Minahasa Pada Pasca Perang Pasifik

Artikel224 Dilihat

Menuntut Janji Ratu Wilhelmina

Kebencian masyarakat Minahasa terhadap NICA terjadi karena pihak birokrat Belanda mulai melakukan praktek-praktek diskriminasi dan rasa ketidak adilan kian menonjol dalam kehidupan sehari-hari hingga menimbulkan keresahan.

Dalam laporan Dr. Tumbelaka diungkapkan mengenai pengalaman buruk yang dialami seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya karena dibunuh oleh tentara Jepang pada 16 Agustus 1945 dengan tuduhan sebagai aktivis gerakan bawah tanah anti-Jepang.

Ketika sang ibu mendatangi bagian distribusi untuk menerima bagiannya, pertanyaan pertama yang diajukan oleh pegawai Belanda padanya adalah, “Apakah Anda gelijkgesteld (memiliki persamaan hak?), Kalau tidak maka anda tidak bisa mendapat apa-apa. Janganlah marah kalau saya bertanya begitu; kalau orang tidak berwajah mirip Eropa saya harus bertanya apakah ia “gelijkgesteld” atau “tidak.”

Ibu ini hanya bengong dan dengan kecewa ia pulang dengan tangan kosong.

Buruknya sektor perekonomian dan rusaknya sistem pelayanan birokrat pemerintahan hingga citra Belanda di kalangan masyarakat.

Rasa ketidak senangan terhadap Belanda di Minahasa juga melanda kalangan masyarakat intelektual.

Dr Roland Tumbelaka dalam laporannya menulis: “Sekalipun mengalami tindakan-tindakan terror (di masa pendudukan Jepang), orang Minahasa kini telah menjadi lebih sadar akan diri sendiri dan lebih mandiri, dan sekarang lebih percaya pada kekuatan dan kemampuan sendiri.

Sebab itu tidak mengherankan kalau ada seorang Kepala Distrik Minahasa yang mengatakan: “Dalam kurun masa yang lalu para pemimpin masyarakat Minahasa mendapat pengalaman-pengalaman yang tidak mungkin mereka peroleh selama puluhan tahun dimasa damai sebelumnya.”

Kaum intelektual Minahasa pada umumnya waktu itu berorientasi pada janji Ratu Wilhelmina 7 Desember 1942 yang mengatakan bahwa, kelak kalau peperangan telah usai, akan diadakan perubahan dalam konstelasi politik Hindia-Belanda dan jajahan-jajahan Belanda lainnya.

Ketika itu di janjikan akan dilangsungkan suatu pertemuan besar untuk menyusun kembali status Hindia-Belanda dalam bentuk sistem persekemakmuran.

Pidato Ratu kemudian disiarkan kembali dan disebar luaskan ketika Belanda kembali berada di Batavia pada bulan September 1945.

Pidato Ratu Wilhelmina ini diharapkan dapat menjadi kenyataan dikaitkan dengan tuntutan kebebasan dan pemerataan hak berpolitik bagi masyarakat pribumi Indonesia.

Tuntutan ini dikenal dengan petisi Soetardjo pada 1937.

Waktu itu para pemuka nasionalis Indonesia dari Fraksi Nasional dalam Volkraad menyuarakan petisi itu yang didukung sepenuhnya oleh DR GSSJ Ratoe Langie, Mohammad Husni Thamrin dan lain-lain.

Tetapi petisi ini ditolak oleh Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.

Sekalipun diperjuangkan hingga 1941, dan juga menggelar Hak Interpelasi, tetap saja ditolak oleh Belanda.

Tetapi keadaan menjadi lain ketika Belanda bertekuk lutut pada Jepang pada bulan Maret 1942.

Untuk mengatasi keadaan, Ratu Wilhelmina melakukan pendekatan dengan Indonesia melalui pidatonya pada 7 Desember dengan janji perubahan politik.

Di Minahasa pidato Ratu Wilhelmina mendapat tafsiran yang berbeda-beda.

Di kalangan masyarakat terjadi perbedaan pandangan mengenai rencana pembenahan tatanan politik.

Pihak pertama mendukung arah politik yang dilakukan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Sedangkan pihak kedua menolak sama sekali janji Ratu.

Terdapat kalangan yang ingin tetap dalam wilayah Indonesia Merdeka tanpa ikatan apapun dengan Belanda.

Ada pula yang menginginkan integrasi dengan Belanda tanpa ikatan apapun dengan Republik Indonesia.

Bagi kalangan intelektual Minahasa, umumnya memahami arah politik yang dilakukan Sutan Syahrir sebagai alternatif yang paling baik.

Sementara Sam Ratulangi yang sedang melakukan tugasnya sebagai Gubernur Sulawesi di Makassar, ternyata garis pandangnya tak berbeda dengan para intlelektual di Minahasa.

Dalam pandangannya yang ditulis dalam bahasa Belanda berbentuk surat bulan Desember 1945, Ratulangi menegaskan keyakinannya bahwa perjuangan nasional ini akan dapat dimenangkan.

Dalam tulisannya yang ditujukan kepada masyarakat intelektual Minahasa itu, Ratulangie mengingatkan:

 

“Perjuangan ini kami laksanakan melalui cara diplomasi. Kami tidak membenci orang Belanda, mereka boleh tinggal disini, mereka bisa menjadi kaya disini tanpa diganggu, tetapi kekuasaan diplomatik, kekuasaan untuk memerintah harus berada ditangan kita, karena ini adalah tanah air kita. Ini adalah tanah air yang diberi Tuhan kepada nenek-moyang kita dan kepada kita dan kepada turunan kita. Melalui pekerjaan jasmani dan rohani kita akan membangun bangsa dan tanah air kita. Inilah yang selalu harus kalian ingat, Merdeka!”

 

Surat Ratulangi yang diterima oleh kalangan masyarakat intelektual Minahasa pada awal Januari 1946 diakhiri dengan kata-kata: “Salam saya kepada Ernst Pelengkahu, Dr. Senduk, B W Lapian, H M Gerungan. Pesan saya adalah, pertahankan Ketertiban dan Keamanan (Mijn boodschap is “Orde en Rust” handhaven).

 

Beda Pandang di Minahasa

Golongan kedua adalah mereka yang tidak ingin perubahan ketata-negaraan seperti yang diusulkan Van Mook. Golongan ini dapat dibedakan dalam dua kelompok.

Kelompok pertama adalah para anggota KNIL, dan yang kedua adalah para pemuda.

Anggota-anggota KNIL tidak memliki pilihan lain dan bergantung pada Belanda, dan kepentingan mereka adalah mempertahankan sistem pemerintahan sebelum perang.

Kelompok konservatif ini dikenal sebagai “Twapro” (Twaalfde Provintie) dan sebagian besar dari satuan Reserve Corps (Korps Cadangan).

Sekalipun sebagian besar dari mereka prajurit pensiunan, tetapi menjelang invasi Jepang di Sulawesi Utara, mereka dipersenjatai kembali dan berperan aktif dalam aksi perlawanan terhadap Jepang. Kepentingan mereka yang terutama adalah mempertahankan hak pension dan jaminan sosial lainnya sesuai hak pensiunan KNIL.

Mereka menghendaki sebaiknya Minahasa masuk bagian dari Kerajaan Belanda dengan status sebagai provinsi ke-12.

Nama Twapro muncul sebagai organisasi politik di Minahasa pada 10 April 1947 dengan pemuka-pemukanya, Jan Maweikere, Musa Polii dan Rampengan Palar.

Mereka inipun didukung sepenuhnya oleh pimpinan KNIL yang menempatkannya sebagai barisan para-militer Belanda dengan diterapkannya politik Partisan.

Kehadiran kelompok ini mulai menimbulkan pertentangan dalam percaturan politik di Minahasa, di lawan oleh kelompok Pemuda Republik yang terlibat dalam Peristiwa Merah Putih.

Sementara sebagian besar dari para Hukum Besar (kepala-kepala wilayah) termasuk sebagai golongan yang tidak ingin bergabung dengan Indonesia, tetapi juga tidak ingin terikat dengan Belanda.

Mereka menghendaki Minahasa Merdeka. Kelompok kedua adalah pemuda Minahasa “radikal” berhaluan nasionalis yang sudah bergerak sebelum pendudukan Jepang.

Dengan propaganda anti-Barat oleh Jepang selama masa pendudukan hingga terbentuk pemikiran politik radikal diantara mereka.

 

Dengan biusan “Semangat Nippon,” para pemuda menjadi pemuja Jepang dan anti-Belanda.

Kekerasan dan keperkasaan militer Jepang menjadi pola dan peri laku yang menjadi idola di kalangan pemuda hingga menjadi radikal.

Selain itu, betapapun kejamnya tindakan Jepang terhadap orang Minahasa, para pemuda waktu itu merasa yakin bahwa Jepang bermaksud baik bagi Indonesia.

Para pemuda menyambut positif ketika Perdana Menteri Kuniaki Koiso di bulan September 1944 mengumumkan “kemerdekaan Indonesia di masa datang.”

Mereka begitu yakin dan percaya bahwa Jepang akan membantu dan memberi kemerdekaan pada Indonesia.

Langkah mewujudkan kemerdekaan itu diprakarsai oleh Laksamana Muda Hamanaka selaku pimpinan pemerintahan militer di Manado.

 

Itulah sebabnya, ketika tercetus Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, disambut meriah oleh barisan pemuda radikal.

Sekalipun begitu pihak NICA Belanda sama sekali tidak mengetahui keberadaan kelompok radikal di Minahasa.

Padahal ketika berbagai wilayah di Sulawesi Utara di kuasai Sekutu, peranan para pemuda sangat menonjol membantu pihak Sekutu.

Segera setelah berita Proklamasi RI sampai di Sulawesi Utara, pemuda membentuk organisasi pemuda dan memelopori pembentukan pemerintahan pro-Republik.

Pihak Manado Force ketika mendarat di Manado dan berbagai wilayah di Sulawesi Utara, menyadari bahwa kekuasaan berada di tangan pemuda.

Kedatangan NICA sempat menimbulkan reaksi menentang di kalangan pemuda, namun pasukan Australia berhasil melakukan pendekatan dengan menempatkan NICA sebagai bagian dari Manado Force yang berada dibawah komando Australian Military Force.

Dalam laporan dari Manado Force di bulan Desember 1945 dikatakan bahwa di Gorontalo terbentuk organisasi pemuda, PIM (Pemuda Indonesia Merdeka) yang kuat dan berakar dalam benak rakyat.”

Demikian pula di Poso dan Parigi. Hanya karena mempercayai maksud baik dari Manado Force, hingga para pemuda itu bersedia menerima kehadiran NICA.

Di Minahasa hingga bulan Desember 1945 tidak pernah terdapat laporan adanya gerakan-gerakan pemuda.

Pihak militer Australia pada bulan Oktober 1945 melaporkan bahwa orang-orang Manado tidak bersimpati pada Gerakan Kemerdekaan Indonesia.

Tidak pernah ada kerusuhan dan tidak ada tanda-tanda kekacauan.

Laporan berkala dari Chief Commanding Officer NICA di Morotai hingga awal November 1945 yang juga menyinggung kegiatan-kegiatan para pemuda Gorontalo dan Poso, mencatat bahwa “keadaan politik di Minahasa dapat dikatakan memuaskan.”

 

Volksraad di Minahasa 1925-1927. Sangat disegani karena tingkat intelektualitasnya hingga disegani tentara Jepang.

 

Gerakan Pemuda di Minahasa

Conica Coomans de Ruyter di Manado seharusnya mengetahui keadaan sesungguhnya di Minahasa, tidak seperti yang nampak.

Dalam suatu rapat yang diselenggarakan oleh para pemuka masyarakat pada 12 November untuk membentuk kembali distrik-distrik di Minahasa, seharusnya ia sudah dapat membaca keadaan sebenarnya.

Ketika itu para pemuda justeru menyuarakan protes keras ketika de Ruyter muncul dengan usul membagi Minahasa dalam tiga distrik saja.

Padahal sejak bulan Agustus 1945 para pemuda Minahasa telah bangkit menyambut Proklamasi Kemerdekaan ketika dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Berita proklamasi kemerdekaan pertama kali diketahui pada 18 Agustus.

A Sigar Rombot yang waktu itu bertugas di markas Angkatan Laut Jepang di Tondano sebagai markonis, mendengar berita itu disiarkan kantor berita Domei di Tokyo.

Berita ini tak menonjol dan hanya diselipkan diantara berita-berita berkisar pada peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kaputiasi Jepang, dan perintah gencatan senjata oleh Kaisar Hirohito, dll.

Kedua pemuda itu lalu menyampaikan berita itu, antara lain kepada Wangko F Sumanti yang ketika itu menjabat komandan Benteng Pertahanan Tanah Air di Tondano.

Sejak itu para pemuda Tondano memulai gerakan pembelaan proklamasi.

Kegiatan pemuda di Tondano pertama kali terjadi di Sekolah Kepolisian (Nippon no Tkoubetsu Kaisatsu) yang di dirikan pada jaman pendudukan Jepang di sebuah gedung gereja Advent di Rerewoken (Tondano). Jumlah siswanya sekitar 70 orang yang rata-rata berusia 17 tahun dan direkrut dari seluruh penjuru Minahasa yang antara lain terdapat, Alex Lelengboto, Leo Kawilarang, Frans Karepouan, John Somba, Adolf Wungouw dan Karinda. Sedangkan diantara para guru terdapat juga orang-orang non-Kawanua, seperti Samsuri, Rusman dan Massu. Segera setelah menerima berita dari Sigar dan Rombot, pada 19 Agustus para pelajar di Sekolah Kepolisian di Tondano mengadakan appel menaikkan bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Badan Pemerintah Sementara (Komite Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan EHW Pelenkahu memutuskan pada 23 Agustus, dwiwarna Merah Putih di kibarkan serentak pada beberapa tempat di Minahasa, yakni Tondano, Kawangkoan, Kombi dan Sonder. Peristiwa itu terjadi sebelum penyerahan Jepang pada Sekutu.

Penyerahan Jepang kepada Sekutu di Indonesia Timur baru terjadi pada 9 September 1945 di Morotai, dan pada 11 September 1945 misi-misi militer Australia tiba di Minahasa untuk melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara Jepang yang berjalan tanpa keributan. Sejak itupun kegiatan kelompok Komite Tenaga Rakyat tak terdengar lagi. Baru pada awal Januari 1946 pihak Belanda membongkar sebuah organisasi rahasia gerakan pemuda Republik yang sudah terbentuk sejak bulan Oktober 1945. Inisiatif ini dilakukan oleh John Rahasia, seorang pemuda asal Sangir-Talaud yang pernah mengikuti pendidikan perwira kapal di Pare-Pare masa pendudukan Jepang. Waktu itu sekolah perwira pelayaran Jepang, Koto Kaiin Yesyio itu menampung sejumlah pemuda lulusan MULO yang di didik untuk menjadi perwira pelayaran niaga. Ketika itu dari Minahasa terdapat sekitar 60 pemuda. Setelah kapitulasi Jepang sekolah ini ditutup. Para pemuda itu dengan berbagai cara berhasil kembali ke Sulawesi Utara ataupun ke Jawa. John Rahasia bersama sejumlah pemuda berangkat dari Pare-Pare pada 19 Agustus dan baru tiba di Manado melalui darat pada awal bulan Oktober. Setelah tiba di Manado, John Rahasia mengumpulkan sejumlah pemuda di rumahnya, Jalan Sindulang. Diantaranya terdapat Chris Pontoh, Wim Pangalila, Mohammad Kanon, dll.

Hasil dari pertemuan ini hingga pada 8 Oktober 1945 terbentuk organisasi pemuda pertama di Minahasa, Barisan Pemuda Nasional Indonesa (BPNI), sebagai gerakan pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Wawasan mereka ini disebarluaskan melalui dua majalah sederhana, yaitu Catapult (berbahasa Belanda) dan Suara Indonesia Muda.

Rencana positif BPNI muncul ketika pasukan Australia mengumumnkan niatnya untuk mengundurkan diri dari Minahasa.

Mulusnya kekuasaan NICA dan KNIL Belanda melalui Manado Force, ternyata menghantui BPNI, sehingga rencana apapun yang mereka lakukan serba terselubung dan rahasia agar tidak tercium intelijen NEFIS ataupun NICA.

Suatu rencana aksi dilakukan ketika NICA mengumumkan akan mengadakan perayaan besar-besaran di Manado pada 10 Januari 1946 memperingati perjanjian Pakta Keamanan Bersama Minahasa-Belanda di masa VOC.

 

Prajurit-prajurit Kawanua yang bergabung dengan pasukan Sekutu di front pertempuran

 

Ketika itu pada 10 Januari 1679 dilakukan perjanjian Persekutuan Minahasa-Belanda yang ditanda tangani oleh sejumlah kepala walak dengan pihak Belanda menghadapi ancaman-ancaman luar, terutama Spanyol dan Portugis.

Peringatan ini biasanya dilakukan setiap tahun dan berakhir ketika Jepang melakukan invasi, tepat di Minahasa tepat pada 10 Januari 1942.

Kali ini pihak NICA ingin menyelenggarakan dengan tujuan untuk menjalin hubungan Minahasa-Belanda setelah terputus oleh pendudukan Jepang. Peringatan ini tidak disenangi pihak BPNI, dan untuk itu berencana melakukan aksi boikot.

Yang direncanakan adalah pengibaran bendera Merah Putih di lapangan Wenang, tempat upacara dengan perlindungan para pemuda.

Gerakan protes itu diharapkan akan menyebar dan membangkitkan kekuatan massa.

Untuk itu BPNI mengirim utusan-utusan ke Tondano, Tonsea dan Tomohon mengorganisir massa. Rncana ini gagal, karena Belanda mencium rencana gerakan itu.

Sehari sebelum perayaan itu, para eksponen BPNI seperti John Rahasia dan Chris Pontoh ditangkap dan dipenjara.

Sementara eksponen-eksponen lainnya mengalami nasib serupa seperti Mohammad Kanon, Gerrit Kansil, Wim Pangalila, Sukandar, Ben Wowor, Usman Pulukadang, Louis Paat, Jopy Polii, dll.

Sejak peristiwa penangkapan itu, situasi Manado menjadi tegang.

Selain karena rencana aksi boikot BPNI, juga dipengaruhi oleh kedatangan para pengungsi dari Jakarta dan Makassar yang membawa berita-berita tentang perkembangan politik di kedua kota itu.

Sebenarnya kedatangan mereka atas gagasan Kolonel Giebel untuk berbuat baik terhadap orang-orang Minahasa dengan mendatangkan para perantau yang ingin pulang karena menjadi korban aksi pembantaian pemuda-pemuda radikal ekstrimis sektarian di Jawa.

Banyak orang Minahasa di perantauan harus mengalami deraan dan pembantaian dengan tuduhan “Anjing Belanda” di Pontianak, Banjarmasin, Salatiga, Semarang, Jakarta dll.

Dalam acara pulang kampung itu, diantara pengungsi terdapat pengungsi pro-Republik.

Kapal pertama bertolak dari Jakarta, “Van Heutz,” singgah di Semarang dan Surabaya juga mengangkut pengungsi.

Terdapat pula anggota-anggota KNIL yang datang dari Australia yang menyusup di kapal.

Antara lain adalah Kopral Wim Kere yang setiba di Manado dimasukkan dalam salah satu Kompi KNIL di Teling.

Kapal kedua, “Zwartehond,” bertolak dari Makasar juga mengangkut para pengungsi.

Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi berhasil menyelundupkan beberapa kader muda untuk membawa pesan bagi para pemuda dan pemimpin-pemimpin pergerakan di Tondano.

Surat Ratulangi di bawa oleh seorang wanita yang terpercaya.

Surat Ratulangi dari Makassar, bulan Desember 1945 berbunyi:

 

“Merdeka!

Kami disini baik-baik saja. Anak-anak telah bersekolah kembali, maksudnya, bersekolah di sekolah nasional kami sendiri, karena kami lain sekali, bahwa kami akan memenangkan perjuangan nasional ini. Perjuangan ini kami lakukan secara diplomatik parlementer. Kami tidak membenci orang-orang Belanda, mereka boleh tinggal disini; mereka boleh menjadi kaya tanpa diganggu. Tetapi kekuasaan diplomasi, kekuasaan untuk memerintah, harus ada ditangan kami, karena ini adalah tanah air kami. Tanah air ini, yang diberi oleh Tuhan kepada nenek-moyang kami dan pada kami dan turunan kami. Melalui pekerjaan jasmani dan rohani kami akan membangun bangsa kami dan tanah air kami, agar bisa memberi sumbangsih bagi perdamaian dunia dan kesejahteraan dunia. Kalian harus selalu ingat itu dalam apapun yang kalian buat.

Merdeka! Saya telah diangkat menjadi Gubernur Sulawesi oleh pemerintah Republik. Saya telah menerimanya dan akan melaksanakannya perjuangan diplomatic, di dukung oleh semua penguasa Aru dan Karaeng dari Sulawesi Selatan dan Tengah dan oleh semua Maradia dari Sulawesi Barat, oleh Raja-raja dari Sulawesi Utara dan oleh para Jogugu dari Gorontalo, yang semuanya telah menyatakan kesetiaan kepada Yang Mulia Presiden Soekarno. Dengan hati yang berdarah, saya harus mengakui, bahwa rupanya saya tidak mendapat dukungan dari orang-orang Minahasa di tanah kelahiran saya sendiri. Namun tidak apa-apa. Kami, isteri saya dan saya, abak-anak saya, bukan orang Minahasa lagi, tetapi kami adalah orang Indonesia yang berjuang bagi kemuliaan dan kebebasan dari suatu bangsa Indonesia yang besar, yang akan mencapai kemenangan. Doddie berjuang sebagai seorang perwira dalam jajaran tentara nasional (Tentara Keamanan Rakyat). Saya harapkan bahwa dia masih hidup. Kalaupun tidak, maka ia telah memberi sumbangsih yang terbesar bagi tanah air. Putera dari Mayor Kawilarang (Utu dan Pelly) berpangkat Kolonel (Alex Evert Kawilarang) dalam tentara nasional di Bandung. Putera dari Niko Mogot berpangkat Kolonel dalam tentara Nasional di Jakarta dan telah banyak kali berjasa.

Bart Ratulangi dan Zus Ratulangi (puteri tertua) adalah anggota dari Parlemen Republik di Jakarta. Ribuan orang Minahasa di Jawa turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Ribuan telah menyumbangkan darah dan jiwanya bagi tanah air. Mereka berjuang tidak atas perintah Yang Mulai Soekarno atau Yang Mulia Hatta, tetapi atas kemauan sendiri. Sebagai Gubernur Sulawesi saya berkata: “Tuhan Memberkati Mereka.” Yang mulia Soekarno dan saya sepakat, bahwa perjuangan akan dilakukan secara diplomasi, melalui cara berunding. Dalam hal ini ia didukung oleh Yang Mulia Soetardjo yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat dan oleh Yang Mulia Soeroso yang menjabat sebagai Komisaris Tinggi Republik di Surakarta dan Yogyakarta. Di Medan Yang Mulia Mr Dr Teuku Hasan menjabat sebagai Gubernur. Dia juga menempuh jalan diplomasi. Disana pun para pemuda Minahasa (antara lain ketiga putera dari Bolang) berjuang di barisan terdepan dari tentara nasional. Barangkali mereka masih hidup, barangkali mereka telah gugur.

Sebagai penutup saya sampaikan yang berikut ini. Kalian mengetahui bahwa beberapa tahun sebelum meletus saya telah meramalkan akan terjadi perang dunia kedua yang telah berakhir ini. Hasilnya juga telah saya ramalkan, tidak berdasarkan hati babi, tetapi dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan politik.

Sebab itu, sekarang saya mengatakan kepada kalian, bahwa berdasarkan faktor-faktor internasional, Indonesia akan keluar dari perjuangan ini sebagai wilayah dan bangsa yang merdeka, bahkan dalam waktu yang singkat. Ingatlah apa yang telah saya katakana ini kalau dalam satu tahun dari sekarang kita akan bertemu lagi, bersama Yang Mulia Presiden Soekarno saya akan memeriksa apa yang telah kalian lakukan. Merdeka! Hormat saya kepada Ernst Pelengkahu, Dr Senduk, B Lapian, H M Gerungan. Pesan saya adalah: “pertahankan Ketertiban dan Keamanan.

Ttd

Dr. R

 

Tondano ketika itu merupakan pusat gerakan para pemuda di Minahasa yang umumnya terdiri dari para pelajar yang sebelumnya berasal dari sekolah-sekolah Jepang di seluruh pelosok Minahasa yang ditutup sejak Jepang menyerah. Jumlahnya berkisar 1000 murid.

Secara resmi sekolah yang dipimpin Engel A. Parengkuan dibuka kembali pada 6 Januari 1946 di Loji Tondano.

Acara pembukaan sekolah di mulai dengan pengibaran dwiwarna Merah Putih, di iringi lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan para murid dan guru-guru dengan penuh semangat.

Kemudian diadakan pawai keliling kota Tondano sambil memekik salam perjuangan, “Merdeka.”

Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan Tondano menjadi pusat pemuda melahirkan organisasi pemuda yang menggalang kerja-sama dengan militer melakukan aksi Peristiwa Merah Putih. Jan Toar dalam bukunya, “Peranan Minahasa dalam Perang Kemerdekaan,” mengulas bahwa inisiatif pembentukan organisasi itu adalah para anggota milisi KNIL di Teling yang sebelumnya telah dibina oleh Jepang dengan pimpinan Wangko Sumanti dalam “Benteng Pembela Tanah Air.”

Rapat-rapat pembentukan para pemuda di Tondano dimulai sekitar awal Februari, di saat tangsi Teling muncul niat untuk mengambil alih isi gudang-gudang perbekalan dan senjata LOC di tangsi itu.

Menurut Jan Toar, tugas menghubungi para siswa di Tondano diserahkan kepada dua orang berpangkat Prajurit dikalangan pemuda Tondano, yakni Freddy Lumanauw dan No Korompis.

Dengan latar belakang sebagai Kelompok Tondano hingga memungkinkan mereka mendekati siswa-siswa sekolah itu.

Selain itu siswa Alex Pakasi adalah kakak dari Mantik Pakasi yang juga bertugas sebagai militer di Teling.

Pada 5 Februari 1946 mereka sepakat untuk membentuk organisasi pemuda untuk mendukung gerakan di Teling. Organisasi pemuda itu dikenal dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia (PPI).

Penulis Harry Kawilarang

Tinggalkan Balasan