Desa Lemoh memiliki sejarah panjang dan penuh nilai tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kisah ini bermula dari proses penetapan nama desa, perpindahan pemukiman, hingga munculnya nama Lemoh Tua dan akhirnya berakhir di wilayah yang kemudian disebut Nimawanwa.
Penetapan Nama Desa Lemoh
Pada awalnya, pemimpin adat yang disebut Walian memimpin sebuah upacara besar di sebuah tempat sakral bernama Peraragesan (tempat upacara). Setelah upacara selesai, para Walian menghadap seorang tokoh penting yang disebut Teterusan, yang bertugas sebagai pemimpin masyarakat atau semacam kepala desa.
Dalam suasana penuh khidmat, seorang Walian yang tertua berdiri dan menyampaikan sebuah pesan sakral. Ia berkata bahwa sesuai dengan petunjuk dari Muntu-Muntu, yaitu kekuatan spiritual yang diyakini sebagai penguasa kebaikan, desa ini akan diberi nama Lemoh.
Pengumuman ini kemudian disampaikan oleh Teterusan kepada seluruh rakyat.
Nama desa yang sebelumnya digunakan diganti menjadi Lemoh, sebuah nama yang diyakini membawa berkah, keberuntungan, dan ketentraman bagi para penghuninya.
Nama tersebut pun diterima dengan lapang dada oleh masyarakat sebagai simbol identitas baru desa tersebut.
Kepercayaan dan Ramalan Dotu Kapoh
Seorang tokoh adat yang disegani, Dotu Kapoh, pernah meramalkan bahwa desa yang baru akan membawa kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya.
Menurut Dotu Kapoh, Desa Lemoh akan berada dalam kondisi aman dan tenteram.
Perekonomian masyarakat akan berkembang pesat, sementara perampok dan penjahat akan kesulitan memasuki desa.
Keyakinan ini didasarkan pada posisi strategis desa yang diapit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Tombala di sebelah utara dan Sungai Lemoh di sebelah selatan.
Dua sungai ini dianggap sebagai perlindungan alami dari ancaman luar.
Namun, meskipun posisi desa dianggap aman dari gangguan manusia, desa ini tidak lepas dari ancaman alam.
Ketika hujan lebat melanda, kedua sungai tersebut kerap meluap, menyebabkan banjir besar yang merendam pemukiman warga.
Situasi ini memunculkan perasaan cemas di tengah masyarakat. Bahkan, ada momen di mana tanah di desa tersebut bergetar hebat, seolah-olah sedang mengalami gempa bumi.
Fenomena ini diperparah dengan munculnya banyak katak yang naik ke darat, seolah memberikan pertanda buruk.
Karena seringnya terjadi banjir dan gempa kecil, para pemimpin adat mulai mempertimbangkan rencana untuk memindahkan pemukiman ke lokasi yang lebih aman.
Keputusan ini tidak diambil secara tergesa-gesa, melainkan melalui musyawarah dan pertimbangan matang dari para pemuka adat, termasuk Tonaas (pemimpin perang) dan Walian (pemimpin spiritual).
Keputusan Meninggalkan Desa Lemoh Tua
Pada tahun 1734, masyarakat Desa Lemoh akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa yang kemudian disebut sebagai Lemoh Tua.
Persiapan dilakukan dengan cermat, dari mengemas barang-barang penting hingga mempersiapkan rute perjalanan ke lokasi yang baru.
Seluruh rakyat bersiap untuk berangkat meninggalkan desa tersebut secara bersama-sama.
Namun, saat hari keberangkatan tiba, sebuah kabar duka menyelimuti desa. Teterusan Dotu Mangalum, pemimpin tertinggi yang dihormati di desa, meninggal dunia.
Peristiwa ini mengejutkan masyarakat. Sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin mereka, keberangkatan pun ditunda. Seluruh rakyat melakukan upacara berkabung yang berlangsung selama beberapa hari. Selama masa berkabung, warga juga mengenang tiga pemimpin besar yang telah meninggal di Desa Lemoh Tua, yaitu:
1. Dotu Gumerung
2. Dotu Polii
3. Dotu Mangalum
Para pemuka adat meyakini bahwa kepergian tiga pemimpin besar di desa ini adalah tanda bahwa masa Lemoh Tua telah berakhir.
Peristiwa ini semakin menguatkan tekad masyarakat untuk meninggalkan wilayah tersebut demi mencari tempat tinggal yang lebih aman dan bebas dari bencana.
Pemilihan Pemimpin Baru dan Keberangkatan ke Nimawanwa
Setelah masa berkabung selesai, para Tonaas (pemimpin perang), Mewentas (penasehat atau tokoh masyarakat), dan Walian (pemimpin spiritual) menggelar musyawarah besar.
Dalam pertemuan tersebut, mereka memutuskan bahwa perlu ada seorang pemimpin baru yang akan menggantikan posisi Teterusan Dotu Mangalum yang telah meninggal dunia.
Setelah melalui diskusi dan kesepakatan, akhirnya terpilihlah Dotu Silap sebagai Teterusan atau pemimpin baru desa.
Dengan kepemimpinan Dotu Silap, persiapan keberangkatan kembali dilanjutkan. Kali ini, masyarakat lebih siap dari sebelumnya.
Barang-barang telah dikemas, dan rencana perjalanan menuju lokasi baru telah disusun dengan matang.
Dipimpin oleh Dotu Silap, rakyat Desa Lemoh Tua memulai perjalanan menuju wilayah yang baru.
Perjalanan ini dilakukan dengan penuh pengharapan agar desa baru dapat menjadi tempat yang lebih aman, nyaman, dan sejahtera bagi mereka.
Perpindahan ini bukan hanya sekadar pindah lokasi fisik, tetapi juga simbol peralihan menuju masa depan yang lebih baik.
Lemoh Tua Menjadi Nimawanwa
Setelah menempuh perjalanan yang penuh perjuangan, masyarakat akhirnya menemukan lokasi yang dirasa cocok untuk pemukiman baru. Wilayah ini kemudian diberi nama Nimawanwa.
Nama ini memiliki makna yang dalam, terkait dengan semangat pembaruan dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Desa ini terletak di lokasi yang lebih aman dari ancaman banjir dan bencana alam lainnya.
Penetapan nama Nimawanwa juga tidak lepas dari proses spiritual yang dipimpin oleh para Walian dan Tonaas.
Seperti pada awal penetapan nama Lemoh, kali ini juga dilakukan upacara adat untuk mendapatkan tanda baik dari Muntu-Muntu (kekuatan spiritual).Tanda-tanda yang diterima mengisyaratkan bahwa lokasi ini layak untuk dihuni, dan akhirnya mereka pun menetap di sana.
Sejarah Desa Lemoh dan Lemoh Tua hingga terbentuknya Nimawanwa merupakan cerminan perjalanan spiritual dan perjuangan masyarakat dalam mencari tempat yang aman dan sejahtera.
Sejak awal, perubahan nama desa dari nama lama ke Lemoh tidak hanya mencerminkan pergantian identitas, tetapi juga simbol dari perubahan nasib dan harapan.
Perjalanan dari Lemoh Tua ke Nimawanwa menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan kearifan lokal, mematuhi tanda-tanda alam, dan mengikuti pesan dari para pemuka adat. Sosok-sosok seperti Dotu Kapoh, Dotu Gumerung, Dotu Polii, Dotu Mangalum, dan Dotu Silap memiliki peran besar dalam membimbing masyarakat menghadapi tantangan yang mereka hadapi.
Kisah ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat pada masa itu sangat menghormati tradisi, nilai-nilai kearifan lokal, dan proses pengambilan keputusan secara kolektif melalui musyawarah. Perpindahan dari Lemoh Tua ke Nimawanwa bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual dan simbol perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Nama Lemoh dan Nimawanwa kini menjadi saksi bisu dari sebuah perjalanan panjang masyarakat yang penuh dengan kebijaksanaan, kerja keras, dan harapan.
Cerita ini mengajarkan bahwa setiap tantangan yang dihadapi oleh suatu komunitas dapat diatasi dengan kesabaran, kebersamaan, dan pemimpin yang bijaksana.
*Disadur dari tulisan Yonics Tambahani