Minahasa Sebelum Kedatangan Orang Barat

Artikel301 Dilihat

Minahasa, wilayah timur laut semenanjung utara Sulawesi, terletak antara 0° 51′ hingga 1° 51′ 40″ Lintang Utara dan 124° 18′ 40″ hingga 125° 21′ 30″ Bujur Timur.

 

Secara geografis, Minahasa merupakan bagian dari rangkaian gunung berapi yang memanjang hingga Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Filipina.

 

Wilayah ini dikelilingi oleh laut di tiga sisi dan dipisahkan dari Bolaang-Mongondow oleh Sungai Poigar dan Boejat yang mengalir dari Pegunungan Wulur Mahatus (Seratus Puncak).

Dengan luas 4.786 km², Minahasa setara dengan gabungan wilayah Holland Selatan dan Zeeland di Belanda.

Asal-Usul Penduduk Minahasa

 

Asal mula penduduk pertama Minahasa tidak tercatat secara pasti, namun kemiripan adat, bahasa, dan budaya menunjukkan bahwa wilayah ini kemungkinan dihuni dari pulau-pulau di utara Sulawesi.

 

Perbedaan linguistik yang berkembang belakangan diduga terjadi akibat celah waktu antar gelombang migrasi.

Legenda setempat mengisahkan nenek moyang orang Minahasa, Lumimu’ut, yang diyakini lahir dari batu yang dicuci ombak dan dipanaskan oleh matahari.

Batu tersebut mulai berkeringat, sehingga muncul Lumimu’ut (lu’ut berarti “keringat”). Dibuahi oleh angin barat, ia melahirkan To’ar, yang kemudian menjadi pasangannya tanpa mengetahui hubungan darah di antara mereka.

 

Dari hubungan ini, lahirlah para dewa, setengah-dewa, serta nenek moyang suku-suku Minahasa.

Lumimu’ut dianggap sebagai personifikasi bumi, sedangkan To’ar melambangkan matahari.

Figur Lumimu’ut sering ditemukan pada tongkat imam dengan simbol wajah di kedua sisi, melambangkan pengetahuan tentang masa lalu dan masa depan.

Pembagian Suku dan Wilayah

 

Legenda juga menyebutkan bahwa para leluhur menentukan wilayah tempat tinggal suku-suku Minahasa di “Batu Pembagian” di kaki utara Gunung Tonderukan.

 

Keputusan dibuat oleh dewa tertinggi dan disetujui oleh dewa pelarang, ditandai dengan goresan pada batu.

Suku-suku utama Minahasa meliputi:

  1. Tombulu
  2. Tonsea
  3. Tontemboan (sebelumnya dikenal sebagai Tompakewa)
  4. Tolour

Bahasa Tombulu memiliki pengaruh signifikan, terutama dalam lagu-lagu pengorbanan yang digunakan dalam ritual keagamaan. Selain itu, terdapat lima suku lainnya—Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik, dan Benténan—yang juga membawa keunikan bahasa dan budaya masing-masing.

Hubungan dengan Bolaang dan Babontehu

 

Hubungan Minahasa dengan suku-suku tetangga penuh dinamika.

Suku Babontehu yang tinggal di pulau-pulau sekitar Minahasa menjalin persahabatan dengan Ternate, namun konflik dengan Bolaang-Mongondow membuat mereka terusir hingga ke Kepulauan Sangihe.

Minahasa sendiri tidak tunduk pada kekuasaan Bolaang, meskipun beberapa suku seperti Pasan, Ponosakan, dan Tonsawang memiliki hubungan erat melalui perkawinan.

 

Nama Minahasa diperkirakan berasal dari kata “esa” (satu), “ma-esa” (bersatu), dengan awalan pasif “Min-” menjadi “Minaesa,” yang berarti persatuan melawan ancaman eksternal seperti Bolaang-Mongondow.

Kehidupan Sebelum Kedatangan Bangsa Barat

 

Penduduk Minahasa hidup relatif terisolasi hingga abad ke-16. Mereka tinggal di desa-desa berbenteng di dataran tinggi dan lembah subur, mengandalkan pertanian sebagai sumber utama penghidupan.

Teluk-teluk seperti Amurang, Manado, Kema, dan Belang dikunjungi oleh perahu-perahu dari Jawa, Makassar, dan Maguindanao, serta jung-jung Tiongkok.

 

Namun, interaksi ini tidak membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari penduduk setempat.

Suku Bantik: Jejak Keunikan di Minahasa

 

Suku Bantik memiliki sejarah menarik. Awalnya mereka tinggal di Bolaang sebagai sekutu Bolaang-Mongondow, namun setelah kekalahan di Maadon, mereka menetap di Minahasa. Hingga pertengahan abad ke-19, suku Bantik masih membayar upeti secara rahasia ke Bolaang, berupa beras, tembakau, dan barang-barang lainnya.

Penghinaan “budak Bolaang” yang kadang ditujukan kepada mereka masih mengingatkan hubungan ini.

Kesimpulan

 

Minahasa sebelum kedatangan bangsa Barat adalah wilayah dengan kekayaan budaya dan dinamika internal yang kompleks.

 

Terlepas dari konflik dengan suku-suku tetangga, masyarakat Minahasa berhasil mempertahankan identitas mereka, membangun struktur sosial yang kuat, dan menciptakan legenda-legenda yang hingga kini menjadi warisan budaya yang tak ternilai.

Referensi:

1) Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, edisi ke-2, bagian II hal. 733,
2) Ensiklopedia Hindia Belanda, edisi ke-2, bagian II hal. 735.
3) J.G.F. Riedel. Het oppergezag der vorsten van Bolaäng over de Minahasa. Lihat Tijdschrift v. Indische Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1869, XVII hal. 505-524.
4) Indië. Geïllustreerd Weekblad voor Nederland en Koloniën 1917-8, hal. 122, 197 dan 247.
5) N. Graafland. De Minahassa, haar verleden en haar tegenwoordige toestand, Edisi ke-2, 1898, hal. 3, catatan. Menurut saya penjelasan yang lebih tepat berikut, ketika membahas kontrak 10 Januari 1679.
6) N. Graafland. Op. pengutipan hal. 76-79

*Gambar dan tulisan disadur dari Roderick Ch Wahr

Tinggalkan Balasan