Perang Napoleon di Eropa berdampak di gugusan Nusantara Karena waktu itu, kelompok Republik di Negeri Belanda yang mendukung rezim Prancis menduduki Negeri Belanda.
Sementara para Stadshouders yang memimpin Negeri Belanda melarikan diri ke Inggris yang menjadi penentang terbesar Napoleon Bonaparte yang menguasai daratan Eropa.
Konflik di Eropa terasa pula di Minahasa ketika pada 1801 sebuah kapal perang Inggris muncul di Teluk Manado dan merapat di pelabuhan.
Pihak nakhoda Inggris dan langsung menemui Residen Manado, George Fredrik Durr. Oleh nakhoda Inggris, Durr dipaksa untuk tidak mengakui persekutuan Prancis-Belanda dan harus berada dibawah kepemimpinan Inggris.
Alih pemerintahan dari Belanda ke Inggris tidak begitu dirasakan penduduk Manado waktu itu, karena tidak mengambil perduli apakah itu Belanda ataupun Inggris, tetapi tetap dilihat sama-sama orang bule.
Sementara para pegawai VOC yang sudah di bubarkan tepat pada 31 Desember 1799, masih tetap di gunakan untuk mengisi kevakuman pemerintahan di Hindia-Timur, termasuk di Minahasa.
Alih pemerintahan ini disesuaikan menurut Perjanjian Amiens pada 1802 dimana semua wilayah koloni Belanda berada dibawah pengawasan Inggris dan semua pegawai Belanda akan tetap digunakan bila berpihak kepada Inggris.
Pada peralihan ini, Durr yang menjabat sebagai Residen Manado sejak 1791 diperpanjang selama setahun. Ia kemudian digantikan oleh Carel Crisoph Prediger Jr pada 1803.
Tetapi tak lama setelah menduduki jabatan ini, Prediger mendapati banyak penyimpangan yang telah dilakukan oleh Durr di masa jabatannya hingga Durr tidak disenangi dan di benci oleh para pemuka Minahasa, terutama dari Tondano.
Yang tidak dapat diterima oleh para Walak Minahasa ketika Durr merombak ikatan persahabatan VOC-Minahasa 10 Januari 1679 hasil rintisan Robertus Padtbrugge hampir 125 tahun lalu.
Durr merubahnya dengan menempatkan Belanda sebagai supremasi Belanda yang lebih tinggi dari orang Minahasa.
Sementara para Walak tetap menempatkan Perjanjian Verbond itu sebagai pegangan.
Namun keadaan berubah setelah terjadi pembubaran VOC dan daerah-daerah terpencil tidak menjadi perhatian dari alih pemerintahan di Batavia menimbulkan raja-raja kecil seperti yang dilakukan oleh George Durr dengan berbagai aturan yang tidak disenangi penduduk.
Misalnya dengan pengadaan berbagai denda yang dilakukan untuk residen dari para penilik dan juru-juru bahasa.
George Durr pernah menangkap Kepala Walak dari Tondano-Toulimambot, yaitu Dotu Pangalila oleh intrik yang dilakukan oleh kaki-tangan Durr.
Sebenarnya Pangalila adalah pemimpin yang tegas dan membela masyarakat Tondano di bawah wilayahnya. Tetapi kepemimpinan Pangalila tidak disenangi Durr, hingga ia mencari kesalahan Pangalila yang di jebak oleh kaki-tangannya.
Akibatnya Pangalila pada 1792 di tangkap dan langsung di buang ke Ternate dan meninggal disana.
Peristiwa ini membekas kalangan masyarakat Tondano hingga citra Belanda di Minahasa menurun tajam.
Residen Wenzel dari Manado pada 1825 pernah berkomentar pada era pemerintahan George Durr:
“Seorang Minahasa pernah mengatakan: Perlakuan petugas-petguas Kompeni pada kami begitu rupa, sehingga kami lebih suka melihat kedatangan perompak Mindanao, dari pada seorang petugas Kompani. Bila perompak datang, kami dapat menyembunyikan harta kami dan kami bersembunyi. Tetapi bila petugas Kompeni datang, kami harus menjemput mereka. Malahan harus pula menyerahkan semua harta benda kami pada mereka.”
Tetapi dengan Walak Tondano tidak dapat dilakukan oleh George Durr.
Untuk itulah hingga ia sangat membenci orang-orang Tondano, antara lain kepala Walak Tondano-Toulimambot, Dotu Janes Dotulong yang menggantikan Dotu Sumondak.
Untuk memperbaiki citra Belanda pada masyarakat Minahasa, Prediger pada 16 September 1803 mengumpulkan para Walak Minahasa dan semua lembaga instansi pemerintah di Fort Amsterdam, untuk membuat kontrak baru.
Di tempat itu dibuat kontrak perjanjian baru dengan mengatas namakan Gubernur di Maluku, Petrus Adrianus Goldbach, dengan tembusan kepada Gubernur-Jendral Johannes Sieber dan semua pimpinan lembaga eksekutif dan legislative di Batavia.
Kontrak yang baru ini dilakukan saat Negeri Belanda di kuasai sepenuhnya oleh Prancis yang ternyata mendapat dukungan pula dari orang-orang Belanda yang berada di tampuk pemerintahan di Batavia.
Untuk itu kontrak itu dilakukan Prediger untuk memperoleh dukungan dari Minahasa untut tetap setia kepada Belanda.
Hubungan Belanda-Minahasa meruncing
Dalam salah satu butir dari isi kontrak baru itu berbunyi: “Kami berjanji dan bersumpah, dengan menanggap bahwa kontrak yang pernah diuat dengan Inggris (pada 1802), tidak berlaku dan tidak mempunyai arti apa-apa lagi.
Dengan demikian Kompeni merupakan Tuan dan Atasan kami yang sah, dan kami nyatakan kembali sebagai kawan yang baik.”
Kontrak perjanjian itu hanya di tanda tangani sendiri oleh Prediger secara sepihk, sementara para Walak yang berkumpul di benteng itu hanya diam saja.
Peristiwa itu sama sekali tidak memperbaiki keadaan. Para Walak kecewa, karena Perjanjian Verbond 1679 peninggalan Padtbrugge telah di gusur oleh Predige.
Padahal dalam perjanjian itu, juga dikatakan Belanda akan membantu keamanan Belanda. Ternyata di abaikan oleh Predigge.
Penduduk di pantai-pantai Manado dan Kema sering menjadi korban penjarahan dari bajak-laut asal Mangindanow (Mindanao).
Pasukan-pasukan Ternate yang bertugas menjaga keamanan selalu menghindar untuk bertempur bila pesisir pantai Minahasa diserbu bajak-laut itu.
Untuk itu para Walak Minahasa menuntut untuk dipersenjatai, tetapi selalu di tolak oleh Predigger.
Di lain pihak Predigger tak mau berkonfrontasi, karena akan merugikan pihaknya yang memerlukan beras dari pedalaman Minahasa, terutama dari Tondano untuk logistik menunjang tentara Belanda di kepulauan Maluku dan Makassar.
Karena kepentingan penduduk Minahasa sering di abaikan, hingga pemasukan beras dari pedalaman mulai macet dan kebencian penduduk Minahasa terhadap Belanda kian meningkat.
Untuk itu hubungan dengan Inggris yang menjadi lawan pemerintah Belanda di Manado, mulai terjalin dengan penduduk setempat.
Pada awal Juli 1806 tiba-tiba muncul 2 kapal perang Inggris di Teluk Manado pimpinan Kapten Charles Elphinstone.
Setelah membakar sebuah kapal Belanda, Elphinstone kemudian mengirim surat ultimatum kepada Residen Predigger untuk menyerahkan Fort Amsterdam.
Tetapi Prediger menolak melalui jawabannya: “Sebenarnya kami tidak wajib membalas surat tuan.
Tulisan ini hanya merupakan pernyataan sesuai kewajiban yang harus saya lakukan. Tuan dipersilahkan melakukan sikap permusuhan dengan kami.
Tetapi kami selalu siap untuk mempertahankan diri, karena sebagai seorang Batavia, sama sekali tidak gentar terhadap ancaman apapun.”
Elphinstone tidak melayani, tetapi sebenarnya Inggris sudah menjalin hubungan dengan Walak Tondano-Touliang di Atep, pantai timur Minahasa berada di wilayah Walak itu, yang sudah menjadi pusat perdagangan dengan dunia luar.
Di Atep sering terjadi tukar-menukar senjata Inggris dengan beras dan komoditi lainnya dam beredar di Minahasa.
Minahasa ternyata juga menjadi perhatian Inggris karena dikenal sebagai lumbung beras.
Usaha Daendels merekrut Pemuda Minahasa Mempertahankan Jawa
Ketika Negeri Belanda dikuasai sepenuhnya oleh Prancis, dan Kaisar Napoleon Bonaparte mengangkat abangnya, Lodewijk Napoleon, perhatianpun tertuju di Hindia-Belanda yang potensial dan harus dipertahankan.
Untuk itu R J Schimmelpenninck sebagai kepala pemerintah Repbulik Belanda mengangkat Herman Daendels sebagai Gubernur-Jendral Belanda di Batavia menggantikan Albertus Henricus Wiese.
Karena kepemimpinan mantan ketua Raad van Indie di nilai sangat lemah, sedangkan yang diperlukan waktu itu adalah pemimpin yang keras, berwibawa dan tegas.
Untuk itu dimiliki oleh Daendels, seorang perwira tulen yang misi utamanya mempertahankan Jawa dari ancaman serbuan Inggris.
Untuk mempertahankan Jawa, Daendels memerlukan 20.000 prajurit, dan berusaha melakukan perekrutan tidak hanya dari Jawa, tetapi juga dari berbagai suku etnis lainnya, dan dari Minahasa tanpa kecuali.
Untuk itu, Kapten Frans Willem Harting di utus ke Manado dan menemui residen Padrigge melaksanakan instruksi Marsekal Daendels merekrut 2.000 pemuda Minahasa untuk dikirim ke Tanah Jawa.
Untuk merealisasi program ini, Prediger mendekati para pemuka Minahasa. Rencana pertemuan tidak dilakukan di Fort Amsterdam, tetapi harus di luar kota, karena para Walak sudah tidak percaya kalau dilakukan di Fort Amsterdam.
Pada 10 Mei 1808 berlangsung pertemuan di Airmadidi (Tounsea), dengan residen Carel Prediger Jr. yang atas perintah Marsekal Daendels menjadi organisator.
Ia di dampingi Kapten Frans Willem Harting menerima wakil-wakil dari 18 Walak.
Saat itu di Minaesa terdapat 27 Walak, ternyata sepertiga tidak hadir.
Mereka terdiri dari Walak-walak dari:
- Kakas,
- Langowan,
- Tompaso,
- Kawangkoan,
- Sonder,
- Tounsawang,
- Pasan,
- Ratahan,
- Ponosakan.
Prediger kecewa berat, karena yang hadir tidak sesuai harapan, dan banyak Ukung dan Kepala Walak tidak hadir hingga ditunda.
Pada keesokan hari di pembukaan pertemuan, yang hadir itu-itu juga.
Karena kesal, Prediger memutuskan untuk menunda pertemuan pada 20 Mei. Dalam rapat yang kedua, 20 Mei 1808, ternyata penerimaan calon tentara di Todano tidak berlangsung seperti yang diharapkan.
Untuk itu Prediger melanjutkan pertemuan itu menjadi sah dan menganggap mereka yang hadir sebagai waktil-wakil yang absen.
Pada pertemuan itu, Prediger berusaha meyakinkan para peserta mengenai kegunaan pengiriman pasukan ke Jawa dengan ikatan dinas selama 5 tahun.
Ia kemukakan bahwa pada pengiriman itu akan menempatkan pemuda-pemuda Minahasa sebagai prajurit-prajurit tangguh, yang kelak menggantikan posisi orang-orang Ternate.
Disamping itu, mereka yang dikirim akan mendapat uang dan bahan pakaian menjelang keberangkatan.
Kendati Prediger terlalu yakin bahwa usulannya itu akan disetujui oleh hadirin, namun tidak sadar bahwa isi pertemuan itu akan dilaporkan dan diperbincangkan lagi dalam musyawarah antar Walak sesuai ketentuan adat yang tak dapat diganggu gugat siapapun.
Beberapa hari kemudian pihak Fort Amsterdam di Manado mendapat jawaban resmi dari para Walak yang menolak keputusan Airmadidi.
Prediger tidak berhasil meyakinkan para Walak yang selama ini di bohongi terus, dan Misi Harting gagal merekrut pemuda Minahasa.
Bahkan keadaan menjadi fatal, karena sepuluh hari kemudian Fort Amsterdam di serang. Hartingpun kembali ke Jawa dengan tangan kosong.
Perang Tondano berulang
Pada 30 Mei 1808 prajurit-prajurit dari Tondano berada disekitar benteng Amsterdam, dan menyerbu benteng tersebut. Di malam hari dibagian selatan, beberapa prajurit berusaha merebut meriam yang berada disitu, berhasil mereka bawa pulang dan ditempatkan di Toudano-Bawah pimpinan Walak Kilapong. Penghuni tempat ini adalah bekas pelarian perang Tondano kedua.
Pada bulan Nopember 1808 kembali berkobar Perang Toudano melawan Belanda untuk ketiga kalinya.
Sebagai Panglima-Panglima Perang (Teterusan) ditunjuk Sarapung dan Korengkeng dan juga terdapat Item. Suku Tondano kembali di dukung Kakas dan Remboken, Waktu itu walak-walak Toumbariri, Kakaskasen dan Ares (ketiganya dari suku Tombulu) akan turut membantu.
Tetapi begitu pertempuran mulai berjalan, ketiga Walak ini tidak nampak. Walau begitu, suku Tondano tidak melupakan “Ikrar Bersama” yang dicetuskan di masa lampau yang melahirkan “Sumpah Persatuan” (Perang Kedua antara Malesung/Minaesa versus Bolaang-Mongondouw mengenai sumpah ini).
Setiap kali pejuang-pejuang Toundano akan melepaskan tembakan terdengar suara nyaring dari dalam kubuh pertahanan “kumuru.. è .. sè Kawanua!” (berjongkok hai kaum senegeri) musuh suku asing tidak menyadari bahwa ini adalah aba-aba bagi orang Minaesa yang telah ikut serta membantu Belanda, sehingga korban pada orang Minaesa hampir tiada.
Selang seling terdengar pula teriakan berkukuk bila ada musuh yang rebah, yang sering kali terjadi.
Pula bila ada musuh yang berada dekat kubuh pertahanan terdengar teriakan Iayat n Santi (angkat pedang) di mana pejuang-pejuang berloncatan menghadapi musuh dengan pedang terhunus serta setiap kali bila terdengar ucapan .. sayow.. (potong) berarti kepala musuh terlepas dari tubuhnya.
Pertahanan suku Toundano hanya dapat didekati dari satu jurusan yaitu arah Barat di daratan.
Sehingga tentara belanda yang dibantu “gerombolan penolong” dari Ternate, Ambon dan Bolaang-Mongondouw terpukul mundur.
Pemimpin pasukan Belanda bersama konco-konconya adalah residen Prediger yang tertembak pada bagian kepala sehingga harus dibawa pergi untuk dirawat.
Penggantinya adalah Kapten tentara Lodewijk Weintre yang mendatangkan “Kora-Kora” dengan persenjataan meriam dari Belang (sebelah Timur Minaesa di Laut Maluku).
Dan pula dari Tanawangko (sebelah Barat Minaesa di Laut Sulawesi) melalui pegunungan dengan cara memikul ke danau Toundano (hal serupa terjadi pada Perang Toundano kedua) Baru dengan cara ini Kapten L. Weintre memenangkan peperangan; tapi setelah berkali-kali dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Minaesa di mana banyak dari “pasukan tetap maupun gerombolan penolong” yang terbunuh di danau Tondano.
Kebanyakan dari mereka tertikam oleh laskar-laskar Tondano yang sambil berenang dengan bersenjatakan doum (sosoroka: yaitu jenis tombak pendek bermata banyak) menyerang musuh.
Beberapa “Kora-Kora” ditenggelamkan; tidak percuma nama mereka Orang-air (Tou-dano).
Memang diair mereka sangat gesit, musuh susah melihat mereka, bila ada musuh di air “tamatlah riwayatnya”.
Akan tetapi bagi pejuang-pejuang Tondano mesiu yang dimiliki semakin menipis sedangkan musuh hampir siang-malam terus menghujani kubuh pertahanan dengan peluru-peluru meriam dari darat maupun dari atas “Kora-Kora” di danau.
Selang berlangsung peperangan suku Tondano dibekali oleh sesama suku asal Tourikeran, walaupun penjagaan musuh sangat ketat sekitar daerah tersebut.
Karena peperangan telah berlangsung berbulan-bulan, dimana “laskar bantuan musuh” sendiri mengalami kekurangan makanan, sehingga apa saja yang ditemui dimakannya; menjadi sulit untuk membekali suku Toundano, malahan menjelang saat-saat terackhir perbekalan terputus samasekali.
Pemimpin-Pemimpin pertahanan memutuskan untuk menyingkirkan keluarga-keluarga sisa-sisa pertempuran, tua dan muda, agar suku Toundano jangan sampai punah. Dari “tua-tua” suku telah didengar bagaimana bengis laskar-bantuan ini dalam peperangan yang lampau.
Dibawah pimpinan dotu Matulandi, malam sebelum jatuhnya Toundano, dalam kegelapan mereka meninggalkan tempat tersebut. Sambil menggunakan lodei (sampan) menuju negeri Kakas yang terletak pada bagian Selatan danau.
Berdekatan dengan negeri ini mereka bangun perkampungan dengan nama Touliang (yang sampai sekarang masih ada). Dari sini kemudian mereka berpindah ketempat dekat Toudano di mana didirikan desa Touliang-Oki.
Sebelum Toundano mereka tinggalkan terlebih dahulu segala sesuatu yang tak terbawa dihancurkan, sehingga ketika dikuasai musuh mereka menemukan negeri yang kosong.
Tidak ada sesuatupun yang dapat mereka sebut “perampasan perang”.
Ini membuat musuh menjadi kalap sehingga seluruh rumah-rumah diobrak-abrik kemudian dibakar habis.
Toundano diratakan dengan tanah, lebih tepat “diratakan dengan air”.
Pada waktu subuh haribulan 04 Agustus 1809 terdengar tembakan penghabisan dari dalam kubu pertahanan; di mana kemudian pemenang memasuki Toundano.
Mereka menemukan hanya tubuh-tubuh yang tidak bernyawa lagi, pria maupun wanita, yang gugur sebagai “bunga bangsa”, di antaranya terdapat Panglima/Teterusan Sarapung dan Korengkeng.
Peperangan ini telah memakan waktu sembilan bulan lebih: dari bulan November 1808 sampai tanggal 04 Agustus 1809 dinihari. Kapten Lodewijk Weintre yang memimpin pasukan Belanda dalam perang Tondano ini, menulis surat kepada Marinus Balfour, Residen Manado di awal bulan Agustus 1809: “5-7 Agustus 1809… Temanku Balfour, Tondano telah mengalami nasibnya yang naas pada tengah malam.
Seluruh Tondano telah menjadi lautan api. Aku harapkan tidak ada sisa lagi dari Tondano ini. Mereka yang tidak sempat menyingkir itu terdiri dari orang tua yang sakit, wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat dari amukan api, dihabiskan nyawanya oleh anggota-anggota pasukanku….yang penuh dengki dan haus darah, ingin membalas kematian rekan-rekannya yang tewas dalam pertempuran sebelumnya karena muntahan peluru orang-orang Tondano. Saat menulis laporan ini, Tondano sudah menjadi tumpukan debu dan sama sekali hancur.
Sehari setelah kemenangan kami, aku memerintahkan distrik-distrik (pakasaan-pakasaan) lain di Minahasa untuk membawa masing-masing 200 orang agar dapat membantu menhancurkan apa yang masih tersisa dan belum ditelan api, seperti kanon-kanon, tiang-tiang palisade yang terpancang di sekeliling kubu pertahanan mereka. Segala sesuatu, termasuk pepohonan, waruga-waruga aku suruh hancurkan agar kelak tidak akan kelihatan bekas bahwa ditempat ini pernah ada pemukiman orang-orang Tondano. Alasanku melibatkan pakasaan-pakasaan dalam penghancuran sisa-sisa perkampungan orang Tondano ini, adalah untuk memperingatkan mereka di Minahasa akan nasib yang akan mereka alami bila berani menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Senjata-senjata yang dapat disita masih kurang banyak. Dan aku duga orang-orang Tondano telah menengelamkannya di danau. Selanjutnya aku akan mengejar pemimpin-pemimpin mereka yang sempat mengundurkan diri kehutan-hutan di sekitar Kapataran….”
Mariuns Balfour kemudian meneruskan laporan tersebut kepada atasannya Gezaghebber de Moluccas Rudolf Coop A Groen di Ternate: “ 9 Agustus 1809 … Orang-orang Tondano yang congkak dan angkuh itu akhirnya dapat kita taklukkan.
Pada malam tanggal 4 menjelang 5 Agustus 1809, kira-kira tengah malam, dimulailah serangan yang telah lama disiapkan ke arah pusat pertahanan orang-orang Tondano.
Penyerangan dipimpin Kapten Weintre dengan pasukannya. Setelah pasukan penyerang berhasil memasuki perkampungan orang Tondano, mereka mulai membakar rumah-rumah, dan segala sesuatu yang mereka temukan. Api yang menyala itu dipantulkan air danau, dan dapat dilihat dari jauh dari atas tembok-tembok di Fort Amsterdam. (dikutip dari Eddy Mambu, SH, kutipan dari Bundel Ternate No. 116 Arsip Nasional dalam makalah “Pantang Mundur, Perang Tondano 1808-1809”, YKM Jakarta, 1986).
Laporan Weintre, alumnus Akademi Militer Breda negeri Belanda tersebut bukan puisi, imajinasi atau ilusi.
Laporan Weintre adalah laporan resmi militer dari pihak musuh Minahasa.
Yakni tentang bagaimana Minawanua-pemukiman orang-orang Tondano tempo dulu yang dikelililingi benteng-benteng (moraya) di atas delta yang menyumbat air danau menuju hulu sungai Temberan-dijadikan ladang pembantaian (killing fields) rakyat Minahasa oleh Belanda.
Pembantaian yang menjadi klimaks sekaligus mengakhiri perang Tondano (1808-1809).
Tragedi yang hanya mungkin dialami oleh suatu komunitas yang memilik tradisi pantang menyerah. Tradisi melawan dan musnah ketimbang tunduk kepada musuh.
Treadisi yang oleh Belanda dianggap congkak dan angkuh, tapi bagi zaman kita adalah tradisi jiwa dan semangat kepahlawanan yang setiap 10 November diperingati sebagai hari pahlawan.
Seandainya saja Minahasa saat itu tak lebih dari sekumpulan pengecut dan pecundang, niscaya tidak akan ada pengorbanan dan klimaks pembantaian sebagaimana dilaporkan Kapten Weintre. Akibat dari peperangan ini, Belanda tidak ingin lagi Walak Toundano dikepalai Suku asal Tondano. Mereka menunjuk Jacob Supit dari suku Tombulu sebagai Kepala Walak tersebut.
Minahasa Di Masa Inggris
Pasukan belanda semenjak Perang Tondano ini berada dalam keadaan lemah dan ketika Inggris, untuk keduakalinya, muncul didepan pelabuhan Manado selesai sudah dengan kekuasaan Belanda.
Inggris memberikan pada suku Tondano yang telah terpencar dimana-mana di tanah Minaesa “amnesty abolisi” (pembatalan serta penghapusan hukuman) serta menugaskan mereka untuk membangun kembali negeri yang baru, arah lebih ke bawah pada kedua belah sisi sungai Temberan (Belanda menyebutnya “Tondano-rivier”= sungai Tondano).
Sebelah Barat sungai diperuntukkan bagi TOUNDANO-TOULIANG; Sebelah Timur sungai diperuntukkan bagi TOUNDANO-TOULIMAMBOT. Kedua negeri ini selesai dibangun dalam tahun 1811. Oleh Inggris Jacob Supit diberhentikan sebagai Kepala Walak dan rakyat memilih sebagai Kepala Walak Toundano-Toulimambot, dotu Janes Abraham Dotulong, dan bagi Walak Toundano-Touliang, dotu Matulandi selaku Kepala Walak dari tahun 1810 sampai tahun 1820.
Waktu negeri Kembuan (sekarang Tonsea-Lama) masih menjadi Negeri-Induk suku Tonsea, mereka mendiami bagian sebelah Timur sungai Temberan, dari Air-Terjun hingga danau Toundano. Dengan demikian dotu Janes/Danes A Dotulong sampai tahun 1829 menjabat Kepala Walak dari Tondano-Toulimambot bergantian dengan suku asal Tondano.
Setelah berlalu kepemerintahan Inggris yang telah bermukim di Minaesa dari tahun 1810 sampai 21 April 1817, Belanda berusaha agar dotu Matulandi, yang terlibat perang terakhir sebagai salahsatu pemimpin, dapat diganti.
Baru kurang lebih dua setengah tahun merekapun berhasil dalam “usaha” ini. Ia diganti oleh Tangka; dengan sertamerta suku Tondano memprotes. Cara penunjukkan telah melanggar “adat kebiasaan”; terkejut juga Belanda dan untuk meredakan suasana mereka menunjuk Emor sebagai pengganti. Tetap diprotes cara “penunjukkan” .
Adat Kebiasaan tak dapat diabaikan! Telak juga protes ini, akan tetapi untuk menerima seorang Kepala Walak dari keturunan Gerungan, bagi Pemerintah Belanda adalah sulit, mengingat keluarga ini selalu berada dalam kepemimpinan dalam peperangan melawan Belanda. Malapetaka yang Belanda alami dalam perang terackhir masih membekas dalam ingatan mereka tetapi demi bahan pangan utama yaitu “padi” sangat dibutuhkannya, keinginan rakyat dituruti.
Tetapi Dotu Matulandi sendiri tidak bersedia lagi karena umur telah lanjut, maka oleh rakyat dipilih dotu Boèng Ratumbuisang selaku Kepala Walak sampai tahun 1850.
Baru pada awal abad ke-20 Belanda dapat mengendalikan pulau Sulawesi. Inipun terjadi pada masa kepemimpinan Gubernur-Jendral Johannes van Heutz, Jendral yang haus perang menyatukan gugusan Nusantara dengan konsep “Korte Verklaring” mewujudkan “Takluk Batavia.”
Konsep ini menjadi awal dari sistem pemerintahan sentralisme di kawasan Zamrut Khatulistiwa ini.
*Penulis Harry Kawilarang
Perang Tondano Ketiga (1808-09)