Samuel Jonathan Esser dan Perjalanan Kehidupan Seorang Pejabat Bahasa yang Menerjemahkan Alkitab

Artikel2337 Dilihat

Samuel Jonathan Esser (26 April 1900 – 14 April 1944) lahir di Kampen, Belanda.

Ia memulai studi sastra Indonesia di Leiden pada 1917, yang mungkin dipengaruhi oleh tradisi keluarganya yang berhubungan dengan Indonesia dan pekabaran Injil.

 

Esser bertemu dengan tokoh penting Adriani yang juga berperan dalam pilihannya untuk menekuni studi bahasa. Pada 1922, Esser menyelesaikan studinya dan melanjutkan ke tingkat doktoral.

 

Pada 1923, Esser menulis surat kepada Adriani mengenai rencananya untuk bergabung dengan NBG (Lembaga Alkitab Belanda) dan mengerjakan studi bahasa di lapangan, khususnya di wilayah yang dikembangkan oleh Adriani.

 

Adriani mendukungnya, dan Esser memulai perjalanan ke Sulawesi Tengah, bekerja dengan Adriani dalam studi bahasa, khususnya bahasa Mori, dan akhirnya menikah dengan Anganietje Tawalujan, seorang pemudi Minahasa yang menguasai bahasa Pamona.

 

Setelah memulai studi bahasa Mori, Esser menulis disertasi yang membawanya meraih gelar doktor dengan pujian (Cum laude) di Belanda pada 1927.

Meskipun pada awalnya ia berencana untuk menjadi utusan NBG, karena pernikahannya, ia justru diangkat menjadi pegawai pemerintah dalam bidang bahasa. Di Belanda, ia bersama istrinya, menyelesaikan kamus bahasa Bare’e, yang dicetak pada 1928.

Kembali ke Hindia Belanda, Esser mengajar sejarah kebudayaan Indonesia di Surakarta, meski ia lebih tertarik pada studi bahasa. Pada 1932 dan 1933, ia menyusun jilid kedua Tata Bahasa Mori dan bekerja dengan asisten dari Mori, B.H. Tumakaka, menyusun daftar kata Mori.

Ia juga terlibat dalam pembuatan peta bahasa-bahasa Nusantara yang dipamerkan pada Pameran Kolonial di Paris pada 1931.

 

Pada 1934, Esser menyusun tata bahasa Ledo dan kamus Ledo-Belanda pada 1938.

Ia memperhatikan fenomena bahwa generasi muda di Nusantara tidak lagi mengenal bahasa daerah mereka dan berusaha melawan kecenderungan ini dengan mendorong penggunaan bahasa daerah di sekolah-sekolah dan dalam penerjemahan Injil.

 

Esser mendirikan Yayasan Adriani-Kruyt di Manado untuk mendukung penelitian bahasa dan kebudayaan, serta mendorong penggunaan bahasa daerah dalam pendidikan dan karya zending. Ia juga mengkritik bahasa Melayu yang menurutnya bukan bahasa budaya yang murni, meskipun diakui sebagai bahasa pengantar di Nusantara pada masa itu.

 

Namun, pandangan politik Esser yang konservatif, termasuk penolakannya terhadap pergantian pemerintahan, membawanya pada kesulitan saat pendudukan Jepang.

Ia akhirnya dipenjara oleh Jepang dan meninggal pada 14 April 1944 di kamp tahanan perang akibat disentri. Esser meninggalkan dua anak: Loisa Maria Amatrabiha Esser (lahir 17 Maret 1925) dan Aristide Hendri Esser (lahir 11 Mei 1930). Istrinya, Anganietje Tawalujan, hidup hingga usia 94 tahun, meninggal pada 1991.

 

Esser dikenang sebagai tokoh penting dalam bidang bahasa dan penerjemahan Alkitab di Indonesia, yang dedikasinya terhadap studi bahasa dan budaya tetap mempengaruhi generasi berikutnya.

Dirangkum oleh Romy Toar Nonutu

Tinggalkan Balasan