Robert Wolter Mongisidi gugur di usia masih sangat muda, 24 tahun. Namun keberanian dan keteguhan hatinya akan terus terkenang.
Suatu pagi seorang pemuda sedang membaca di dalam sel bersama seorang kawannya sesama tahanan.
Saat itu datang dua pejabat Belanda yang menawan mereka, Overste Komandan Territoriale Troepen di Makassar dan seorang Majoor Titulair ‘inlander’ dari Raad van Justitie (pengadilan).
Setelah menyapa, mereka meminta agar sang pemuda memohon grasi agar vonis hukuman mati yang sudah jatuh bisa menjadi lebih ringan.
Seketika, sang pemuda memalingkan wajahnya kemudian membalas permintaan kedua pejabat Belanda itu.
“Minta grasi? Minta grasi berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman,” kata sang pemuda.
Kedua pejabat tertegun kemudian memuji keberanian pemuda tersebut.
“Dat is pas een man (Ini baru benar-benar seorang jantan),” kata mereka kemudian langsung beranjak meninggalkan sang pemuda.
Sang pemuda langsung kembali membaca, seolah tidak terjadi apa-apa dan menyiratkan keyakinan tak pernah menyesali apa yang dia katakan.
Pemuda itu memang sangat berani, tak gentar menghadapi kematian. Meski dirinya tinggal menunggu waktu menghadapi regu tembak pasukan Belanda.
Nama pemuda itu adalah Robert Wolter Mongisidi, yang baru saja tertangkap Belanda untuk kedua kalinya.
Robert Wolter Mongisidi terlahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 dari Pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa. Dia berasal dari suku Bantik, sub suku Minahasa di Sulawesi Utara.
Bote, panggilan akrabnya, sejak kecil adalah anak yang teguh pendirian, berkemauan keras dan suka membantu orangtuanya.
SATU HAL, yang perlu pelurusan, selama ini ada kesalahan penulisan nama pahlawan ini.
Dalam berbagai literatur sejarah, banyak penulis menuliskan marga Bote dengan MONGINSIDI (dengan huruf n). Sebenarnya marga yang benar adalah MONGISIDI (tanpa huruf n).
Marga ini berasal dari suku Bantik, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Hal ini juga sesuai dengan permintaan keluarga, keponakan Bote, Grace Mongisidi dalam puncak Festival Bantik pada tahun 2012. Grace merupakan anak dari kakak tertua Bote. Hal ini berulangkali menjadi pelurusan pihak keluarga.
Bote memulai pendidikannya pada 1931 di Hollands Inlandsche School (HIS) kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Bote kemudian menjadi guru bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung (Minahasa), di Luwuk (Sulawesi Tengah), sebelum ke Makassar (Sulawesi Selatan).
Setelah kemerdekaan 1945, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia lewat pendaratan NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda).
Robert Wolter Mongisidi yang berada di Makassar tak mau kemerdekaan yang sudah di tangan, kembali terenggut penjajah.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Bote bersama sejumlah rekannya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang kemudian melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam laskar tersebut, Ranggong Daeng Romo dipilih menjadi ketua dan Robert Wolter Monginsidi sebagai Sekretaris Jenderal.
Dalam sebuah kisah, Bote bersama pasukannya menghadang sebuah mobil jip yang memuat 4 prajurit Belanda.
Bote menodongkan pistol ke sopir jip yang berpangkat kapten. Mereka mengambil alih mobil jip tersebut dan masuk ke markas Belanda kemudian menghujani tembakan dari dalam mobil.
Rangkaian aksi perlawanan yang dipimpin Bote, membuat Belanda mengenali sosoknya dan berulang kali menggelar razia besar untuk menangkapnya.
Pada 28 Februari 1947, Bote tertangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan. Namun, pada 17 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Bote berhasil menyelundupkan 2 granat lewat sepotong roti.
Bote dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri melalui cerobong asap dapur setelah sebelumnya meledakkan dengan granat.
Belanda yang makin marah, kemudian menawarkan hadiah besar bagi siapa yang bisa memberikan informasi tentang keberadaan Bote dan kawan-kawannya.
Sayang, hanya sepuluh hari sejak pelariannya, pasukan Belanda kembali menangkap Bote karena tempat persembunyiannya bocor.
Bote dan pasukannya sebenarnya bisa melemparkan sebuah granat yang masih disimpan. Namun mereka memikirkan risikonya karena berada di area permukiman warga.
Robert Wolter Mongisidi Cs memilih tertangkap ketimbang membiarkan warga sipil menjadi korban kontak senjata.
Mereka kemudian masuk ke penjara Kiskampement Makassar yang lebih ketat. Bote kemudian mendapat hukuman mati oleh Belanda.
Menjelang waktu eksekusi, Bote tak pernah menunjukkan rasa takut.
Meski dikhianati dan harus menemui ajal di depan regu tembak, Bote tetap tenang dan menjalani hari seolah tak terjadi apa-apa.
“Saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta,” kata Bote dalam surat yang dikirimkan kepada keluarganya dari tahanan.
Berulang kali Belanda memintanya untuk menyerah, memohon grasi dan bekerjasama dengan Belanda.
Namun Bote tetap bergeming, tak akan menyerah demi bangsa Indonesia. Keteguhan hati dan keyakinannya begitu luar biasa.
“Sampaikan salam saya kepada papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang,” kata Bote dalam surat perpisahan untuk semua keluarganya.
Senin, 5 September 1949, dini hari, sejumlah petugas menggiring Bote keluar dari dalam penjara Kiskampement Makassar.
Bote tetap menunjukkan ketenangan saat masuk mobil dan menuju keluar halaman penjara. Mobil tersebut akhirnya tiba di tanah lapang di Panaikang–Tallo.
Bote turun dengan penuh keberanian dan ketenangan. Dengan memeluk Alkitab, Bote menyalami satu persatu anggota regu tembak yang sesaat lagi akan merenggut nyawanya.
“Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku, merdeka, merdeka, merdeka!” ujar Bote sesaat sebelum senapan anggota regu berbunyi.
Tepat pukul 05.00 WITA, terdengar letusan serentak suara senapan memecah keheningan.
Tubuh tegap Robert Wolter Mongisidi seketika tersungkur, gugur demi mempertahankan kehormatan bangsa Indonesia.
Dalam Alkitab yang dia genggam saat menghadapi eksekusi regu tembak, terselip secarik kertas bertulis ‘Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan’.
Robert Wolter Mongisidi gugur di usia masih sangat muda, 24 tahun.
Namun keberanian dan keteguhan hatinya akan terus terkenang. Namanya terus harum sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional.
Robert Wolter Mongisidi mendapat gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973.
Sang ayah, Petrus Monginsidi menerima langsung gelar pahlawan tersebut dengan keharuan dan kebanggaan.
Bote juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana).
Nama Wolter Mongisidi juga abadi sebagai nama bandara di Kendari, Sulawesi Tenggara sebagai penghargaan atas perjuangannya. Ada juga nama Jalan di Makassar dan Manado yang menggunakan namanya.
Selain itu, nama Wolter Mongisidi juga tertera sebagai nama kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi dan Yonif 720/Wolter Monginsidi.
Biodata:
Nama : Robert Wolter Mongisidi
Panggilan : Bote
Orang tua: Petrus Mongisidi dan Lina Suawa
Penghargaan: Gelar Pahlawan Nasional, Bintang Mahaputra (Adipradana)
sumber: newsantara.id