(Sebuah Otokritik Terhadap Konsep Penguatan Ekonomi Nasional Menyongsong Indonesia Emas 2045)
Meroketnya ekonomi Indonesia saat ini menjadi narasi populis di berbagai media dan ruang diskusi. Sebuah pencapaian nasional dan global yang wajib di apresiasi dan di dukung oleh setiap komponen bangsa ini. Kita semua memiliki cita-cita bersama agar bangsa ini benar-benar berdaulat secara budaya, ekonomi dan politik. Sebuah cita-cita yang bukan hanya sebatas jargon dan slogan tapi harus menjadi tujuan konsekuen yang wajib membumi di setiap jengkal bumi Nusantara. Di mana setiap nafas yang menginjak kakinya dari Miangas sampai Rotte dan dari Merauke sampai Sabang benar-benar menikmati manfaat kesejahteraan secara membumi, merata dan berkeadilan.
Menurut laporan UNCTAD yang bertajuk World Investment Report 2023, total nilai investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang di terima Indonesia pada tahun 2022 mencapai angka US$ 21,96 milyard. Angka FDI ini adalah terbesar kedua setelah Singapura di kawasan ASEAN (Annur, 2023, www.databoks.katadata.co.id). Kian besarnya modal asing yang masuk ke Indonesia memberikan dua sisi sekaligus, yaitu peluang sekaligus ancaman. Peluang investasi harusnya berkontribusi pada penguatan ekonomi nasional berbasis kerakyatan. Sebaliknya, investasi akan menjadi ancaman jika warga negara malah jadi babu di negerinya sendiri.
Pada tahun 2022 terjadi fenomena ekonomi yang agak ganjil, yaitu di tengah melonjaknya modal investasi asing malah serapan tenaga kerja lokal pada sektor modal asing cenderung menurun. Laporan kementerian BKPM mencatat realisasi investasi pada kuartal IV-2022 mencapai Rp 314,8 triliun. Dari jumlah total tersebut, penanaman modal asing(PMA) menyumbang angka Rp 175,2 triliun atau 55,6% dari total realisasi investasi. Angka tersebut tumbuh 43,3% secara tahunan (year on year). Sayangnya, lonjakan angka PMA malah berbanding terbalik dengan serapan tenaga kerja.
Dari laporan kementerian BKPM, serapan tenaga kerja dari sektor PMA hanya sebanyak 134.952 orang atau 39,70% dari total serapan kerja investasi pada kuartal IV-2022. Jumlah ini turun 5,25% dari kuartal sebelumnya tapi tumbuh tipis 0,62% dari tahun sebelumnya (year on year). Serapan tenaga kerja PMA pada kuartal IV-2022 cenderung lebih kecil di banding kuartal IV-2019 yang mencapai angka 158.910 orang. Padahal realisasi PMA pada periode tersebut jauh tertinggal di banding kuartal IV-2022 (Annur, 2023, www.databoks.katadata.co.id).
Dari sisi kasus korupsi pun masih menjadi masalah membandel untuk di tangani. Dari hasil survey Transparency International melalui situs www.ti.or.id, di laporkan bahwa skor CPI (corruption perception index) pada tahun 2022 merosot pada skor 34. Skor ini merosot 4 poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38. CPI merupakan sebuah indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik. Di mana range skor berada pada angka nol (sangat bersih korupsi) sampai pada angka 100 (sangat korupsi).
CPI Indonesia pada skor 34 jauh berada di bawah standar global CPI pada skor 43 (selisih 9 poin). Dengan angka CPI ini, Indonesia masuk kategori sebagai negara korup kelima di Asia Tenggara. Indonesia berada pada peringkat kelima setelah Myanmar dengan skor 23, Kamboja dengan skor 24, Laos dengan skor 31 dan Philipina dengan skor 31 (Annur, 2023, www.databoks.katadata.co.id). Skor CPI di hitung dari delapan indikator yang di amati oleh Transparency International. Dari delapan indikator tersebut, yang paling anjlok dari CPI Indonesia adalah dari komponen PRS (political risk service).
Komponen PRS dalam CPI Indonesia anjlok dari skor 48 menjadi skor 35 (anjlok 13 poin). PRS terkait pembayaran ekstra, konflik kepentingan antar politisi dan pelaku usaha, serta kasus korupsi dalam sistem politik. Dari hasil pantauan ICW (Indonesia Corruption Wath), ada empat modus korupsi yang dominan pada tahun 2021, yaitu penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, penggelapan dan mark up. Empat modus ini sering di temukan dalam kasus korupsi pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah (Dihni, 2023, www.databoks.katadata.co.id). Hasil pantauan ICW ini sinkron dengan hasil survey Transparency International, bahwa penyumbang terbesar anjloknya CPI Indonesia bersumber dari komponen PRS (political risk service).
Dari uraian data di atas, mari kita simak dalam sebuah kontemplasi bersama. Bahwa, di tengah meningkatnya investasi dalam negeri, seharusnya mendorong terbukanya lapangan kerja dalam negeri, dan harusnya mendorong penyerapan tenaga kerja domestik, dan bukan malah sebaliknya. Di tengah melonjaknya investasi, malah angka korupsi kian membuncit memicu skor CPI kian membengkak. Tragisnya, angka korupsi yang membengkak ini malah di kontribusi dominan dari sektor pemerintah (PRS = political risk service).
Ekonomi nasional kita terancam dengan sebuah ambiguitas, di sisi lainnya membidik proyeksi Indonesia emas 2045 dengan gegap gempita, dan pada saat yang sama malah memelihara “borok ekonomi” yang makin bernanah. Situasi ini bisa memicu tanya publik, di tengah melonjaknya investasi malah korupsi pada sektor pemerintah kian menggurita, proyeksi Indonesia emas 2045 apakah sebuah visi membumi ataukah akan menjadi fatamorgana penuh ilusi? Semoga hasil dari pilpres 2024 benar-benar bisa menjawab rasa gamang ini. Bahwa, Indonesia masih punya harapan akan masa depan yang berdaulat penuh secara budaya, ekonomi dan politik.