Pada Rabu, 10 Agustus 1921, tanah Minahasa diguncang oleh sebuah peristiwa tragis yang mencoreng sejarah hukum dan keamanan di wilayah tersebut.
Seorang pegawai kejaksaan bernama Julian Mantiri, seorang Inlandsch Officier van Justitie (Jaksa Pribumi), tewas ditikam saat menjalankan tugasnya.
Kejadian ini menjadi salah satu kasus pembunuhan paling keji yang pernah tercatat di Minahasa.
Latar Belakang Peristiwa
Beberapa bulan sebelum insiden tragis ini, Hukum Tua Negeri Koya ditahan di penjara Tondano atas tuduhan memberikan keterangan palsu terkait perkara warisan tanah (budel).
Dalam penyelidikan yang masih berlangsung, Jaksa Mantiri mendapat perintah untuk memeriksa rumah Hukum Tua tersebut karena diduga terdapat surat penting yang disembunyikan di sana.
Pada sore hari kejadian, Jaksa Mantiri, didampingi seorang polisi negeri (oppas), pergi ke Negeri Koya.
Namun, sesampainya di sana, ia mendapat informasi bahwa istri Hukum Tua sedang berada di Tondano untuk membesuk suaminya. Jaksa Mantiri pun segera kembali ke Tondano untuk menjemput sang istri.
Mereka lalu kembali ke Koya, menuju rumah Hukum Tua yang telah dikunci rapat.
Didampingi oleh wakil Hukum Tua dan dua kepala jaga, Jaksa Mantiri mengetuk pintu depan rumah. Meski terdengar suara orang berbicara di dalam, pintu tidak juga dibuka. Atas izin Jaksa Mantiri, istri Hukum Tua masuk ke rumah melalui pintu belakang.
Tidak lama kemudian, terdengar suara sang istri berkata, “Jangan begitu,” yang diduga merupakan upaya untuk mencegah niat jahat orang-orang di dalam rumah. Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan seorang pria tanpa peringatan langsung menikam Jaksa Mantiri.
Kronologi Penikaman
Tikaman pertama mengenai perut Jaksa Mantiri, menyebabkan ia mundur ke halaman rumah. Namun, pelaku terus menyerang, mengarahkan tikaman ke tangan korban.
Jaksa Mantiri mencoba melarikan diri ke jalan besar, tetapi pelaku mengejarnya dan melakukan tikaman terakhir yang mengenai punggungnya.
Yang membuat kejadian ini semakin memilukan, oppas yang mengawal Jaksa Mantiri, serta dua kepala jaga dan wakil Hukum Tua yang ada di lokasi, tidak melakukan apa-apa untuk melindungi atau menghentikan serangan tersebut.
Padahal, oppas membawa sebilah pedang (sabel Marechaussee) yang seharusnya dapat digunakan untuk membela korban.
Meski terluka parah, Jaksa Mantiri berhasil berjalan sekitar 200 meter ke rumah keluarga Lesar. Di sana, sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ia berbisik, “Item yang tikam pa kita,” mengidentifikasi pelaku serangan.
Dampak dan Penanganan Kasus
Jenazah Julian Mantiri segera dibawa ke Tondano untuk diperiksa oleh seorang dokter pribumi.
Pemeriksaan menunjukkan bahwa tikaman pertama, yang mengenai organ vital di perut, menjadi penyebab utama kematian. Keesokan harinya, 11 Agustus 1921, jasadnya dimakamkan di Tikala.
Pemakaman ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting dari Keresidenan Manado, termasuk Sekretaris Keresidenan Philip F.L. Sigar, Presiden Landraad Mr. L.G. Krol, Controleur Tondano Mr. W.J. Beck, dan Asisten Residen Mr. H.Ch. Gooszen.
Kehilangan seorang jaksa yang berdedikasi seperti Julian Mantiri meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Minahasa, terutama istri dan tujuh anaknya yang masih kecil.
Hukuman bagi Para Pelaku
Setelah beberapa kali persidangan di Landraad Manado, yang diadakan di Tondano, para pelaku akhirnya divonis pada 23 Oktober 1921:
– Johanis Kambong alias Item, pelaku utama, dijatuhi hukuman mati (doodstraf).
– David Kambong, kakak Item, juga dihukum mati.
– Eliezer Kambong, adik Item, dan Christoffel Goganie, ipar Item, masing-masing dihukum penjara selama 15 tahun.
Refleksi atas Tragedi
Kasus pembunuhan ini tidak hanya menunjukkan kengerian kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat, tetapi juga menyoroti lemahnya respons aparat yang seharusnya bertugas melindungi.
Kejadian ini menjadi pengingat akan pentingnya keberanian dan tanggung jawab dalam menegakkan hukum.
Tragedi Julian Mantiri dikenang sebagai simbol pengorbanan seorang pejabat yang teguh menjalankan tugasnya.
Namun, tragedi ini juga menjadi peringatan akan pentingnya dukungan dan perlindungan bagi para penegak hukum di lapangan.
*Sumber: Koran Keng Hwa Poo (1921)*
*Disalin dan disesuaikan oleh Romy Toar Nonutu*