdam di Manado melibatkan dua kelompok pasukan utama:

 

1. Pasukan Borgo: terdiri dari warga campuran Eropa dan Maluku (termasuk Ternate). Pasukan ini bertugas menjaga pos-pos strategis seperti Amurang, Kema, Likupang, Tanawangko, dan Belang.

2. Pasukan Alifuru: terdiri dari penduduk asli Minahasa, terutama dari balak-balak sekitar Manado, yang belum menganut agama Kristen.

 

Pada masa itu, pasukan alifuru sering dikerahkan untuk melawan bajak laut dari Mindanao yang mengancam wilayah tersebut.

 

Peran Tentara Minahasa pada Abad ke-19

 

Status pasukan alifuru berubah menjadi pasukan tulungan (hulptroepen) pada awal abad ke-19 setelah pemerintahan Hindia-Belanda menggantikan VOC.

Namun, perekrutan ini sempat mendapat perlawanan dari Minahasa, seperti yang terlihat pada Perang Tondano (1808–1809).

Setelah Belanda kembali berkuasa, keterlibatan serdadu Minahasa semakin berkembang, terutama dalam perang besar seperti:

  • Perang Pattimura di Maluku (1817).
  • Perang Diponegoro (1825–1830).

 

Selama Perang Diponegoro, Minahasa mengirimkan lebih dari satu batalion, diperkirakan sekitar 1.400–1.600 tentara. Pasukan ini dipimpin oleh Tololiu Dotulong, yang memperoleh pangkat Mayor.

 

Majoor Tololiu HW Dotulong

 

Perekrutan Pasukan Tulungan

 

Perekrutan besar-besaran pasukan tulungan dimulai pada tahun 1823 oleh Gubernur Maluku Pieter Merkus, dan semakin intensif pada tahun 1824 setelah kunjungan Gubernur Jenderal Van der Capellen ke Minahasa.

 

Portrait of Godart Alexander Gerard Philip, Baron van der Capellen, Governor-General of the Dutch East Indies, 1816-1857. Creator: Cornelis Kruseman. (Photo by Heritage Art/Heritage Images via Getty Images)

 

Dalam Perang Diponegoro, perekrutan dilakukan dalam dua gelombang (1826 dan 1829).

 

Residen Manado, Daniel Francois Willem Pietermaat, bersama Tololiu Dotulong berkeliling Minahasa untuk membujuk kepala-kepala balak/walak (pemimpin wilayah) agar mengirimkan pasukan. Sebagai imbalannya, Belanda menawarkan hadiah bagi setiap kepala yang direkrut, serta jaminan bagi keluarga calon tentara.

 

Kontrak-kontrak resmi ditandatangani pada Januari–Februari 1829. Berikut beberapa kontribusi balak dalam perekrutan:

  • Tonsea: 250 serdadu di bawah Lukas Pelenkahu.
  • Sonder: 377 serdadu di bawah Tololiu Dotulong.
  • Tondano-Toulimambot: 120 serdadu di bawah Abraham Lotulong.
  • Tombasian: 50 serdadu di bawah Benjamin Tambajong.
  • Rumoong: 30 serdadu di bawah Lauw Runtuwene.

 

Struktur Kepemimpinan

Pasukan Minahasa diorganisasi dengan struktur komando yang jelas. Beberapa tokoh penting yang memimpin pasukan adalah:

  • Tololiu Dotulong: Mayor Infanteri, kemudian menjadi Groot Majoor.
  • Kapitein Palar (Paulus Palar): Pemimpin Sonder.
  • Kapitein Daniel Rotinsulu: Pemimpin Tonsea.
  • Kapitein Johanis Senghari: Pemimpin Tondano-Toulimambot.
  • Kapitein Mangulu (Ngantung Palar): Pemimpin Tomohon.

 

Setelah perang usai, banyak serdadu Minahasa yang dipromosikan dan mendapatkan pangkat lebih tinggi.

Selain Tololiu Dotulong, salah satu tokoh yang menonjol adalah Abraham Donatius Wakkary dari Negeri Baru, yang juga dianugerahi pangkat Groot Majoor.  

 

 

Warisan Militer Minahasa

 

Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, para serdadu dikembalikan ke Minahasa.

Banyak di antara mereka diangkat sebagai pejabat lokal, seperti Hukum Tua, Hukum Kedua, atau Kepala Distrik.

Tradisi militer ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan Minahasa salah satu wilayah dengan kontribusi besar dalam militer Hindia-Belanda.

 

Warisan ini masih terlihat hingga kini, baik melalui keturunan mereka yang masih tinggal di bekas perkampungan Borgo, maupun dalam kebanggaan historis masyarakat Minahasa terhadap tradisi militer mereka.

 

*Disadur dari tulisan Adrianus Kojongian berjudul “Teken Kontrak Soldadu Minahasa”

Tinggalkan Balasan