Berikut adalah penulisan ulang artikel yang lebih menarik tentang Sejarah Desa Sarani Matani:
Sebuah Perjalanan Panjang Sejak Tahun 1945 hingga 2014
Desa Sarani Matani, yang terletak di Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa, menyimpan cerita sejarah yang penuh warna.
Dari awal yang penuh tantangan, hingga menjadi desa yang harmonis dengan kehidupan sosial dan budaya yang kaya, desa ini mengalami transformasi yang luar biasa.
Asal Usul Desa Sarani Matani: Kisah Dua Kampung yang Bersatu
Desa Sarani Matani dulunya terbentuk dari dua kampung terpisah, Matani dan Sarani.
Kampung Matani berasal dari pemukiman awal yang didirikan oleh penduduk dari Luaan, yang terletak di muara Sungai Ranowangko.
Dengan keterbatasan lahan dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak, mereka kemudian berpindah ke tempat yang lebih subur, yang dikenal dengan nama Lalem-akel, yang artinya “di bawah pohon enau.”
Dari sana, nama tersebut bertransformasi menjadi Matani, yang berarti “perintis.”
Sementara itu, kampung Sarani berawal dari tempat pembaptisan pertama yang dilakukan oleh misi Protestan, yang akhirnya diberi nama sesuai dengan pengaruh agama Kristen tersebut.
Nama “Sarani” berasal dari kata saranian, yang berarti baptisan.
Namun, meskipun keduanya terletak berdekatan, hubungan antara Matani dan Sarani tidaklah harmonis pada awalnya.
Kedua kampung ini sering terlibat perselisihan, dan ada batas yang memisahkan keduanya, yaitu sebuah rumah yang dikenal dengan nama rumah Kauneran, yang hingga kini masih ada di depan kantor Hukum Tua Desa Sarani Matani.
Pada tahun 1903, upaya penyatuan kedua kampung ini berhasil dilakukan oleh pemimpin setempat, yang memprakarsai penggabungan Matani dan Sarani menjadi Desa Sarani Matani.
Sejak saat itu, kehidupan masyarakat semakin berkembang, dan konflik masa lalu mulai dilupakan. Desa ini mulai menunjukkan wajah baru dengan semangat kebersamaan yang kokoh.
Keberagaman Sosial Budaya yang Harmonis
Salah satu kekayaan Desa Sarani Matani adalah keberagaman sosial dan budaya masyarakatnya.
Penduduk desa ini mayoritas berasal dari suku Tombulu, suku asli Minahasa. Namun, seiring waktu, desa ini juga menerima pendatang dari berbagai daerah seperti Gorontalo, Sangir Talaud, dan Jawa, yang membawa beragam budaya dan tradisi.
Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, masyarakat Desa Sarani Matani hidup berdampingan dengan damai.
Semangat gotong royong dan kerja sama yang erat masih terpelihara hingga kini, baik dalam acara suka maupun duka.
Ketika ada acara syukuran atau perayaan, warga saling membantu, begitu pula ketika ada yang berduka. Kerja sama semacam ini adalah salah satu nilai luhur yang menjadikan kehidupan sosial di desa ini tetap harmonis.
Agama dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Sehari-hari
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sarani Matani.
Desa ini dikenal dengan dua agama utama yang dianut warganya: Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Sejak masa penjajahan Portugis dan Spanyol, penduduk kampung Matani telah menganut agama Katolik, sementara masyarakat Sarani lebih banyak yang memeluk agama Protestan, yang diperkenalkan oleh misi Belanda.
Pada tahun 1911, Gereja Protestan Tanawangko, yang melayani wilayah Tanawangko, Sarani Matani, dan Borgo, dibangun dengan sangat sederhana.
Baru pada tahun 1966, tiga jemaat yang ada dipisahkan menjadi Jemaat Ranowangko, Sarani Matani, dan Borgo. Untuk mempermudah pelayanan, masing-masing jemaat mulai mendirikan gereja mereka sendiri.
Gereja GMIM Syallom Sarani Matani akhirnya diresmikan pada 1980, setelah melalui proses pembangunan yang panjang.
Meskipun demikian, pengaruh agama Katolik masih kuat di bagian utara desa ini, yang diwariskan oleh para penjajah Portugis dan Spanyol. Seiring perkembangan waktu, agama-agama lainnya, seperti Gereja Pantekosta dan Gereja Bethany, juga mulai hadir di desa ini, meskipun jumlah jemaatnya relatif kecil.
Pendidikan: Dari Masa Lalu ke Masa Depan
Pendidikan di Desa Sarani Matani terus berkembang, berkat kerja sama antara gereja dan pemerintah.
Sejak awal abad ke-20, pendidikan di desa ini telah dimulai, dengan banyak sekolah Kristen yang dikelola oleh gereja Katolik dan Protestan.
Sekolah-sekolah seperti TK GMIM Debora, SD Katolik St. Theresia, dan SMP Kristen Tanawangko adalah contoh nyata dari komitmen masyarakat untuk mengutamakan pendidikan bagi generasi mendatang.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan semakin meningkat seiring waktu. Orang tua kini lebih mengutamakan pendidikan untuk anak-anak mereka, menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik.
Hal ini tercermin dari data yang menunjukkan peningkatan tingkat pendidikan masyarakat desa ini.
Mata Pencaharian: Dari Petani ke Usahawan
Sebagai daerah agraris, mayoritas penduduk Desa Sarani Matani berprofesi sebagai petani.
Desa ini memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang luas, dengan hasil pertanian yang melimpah.
Selain bertani, sebagian besar penduduk juga menggeluti usaha kecil seperti warung makan, toko kelontong, dan bahkan online shop yang kini semakin berkembang.
Selain petani, ada juga penduduk yang bekerja sebagai nelayan, pegawai negeri, dan karyawan swasta, yang turut berperan dalam perekonomian desa.
Seiring berjalannya waktu, desa ini terus berkembang, dengan sebagian penduduk yang merantau ke desa lain untuk mencari nafkah, sementara yang lainnya tetap berusaha untuk meningkatkan taraf hidup di kampung halaman.
Menatap Masa Depan
Desa Sarani Matani tidak hanya tumbuh menjadi desa yang harmonis dan maju dalam segi sosial dan budaya, tetapi juga terus berusaha untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai tradisional.
Meskipun teknologi dan perubahan zaman terus berkembang, masyarakat desa ini tetap memegang teguh prinsip kebersamaan, gotong royong, dan saling menghormati, yang menjadi kunci keberhasilan mereka dalam membangun desa.
Dengan semangat ini, Desa Sarani Matani yakin akan terus berkembang, menatap masa depan yang lebih cerah, dan menjadi contoh bagi desa lainnya di Kabupaten Minahasa.
*Disadur dari tulisan Melindah Lasut, Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Ilmu Budaya, 2015