Kapten Pierre Tendean tercatat sebagai salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam tragedi Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Meskipun bukan target utama dalam operasi tersebut, Pierre tewas di tangan pasukan Cakrabirawa.
Awalnya, pasukan Cakrabirawa bertujuan menculik Jenderal AH Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Namun, Pierre yang bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution dengan gagah berani mengaku sebagai sang jenderal demi melindungi atasannya.
Aksi heroik ini membuatnya diculik dan akhirnya disekap di Lubang Buaya.
Alasan Pasukan Cakrabirawa Salah Menangkap Pierre Tendean
Dalam buku Sang Patriot (2019), disebutkan bahwa pada 1 Oktober 1965 pukul 03.00 WIB, Letnan Doel Arif dari Pasopati memberikan instruksi kepada tujuh sub-unit pasukan penculik.
Kelompok yang ditugaskan menculik Jenderal Nasution dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua Jaharup dari Resimen Cakrabirawa.
Pasukan ini terdiri dari satu regu Kawal Kehormatan Cakrabirawa, satu peleton Batalyon 530/Para Brawijaya, satu peleton Batalyon 454/Para Diponegoro, satu peleton Pasukan Gerak Cepat, dan satu peleton Satuan Sukwan Pemuda Rakyat.
Menurut kesaksian Hamdan Mansyur, rekan Pierre yang juga ajudan Jenderal Nasution dari kepolisian, anggota pasukan penculik tersebut tidak mengenali wajah para petinggi Angkatan Darat, termasuk Jenderal Nasution.
Pasukan ini sebagian besar berasal dari daerah dan baru bertugas di Jakarta, sehingga tidak akrab dengan sosok para jenderal.
Ketika Pierre Tendean disergap, Hamdan sempat mendengar Pierre berteriak, “Saya ajudan Nasution!” Namun, tampaknya pasukan hanya mendengar sepenggal kalimat “Saya Nasution,” yang mungkin disebabkan oleh situasi yang tegang dan rasa gugup mereka.
Hal ini membuat mereka yakin bahwa Pierre adalah target yang dicari.
Pengakuan Pasukan Cakrabirawa Tentang Identitas Pierre
Setelah penculikan, pasukan Cakrabirawa membawa Pierre ke Lubang Buaya.
Kesaksian dari Mayor Udara Gatot Soekrisno, Komandan Pasukan Gatot Kaca yang bertugas di Lubang Buaya, mengungkapkan bahwa sebenarnya pasukan mulai meragukan identitas Pierre.
Gatot mengaku bahwa sosok Pierre tampak terlalu muda untuk menjadi Jenderal Nasution.
Ketika diinterogasi, Pierre bahkan mengaku sebagai tukang genset di rumah Jenderal Nasution untuk menghindari ancaman lebih lanjut.
Namun, para penjaga di Lubang Buaya akhirnya mengetahui identitas aslinya.
Sersan Mayor Boengkoes, salah satu anggota tim penculik Mayjen M.T. Haryono, bersaksi bahwa ia melihat seorang perwira muda sedang diinterogasi oleh anggota Pemuda Rakyat.
Para anggota pasukan yang menyadari bahwa mereka telah salah menangkap orang, justru menjadi semakin marah. Mereka menyebut Pierre sebagai “si Londo” — istilah yang kerap digunakan untuk merujuk pada orang asing atau berwajah kebarat-baratan.
Akhir Tragis Pierre Tendean
Meski identitas aslinya telah diketahui, nasib Pierre tetap tragis. Ia dipaksa mengungkap keberadaan Jenderal Nasution, tetapi tidak ada catatan yang pasti mengenai respons Pierre.
Akhirnya, Pierre dieksekusi oleh Robertus Djukardy, anggota Pemuda Rakyat, sesuai dengan pengakuan Sersan Mayor Boengkoes.
Pengorbanan Pierre Tendean menjadi simbol keberanian dan kesetiaan seorang prajurit.
Sebagai ajudan, ia rela mengorbankan nyawanya demi melindungi Jenderal Nasution.
Aksi heroiknya dikenang dalam sejarah bangsa, dan namanya diabadikan sebagai salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia.