Desa Suluun Satu, yang terletak di Kecamatan Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, memiliki sejarah yang kaya dan menarik.
Kisah pendirian desa ini berawal sekitar tahun 1620, ketika beberapa Dotu (pemimpin adat) tiba di sebuah wilayah yang mereka sebut Kalewoan, yang berarti “tempat yang tidak ideal” karena wilayahnya sempit dan tidak memiliki dataran yang luas.
Lokasi ini sekarang dikenal sebagai Pinapalangkow.
Perjalanan Pencarian Tempat Baru
Dua dotu bernama Palar dan Waworuntu merasa tidak nyaman tinggal di Kalewoan.
Mereka kemudian memutuskan untuk mencari tempat baru yang lebih baik dari segi kesehatan dan kelayakan untuk pemukiman.
Dalam perjalanan, mereka tiba di sebuah sungai yang kemudian mereka beri nama Sapalalum, yang menandai awal dari perjalanan baru mereka.
Setelah berjalan sekitar 1,5 km ke arah timur, mereka menemukan lokasi yang lebih tinggi, datar, dan luas dengan pemandangan yang indah.
Melihat keindahan dan kesuburan tanah di tempat itu, mereka memutuskan untuk menjadikannya pemukiman permanen.
Sebelum bermalam, mereka melaksanakan ritual tradisional dengan memberikan sesaji atau “wellet/jamper” kepada para jin penjaga wilayah tersebut.
Sesaji ini terdiri dari kapur sirih, pinang, tembakau, nasi, dan ikan atau telur ayam putih.
Senjata seperti pisau, keris, pedang, dan tombak juga disiapkan sebagai simbol perlindungan dan kekuatan.
Pendirian Pemukiman Baru
Keesokan harinya, Palar dan Waworuntu berkeliling wilayah tersebut untuk memastikan kelayakannya. Saat itu, mereka mendengar bunyi burung yang mereka anggap sebagai pertanda baik.
Burung yang didengar adalah:
– Keke’makasa dengan bunyi “He… hehe”
– Toyaang makasa dengan bunyi “Hi… hihi”
– Mangolo makasa dengan bunyi “Oo'”
Mendengar bunyi-bunyian itu, mereka menganggap bahwa tanah tersebut layak dihuni.
Sebagai simbol pengukuhan wilayah, mereka meletakkan sebuah batu besar yang dinamakan “Watu Aitani In Tampa Emaan Roong Akar I Nure”, yang berarti “batu peringatan pertama di tempat yang akan dijadikan pemukiman abadi”.
Pemasangan batu ini dilakukan pada pukul 21.00 (9 malam) dengan ritual adat, termasuk bunyi burung “Manguni” yang berbunyi tiga kali “Kits, kits, kits” dan sembilan kali “Hoi…”.
Batu itu menjadi simbol pengesahan berdirinya wilayah pemukiman.
Asal Nama Suluun
Nama Suluun diambil dari peristiwa khusus saat tempat itu pertama kali dihuni, yaitu bertepatan dengan munculnya bulan purnama.
Dalam bahasa Tontemboan, bulan purnama disebut Suluh I Serap, yang kemudian disingkat menjadi Suluun.
Perkembangan Pemukiman
Palar dan Waworuntu hidup rukun selama sekitar 10 tahun. Mereka membuka kebun, berburu, dan memanfaatkan hasil hutan.
Pada tahun 1650, sekelompok keluarga baru yang dipimpin oleh Dotu Mononutu datang dan meminta izin kepada Palar dan Waworuntu untuk tinggal di wilayah tersebut.
Izin pun diberikan, sehingga jumlah penduduk bertambah dan pemukiman semakin ramai.
Waruga dan Situs Bersejarah
Setelah berusia sekitar 150 tahun, pada tahun 1730, Dotu Palar meninggal dunia. Ia dimakamkan di pinggir kampung, dan di lokasi tersebut diletakkan sebuah batu besar sebagai tanda peristirahatan terakhirnya.
Tempat ini kini dikenal sebagai Waruga, yaitu kuburan tradisional Minahasa. Situs Waruga ini masih dapat ditemukan di Desa Suluun Dua, sekitar 30 meter dari perempatan jalan di depan Gereja GMIM. Pada tahun 1759, para pengikut Dotu Palar juga dimakamkan di sekitar Waruga tersebut bersama perlengkapan dan peralatan mereka, seperti senjata dan alat pertanian.
Struktur Pemerintahan dan Kolonialisme Belanda
Pada tahun 1825, sistem pemerintahan kampung mulai lebih terorganisir.
Masyarakat mulai menunjuk seorang pemimpin yang disebut Pamatuan In Doong atau Ukung, yang bertindak sebagai kepala kampung.
Penunjukan ini mulai menggunakan catatan tertulis, meskipun pada awalnya masih sangat sederhana.
Sistem pemerintahan ini mendapat pengaruh dari penjajahan Belanda, yang memperkenalkan administrasi desa secara formal.
Sejarah Desa Suluun Satu mencerminkan nilai-nilai tradisi, kepercayaan adat, dan semangat kemandirian.
Desa ini didirikan oleh dua dotu, Palar dan Waworuntu, yang berusaha mencari wilayah yang lebih baik untuk ditinggali. Proses pembentukan desa ini melalui serangkaian ritual adat, mulai dari pemberian sesaji hingga pendirian batu peringatan.
Nama Suluun berasal dari istilah Tontemboan Suluh I Serap, yang mengacu pada bulan purnama yang menerangi tempat itu saat pertama kali dihuni.
Seiring waktu, Desa Suluun menjadi semakin ramai dengan masuknya pendatang baru, hingga akhirnya terbentuk sistem pemerintahan desa yang lebih formal di bawah pengaruh kolonial Belanda.
Waruga, sebagai simbol sejarah dan pemakaman dotu, masih ada hingga saat ini, memberikan pengingat abadi tentang leluhur yang pertama kali membuka desa tersebut.
Sejarah Desa Suluun Satu mengajarkan pentingnya pengambilan keputusan berdasarkan tanda-tanda alam, penghormatan terhadap kekuatan gaib, dan kesadaran kolektif dalam membangun kehidupan yang harmonis di pemukiman baru.
Disadur dari situs suluunsatu.com