1. Latar Belakang dan Pemukiman Awal
Desa Kolongan di Kecamatan Kombi, bagian dari suku To’un Lour yang berasal dari perjalanan panjang kaum Malesung ke utara, menyimpan sejarah panjang tentang perjuangan dan keberanian para leluhur.
Leluhur pertama yang diketahui bermukim di Kolongan adalah Opo Manginsuwu.
Ia membangun rumah satu tiang sebagai bentuk pertahanan dari ancaman perompak Mindano.
Rumah ini menjadi tempat tinggal dan perlindungan, dengan strategi pertahanan seperti menyiram air panas kepada para perompak.
Setelah Opo Manginsuwu, datanglah Opo Korompis dan Tambalean, kakak-beradik dari Tondano.
Tambalean menjadi kepala kampung (kumtua) pertama Kolongan, sedangkan Korompis pindah ke Sokek, namun kemudian dimakamkan di Kolongan bersama keluarganya.
Waruga mereka masih dapat ditemukan hingga kini.
2. Perjuangan Melawan Perompak Mindano
Perairan Benten, yang kini menjadi area persawahan, dahulu menjadi pusat pertahanan strategis warga Kolongan dari serangan perompak Mindano.
Para perompak ini datang dari Filipina untuk menjarah dan menculik penduduk.
Di Benten, warga Kolongan mempertaruhkan nyawa mereka, membangun benteng dari mayat perompak sebagai bentuk perlawanan.
3. Penculikan dan Pelarian Opo Tinangon
Salah satu cerita yang terkenal adalah penculikan Opo Tinangon oleh perompak Mindano.
Setelah diculik, Tinangon dibawa ke Filipina. Ia berhasil melarikan diri menggunakan perahu kecil yang dibuatnya sendiri, meski tidak kembali ke Kolongan melainkan terdampar di Kapataran.
Dari sini, muncul banyak keturunan Tinangon di Kapataran.
4. Hubungan dengan Mongondouw
Cerita lain menyebutkan bahwa istri Opo Korompis, seorang wanita Portugis, diculik oleh Raja Mongondouw.
Saat diculik, ia sedang mengandung anak kedua mereka. Anak tersebut, bernama Walanda, lahir di Mongondouw tetapi kemudian kembali ke Kolongan setelah mengetahui asal-usulnya.
5. Penamaan Kolongan
Nama “Kolongan” diambil dari tumbuhan ubi bête (Sente), yang memiliki daun lebar dengan corak unik.
Tumbuhan ini menjadi tempat berteduh bagi para leluhur, terutama saat hujan deras.
Keunikan coraknya menginspirasi penamaan desa, dengan “Kolongan” berarti “berbelang-belang atau bercorak-corak”.
6. Tradisi Pelesir Pante
Desa Kolongan memiliki tradisi unik bernama Pelesir Pante, sebuah perayaan syukur setelah panen padi.
Tradisi ini dipelopori oleh Herling Rotinsulu dan diteruskan oleh para kepala desa berikutnya.
Filosofi tradisi ini adalah “kase anyor samua panyaki,” atau membersihkan semua masalah fisik, mental, dan spiritual di pantai, sebagai simbol pelepasan beban dan konflik.
7. Batu Panibe dan Filosofi Leluhur
Panibe, sebuah batu yang menjadi simbol harapan, masih berdiri di perkebunan dekat Minawanua lama.
Batu ini menjadi saksi tekad leluhur untuk bertahan hidup dan bekerja keras demi masa depan anak cucu.
Panibe melambangkan pertumbuhan, persatuan, kerja keras, dan pengampunan.
8. Waruga dan Jejak Leluhur
Waruga para pendiri seperti Opo Korompis, Tambalean, dan keluarganya, masih ada di Kolongan.
Lokasi waruga ini menjadi pengingat sejarah perjuangan dan warisan nilai-nilai luhur, seperti persatuan, kerja keras, dan cinta kasih, yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Wanua Kolongan adalah saksi perjuangan leluhur melawan perompak, membangun kehidupan baru, dan mewariskan nilai-nilai luhur.
Dengan akar sejarah yang kuat, desa ini mengajarkan pentingnya mempertahankan warisan budaya, menjaga persatuan, dan terus bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik.
*Tulisan disadur dari tulisan Glaudi Langi