Relevansi Strategis Terkait Pemikiran Sam Ratulangi Tentang Indonesia Di Kawasan Pasifik

Opini3144 Dilihat

SEBUAH PENGANTAR

Sam Ratulangi bernama lengkap Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, lahir pada tangga 5 November 1890 di Tondano, dan meninggal pada tanggal 30 Juni 1949 pada usia 58 tahun.

Sosok Sam Ratulagi termasuk tokoh intelektual populer dari “Bumi Nyiur Melambai”, sekaligus adalah tokoh pahlawan Nasional yang berjasa besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, Sam Ratulangi bisa di sebut sebagai “patron intelektual” sebagai insan intelektual yang mampu memberi dampak perubahan secara local, nasional dan global. Sosok Sam Ratulangi bisa di sebut sebagai “figur multi-dimensional”, mengapa demikian? Sam Ratulangi di kenal sebagai sosok handal dalam peran sebagai jurnalis, politikus, guru, cendekiawan dan merupakan bagian dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Jejak perjuangan seorang Sam Ratulangi harusnya menjadi warisan keteladan bagi generasi kekinian, bukan hanya untuk generasi milenial di Sulawesi Utara tapi juga untuk generasi milenial Indonesia.

Sosoknya adalah tokoh juang yang lahir secara original dari “rahim kearifan local” Sulawesi Utara. Sekaligus menjadi tokoh berpengaruh secara nasional dalam mengobarkan spirit nasionalisme yang menentang kolonialisme dan imperialisme asing. Di sisi lainnya, Sam Ratulangi adalah seorang pemikir cerdas yang bisa menganalisa situasi global dan menavigasi arah pergeseran geopolitik global di masa depan.

 

Menyimak hal ini saya teringat dengan adagium populer yang berkata, “think globally, act locally”, artinya kita wajib berpikir dengan wawasan global tanpa mengabaikan inisiasi inovatif dan solutif dalam ruang local. Akumulasi dari inisasi local yang bersifat inovatif dan solutif secara konsisten dan progresif bisa berdampak dalam ruang global.

Bagi saya pribadi, sosok Sam Ratulangi bukan hanya figur multi-dimensional, ia seorang futurolog, seorang pemikir visioner yang memiliki pemikiran yang jauh melampaui generasinya dan zamannya (futuristic). Sam Ratulangi ibarat seorang “nabi intektual”, dengan akurat ia melontarkan sebuah “nubuatan intelektual” tentang dinamika geopolitik global yang kelak akan terjadi di Kawasan Pasifik.

 

Pada bulan Juni tahun 1937, Sam Ratulangi menerbitkan buku berjudul “Indonesia In De Pacific” yang di tulis dalam bahasa Belanda. Buku tersebut merupakan sebuah kajian geopolitik dari pemikiran strategis seorang Sam Ratulangi. Buku hasil karya Sam Ratulangi tersebut di terjemahkan oleh Prof. Poeradisastra, di terbitkan pada tahun 1982 dengan judul terjemahan, “Indonesia Di Pasifik : Analisa Masalah Pokok Di Asia Pasifik”.

Hal menarik untuk di sadari bahwa seorang Sam Ratulangi telah meninggal sejak hampir lebih dari tujuh dasawarsa lampau, tapi pemikiran strategisnya terkait posisi sentral Indonesia di Kawasan Pasifik masih relevan hingga saat ini. Dalam bukunya berjudul “Indonesia Di Pasifik”, Sam Ratulangi menulis dalam paragraf pembuka demikian:

“Pada Saat ini di ketahui oleh hampir setiap orang, bahwa di Pasifik telah terbentuk sebuah Kawasan politik tersendiri. Kawasan itu mengesampingkan, malah melebihi arti dunia lama Atlantik”.

Menurut Sam Ratulangi, arti Indonesia bagi Kawasan Pasifik dan ekonomi global terkait dengan tiga hal pasif.

Pertama, Indonesia Sebagai Daerah Konsumsi, Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, dan juga jumlah penduduk Indonesia yang mencapai angka 260 juta, menjadikan Indonesia sebagai “target pasar” potensial.

Kedua, Indonesia Sebagai Sumber Daya Alam, Indonesia yang terkenal kaya dengan sumber daya alam  membuat Indonesia menjadi negara sumber bahan pangan dan energi.

Ketiga, Indonesia Sebagai Daerah Investasi, Karena factor pertama dan kedua, secara otomatis membuat Indonesia menjadi sangat strategis untuk penanaman modal investasi, baik untuk investor domestic ataupun asing.

Melalui uraian tulisan ini, saya ingin menggali pemikiran futuristic seorang Sam Ratulangi terkait posisi sentral Indonesia di Kawasan Pasifik dengan di dukung dengan data factual kekinian. Dunia global mengalami goncangan besar ketika pandemic COVID 19 terjadi.

Harus kita akui Pandemi COVID 19 bukan hanya memicu “bio-disasters”, tapi juga berdampak pada terjadinya “great disasters” yang berdampak ke berbagai aspek kehidupan global.

 

Bukan hanya memicu wabah penyakit global, dengan adanya kebijakan “social distance”, konsekuensi pandemic COVID 19 turut memicu goncangan secara social, ekonomi dan politik.

Sebaran dampak COVID 19 bukan hanya pada satu negara tapi meluas ke berbagai negara dan benua. Pasca pandemi COVID 19, ekonomi global di landa resesi dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk kembali normal. Pemulihan ekonomi global belum membaik, dunia sudah di landa dengan perang Rusia dan Ukraina yang memperparah resesi ekonomi global. Kita semua tahu bahwa Amerika dan Eropa melancarkan “Proxy War” untuk melumpuhkan Rusia melalui Ukraina. Ukraina berperan sebagai “Proxy Agent”  bagi Amerika dan Eropa, dengan tujuan untuk mengeroyok dan menaklukan Rusia. Embargo ekonomi di lancarkan Amerika dan Eropa terhadap Rusia, dengan harapan akan membuat Rusia tak berkutik.

Kenyataannya berbeda, hingga hari ini Rusia masih tetap kokoh. Rusia pun akhirnya membalas dengan melakukan stop jalur eskpor gandum. Di lansir dari Penton Media,Inc, dunia mengkonsumsi sekitar 787,4 ton gandum setiap tahun. Rusia dan Ukraina adalah pemasok gandum dunia, dengan adanya perang, Rusia menghentikan jalur eskpor gandum di setiap Pelabuhan ekspor dengan alasan pertahanan diri dari penyusupan. Sontak, memicu terjadinya kelangkaan pasokan gandum secara global sekaligus memicu terjadinya inflasi.

 

Data dari World Resources Institute, sejak perang Rusia dan Ukraina, harga gandum dunia melonjak hingga 41%. Kondisi inflasi ini memukul ekonomi Eropa hingga anjlok dalam resesi.

Bukan hanya inflasi pangan, Rusia juga menyetop pasokan gas ke Eropa sehingga membuat kondisi ekonomi Eropa goncang. Data dari BP Statistic review, ¼ lebih kebutuhan gas dunia di pasok oleh Rusia. Rusia adalah produsen gas alam terbesar kedua dunia. Total pasokan gas Rusia ke Eropa mencapai angka 167,7 milyard meter kubik pada tahun 2020. Jumlah ini setara dengan  37,5% dari total impor gas alam Eropa. Perlawanan Rusia terhadap embargo ekonomi yang di lancarkan Barat dan Eropa memicu terjadinya inflasi pangan dan energi yang di sebut dengan “Stagflasi ekonomi”.

 

Stagflasi ekonomi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi terjadi sangat lambat, dan pada saat yang sama terjadinya inflasi pangan dan energi secara bersamaan.

Di sisi lainnya, banyak perusahaan multi nasional Amerika seperti Philip Morris, PepsiCo, Mohawak MK, McDonald dan Karnaval Corporation berpusat di Eropa Timur, dampak resesi ekonomi Eropa berdampak juga bagi ekonomi Amerika. Jika perang Rusia dan Ukraina terus berlanjut, maka akan mempengaruhi pada penurunan nilai saham pada perusahan Amerika. Data yang di rilis katadata pada 11 Maret 2022, inflasi di Amerika pada Februari 2022 mencapai 7,9%. Angka inflasi tersebut merupakan angka paling tinggi sejak 40 tahun terakhir.

Dan kondisi buruk ini memaksa bank sentral Amerika (FED) untuk menaikan suku bunga. Resesi ekonomi yang di alami Amerika memicu kepanikan pasar, akibatnya bank-bank besar Amerika kolaps.

Bukan hanya krisis pangan dan energi, perang Rusia dan Ukraina memicu terjadinya gangguan pada suplai dan jalur dagang akan Nikel. Data dari Boston Consulting Group (BCG), Rusia memiliki kontribusi sebanyak 95% untuk pasokan Nikel ke Eropa.

Perang membuat Eropa kehilangan pasokan Nikel untuk industri baja. Eropa berharap Indonesia bisa menjadi sumber alternatif untuk pasokan Nikel mereka, sayang seribu sayang, kebijakan hilirisasi nikel Indonesia melarang di lakukannya ekspor nikel mentah ke Eropa. Kebijakan Indonesia mengharuskan untuk bangun smelter di Indonesia.

 

Eropa makin terpuruk karena industry baja mereka kolaps,  hal ini memicu upaya Uni Eropa untuk menggugat Indonesia di WTO (Word Trade Organization).

INDONESIA SEBAGAI POROS STRATEGIS DI KAWASAN PASIFIK

Saat ini, ekonomi Barat dan Eropa bagaikan orang yang babak belur dan terhuyung-huyung karena hantaman resesi ekonomi bertubi-tubi. Mau tidak mau, Barat dan Eropa harus mencari sumber alternatif untuk memasok kebutuhan pangan dan energi mereka. Dan Kawasan strategis yang mereka lirik adalah Kawasan Pasifik, lebih mengecil lagi akan terfokus pada negara bercorak kepulauan, berbasis maritim dan kaya dengan sumber daya alam, negara tersebut adalah INDONESIA! Apa yang di ramalkan seorang Sam Ratulangi 86 tahun lalu, hari ini benar-benar terjadi di depan mata kita.

Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada Forum Ekonomi Timur tanggal 6 September 2022 di Vladivostok menegaskan bahwa masa depan dunia ada di Kawasan Asia Pasifik. Dalam forum tersebut turut hadir perwakilan Myanmar, Armenia, Mongolia, China, India, Malaysia dan Vietnam. Ulah Barat dan Eropa melalui perang Rusia dan Ukraina memicu terjalinnya hubungan baik antara Rusia dan China. Peta geopolitik global sementara bergeser dari “uni polar” menjadi “multi polar”.

Sentral paling strategis dari Kawasan Pasifik akan mengerucut ke Indonesia, mengapa demikian? Indonesia bukan hanya di kenal sebagai negara yang melimpah dengan sumber daya pangan, energi dan mineral.

Secara geoposisi, Indonesia berada pada posisi strategis yang di apit oleh benua Asia dan Australia, dan di apit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Secara langsung, geposisi ini menempatkan Indonesia pada jalur dagang maritim yang strategis secara global dan regional Asia Pasifik. Indonesia sebagai negara maritim dengan wilayah perairan memiliki tiga alur laut yang sebagian di antaranya adalah kategori perairan yang dalam.

Berdasarkan wikipedia, Alur laut kepulauan Indonesia atau disingkat “ALKI” adalah alur laut yang di tetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional.

ALKI merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat di manfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing di atas wilayah laut tersebut untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal.

Wilayah ALKI di bagi pada ALKI I yang melintasi Laut China Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda dan Samudara Hindia. ALKI II mencakup wilayah yang melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok. ALKI III mencakup wilayah yang melintasi Samudera Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu dan Samudera Hindia.

Dengan memiliki tiga wilayah ALKI ini membuat Indonesia berpotensi sebagai poros maritim strategis yang menjadi jalur lalu lintas pelayaran dan penerbangan Internasional.

Secara oseano-geografis, dengan pembagian wilayah ALKI, Indonesia memiliki empat dari jalur pelayaran internasional, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar – Lombok dan Selat Ombai – Wetar. Sitohang dalam jurnal ilmiahnya tahun 2008 berjudul “Perbatasan Wilayah Laut Indonesia Di Laut Cina Selatan : Kepentingan Indonesia Di Perairan Natuna”, menyatakan bahwa tiga jalur pelayaran internasional yang berada di luar wilayah Indonesia adalah Terusan Suez di Mesir, Terusan Panama dan Selat Gibraltar antara Spanyol dan Maroko.

Dengan adanya ALKI, laut Indonesia menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia.

Beranjak dari data di atas, dapat di simpulkan bahwa Indonesia memegang “nadi utama”  dari jalur dagang di Kawasan Pasifik. Pada tahun 2011, Tema ini sudah pernah di kaji melalui disertasi oleh Sinyo Hari Sarundajang (mantan Gubernur Sulut) tentang peran geostrategi Sulut sebagai gerbang Pasifik.

Dalam disertasinya, Sarundajang mengatakan bahwa 50% container dunia dan 50% pertumbuhan ekonomi global ada di Kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, dalam disertasinya, Sarundajang menyatakan bahwa Sulawesi Utara harus mengalami pergeseran lanskap pembangunan. Dari pembangunan yang berbasis daratan menuju pembangunan yang berbasis kepulauan dan pesisir. Penguatan Kawasan kepulauan dan pesisir tak bisa lepas dari urgensi penguatan Kawasan terintegrasi, di mana aspek “regional security” (keamanan Kawasan) dan “regional prosperity” (kesejahteraan Kawasan) saling terkait secara fundamental.

GOLDEN OPPURTUNITY OR DANGEROUS WARNING?

Menyimak uraian fakta dan proyeksi di atas, kita di perhadapkan dengan dua hal sekaligus, yaitu “kesempatan emas” sekaligus “ancaman berbahaya”. Mengapa demikian? Ketika kepentingan ekonomi global terpusat pada satu Kawasan, itu akan berdampak besar dalam perubahan kepentingan geopolitik dunia. Sejarah masa lampau memberi kita pelajaran berharga akan fakta ini. Prinsip kedaulatan negara dalam kebijakan Indonesia di bidang ideologi, politik, social budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan mutlak di tegakan. Kita harus menjadi negara toleran tapi tegas dalam prinsip kedaulatan negara.

Hobsbawm (1983, 1987) lewat triloginya berjudul The Age of Revolution, The Age Of Capital, dan The Age Of Empire, menggambarkan bahwa pergeseran konflik global telah terjadi sejak revolusi industry di Inggris. Dengan penemuan mesin uap, membuat arus imperialisme Barat dan Eropa dengan mudah melakukan invasi ke berbagai belahan dunia tanpa harus terhambat oleh cuaca. Awal mula bangsa Eropa menjajah Indonesia untuk memasok permintaan pasar dunia akan rempah-rempah dari Indonesia.

 

Bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol dan Belanda melakukan invasi ke Indonesia dengan misi imperialisme dan kolonialisme yang menyebar ke wilayah Nusantara. Indonesia menjadi negara jajahan dan memicu konflik dan perang di setiap wilayah Nusantara.

Bahkan, dalam era jajahan Belanda di bentuk Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Melalui VOC, Belanda menjajah sekaligus menguras sumber daya alam Indonesia dalam waktu yang sangat lama.

Pasca perang dunia II, orientasi kepentingan ekonomi global berubah dan berdampak pada pergeseran geopolitik global yang baru. Negara Barat dan Eropa mulai tertarik dengan konstalasi nasional di Timur Tengah. Hal ini di sebabkan karena orientasi ekonomi global melirik pada upaya ekspansionis untuk menguasai ladang-ladang minyak di Timur Tengah. Jones (2012) dalam artikel penelitiannya berjudul America, Oil, And War In The Middle East, mengurai bahwa karena adanya aneksasi asing dalam konstalasi nasional di Timur Tengah berperan meletupnya konflik dan perang. Melalui tangan asing dengan nafsu imperialisme, ladang minyak Timur Tengah di kuasai. Dengan dalih penertiban keamanan dunia, invasi militer mendapatkan legitimasi melakukan operasi militer. Dan pada saat bersamaan, kepentingan kapitalis Eropa dan Barat ikut memboncengi untuk menguasai ladang minyak di Timur Tengah.

Publik awam mengira bahwa konflik di Timur Tengah di dominasi oleh konflik aliran muslim Sunni dan Syiah. Padahal sebenarnya, konflik tersebut hanyalah alibi konlfik yang sengaja di bangun oleh negara Barat dan Eropa secara “upper ground”.

Dalam konteks “under ground”, konflik tersebut adalah akses yang lebar bagi upaya ekspansionis negara Barat dan Eropa menguasai ladang minyak Timur Tengah. Masifnya upaya ekspansionis menguasai ladang minyak di Timur Tengah di picu karena meroketnya industri kendaraan berbahan bakar fosil sejak era tahun 1970-an.

 

Industri kendaraan bermotor berkembang pesat dan sangat mejemuk dan menjadi kebutuhan dunia global. Bersamaan dengan itu pula, orientasi kolonisasi Barat dan Eropa bergeser ke Kawasan jazirah Arab. Hal itu di dorong karena bahan bakar minyak menjadi komoditi yang paling di cari di planet bumi.

Bagaimana dengan posisi sentral Indonesia saat ini? Dunia global hari ini lagi di desak untuk membangun ekosistem ekonomi global yang bersifat “green economy”. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), yang di maksud dengan Green economy (ekonomi hijau) adalah kegiatan ekonomi rendah karbon, menghemat sumber daya, dan inklusif secara social. Menurut Wikipedia, ekonomi rendah karbon merupakan ekonomi yang tidak banyak menggunakan sumber energi yang mengeluarkan karbon dioksida, sehingga ekonomi tersebut tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca ke biosfer.

Gas rumah kaca yang di hasilkan oleh kegiatan manusia merupakan penyebab utama pemanasan global atau perubahan iklim sejak pertengahan abad 20. Apabila gas rumah kaca terus menerus di keluarkan, suhu dunia dapat meningkat, dan ekosistem serta kehidupan manusia bisa terancam.

Green economy (ekonomi hijau) akan menggeser penggunaan bahan bakar fosil ke penggunaan bahan bakar rendah karbon. Dan untuk melakukannya, Indonesia memiliki “hot button” yang akan sangat mempengaruhi green economy secara global, yaitu potensi Nikel.

Mengapa nikel? Karena nikel adalah bahan baku utama untuk industri mobil listrik. Kondisi ini akan mengubah tatanan dunia global secara cepat dan sangat signifikan. Seiring dengan kian masifnya produksi mobil listrik, ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil akan berkurang dan bergeser ke sumber daya Nikel.

 

Jika kondisi ini terjadi, maka akan sangat mempengaruhi sentralitas kepentingan ekonomi global, dan juga secara langsung berdampak pada perubahan peta geopolitik global. Timur Tengah secara lambat laun tidak lagi menjadi “spektrum Kawasan” yang di perebutkan oleh kepentingan imperialisme modern.

Secara otomatis, negara terbesar penghasil Nikel akan mencari incaran. Negara terbesar di dunia dan Kawasan Pasifik sebagai produsen Nikel adalah Indonesia. Peluang ini akan memberikan nilai tambah secara signifikan bagi ekonomi Indonesia. Dan pada saat bersamaan,  akan menjadi ancaman besar bagi Indonesia.

Jejak sejarah terlalu jelas membuktikan, bahwa di sebuah negara yang kaya sumber daya yang menjadi kebutuhan global, maka di sana pula tercipta potensi aneksasi asing untuk memicu konflik dan perang.

Indonesia di perhadapkan dengan “de javu” saat imperialisme dan kolonialisme asing menggerogoti Indonesia saat masa kejayaan rempah-rempah.

Kehancuran bangsa-bangsa yang kaya sumber daya alam seperti Irak dan Venezuela menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.

Polarisasi, balkanisasi dan segregasi internal negara yang gagal di tuntaskan menjadi “bom waktu” yang memporak-porandakan kedua negara tersebut.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita waspada sebagai negara berdaulat dan bermartabat. Di masa kejayaan rempah-rempah, solidaritas sesama anak bangsa hancur karena politik pecah belah yang di lakukan asing. Politik pecah belah di sebut dengan “divide it impera” yang membuat sesama saudara sebangsa saling khianat. Secara pasti, dengan uraian kondisi strategis sebelumnya, Indonesia akan menjadi “battle ground” dari faksi ekonomi global yang saling bertikai. Poros China dan sekutunya serta poros Amerika dan sekutunya akan terlibat dalam proxy war di Indonesia. Proxy war di sebut juga “assimetric war” berbeda dengan perang frontal melalui agresi militer (simetric war). Secara sederhana, proxy war merupakan kategori perang yang menggunakan pihak ketiga sebagai subjek pengganti dalam arena konfrontasi secara langsung.

 

Modus perang ini terlihat jelas bagaimana Amerika dan Eropa menggunakan Ukraina sebagai pihak ketiga (proxy agent) untuk berkonfrontasi dengan Rusia secara langsung.

Indikasi yang nyata mulai terlihat di Indonesia, eksploitasi dan provokasi politik identitas yang tajam dengan aroma kental agama dan etnis marak terjadi. Solidaritas kebangsaan di belah secara tragis agar faksi-faksi konflik internal Negara kian massif. Tujuannya agar akses aneksasi asing terbuka lebar, menemukan “proxy agent” dalam negeri yang bisa di “drive” oleh tangan asing dari luar. Label identitas “cebong” dan “kadrun” adalah residu paling konkrit adanya proxy war yang sengaja di bangun.

 

Sentiment agama dan etnis sengaja di provokasi sehingga makin runcing, tujuan besarnya adalah ideologi Negara di tinggalkan, solidaritas kebangsaan ambruk, penguasa menjadi korup dan masyarakat makin pesimis dengan pemerintah. Semua benih konflik tersebut ibarat “bom waktu” yang setiap saat bisa memicu perang saudara.

Singkat kata, para pemangku kekuasaan dan masyarakat akar rumput di bangsa ini wajib awas terhadap modus dari proxy war ini.

Proxy war sebenarnya adalah metamorphose dari hantu masa lalu bernama “divide it impera” yang pernah mengadu domba Indonesia. Pengalaman pahit ratusan tahun terjajah oleh asing harusnya memberi kita efek jera agar tidak terjebak dalam adu domba sesama anak bangsa. Setiap jengkal dari Merauke sampai Sabang dan dari Miangas sampai Rotte harus di lindungi oleh benteng kedaulatan negara yang kokoh.

Pantang menjadi bangsa penjilat di bawah ketiak asing dan membuat kita terkutuk sebagai bangsa bermental budak. Kita tidak boleh terjebak dengan arus faksi global, Indonesia memiliki sitem politik luar negeri yang bersifat bebas aktif. Kita tidak boleh tendensi ke Barat dan Eropa, kita juga jangan condong ke China.

 

Bangun aliansi global independent tapi mutualistic. Artinya, kita bukan menjadi bangsa babu di bawah ketiak asing, kita berdiri setara sebagai bangsa berdaulat.

Ruang kemitraan independent-mutualistik dengan Amerika dan China di gunakan sepenuhnya agar Indonesia tegak berdiri sebagai bangsa berdaulat penuh di panggung dunia.

Presiden Indonesia yang terpilih dari pilpres 2024 harus di pastikan bukan boneka asing yang hanya akan memuluskan scenario imperialisme asing.

Harus seorang sosok yang cakap menjadi nakhoda kapal besar bernama Indonesia, cakap menerjang ombak resesi global dan cakap membelah samudera konflik global. Harus seorang sosok yang bukan hanya cakap sebagai “orator” tapi lumpuh sebagai “eksekutor” kebijakan nasional berbasis kedaulatan negara.

 

Harus seorang sosok yang sejuk dan mampu mengayomi solidaritas dan pluralitas dari Merauke sampai Sabang, dan dari Miangasa sampai Rotte.

Harus seorang sosok yang berani pasang dada melindungi setiap hak kesejahteraan rakyat. Tanpa gentar melawan dikte kaum kapitalis domestic dan asing yang mau membuat Negara besar ini seperti “sarang rampok”. Sosok ideal yang sanggup memastikan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI tetap lestari di setiap jengkal bumi Nusantara.

Tinggalkan Balasan