Oleh:
Dr. Steven Yohanes Pailah
Kehadiran Cost Guard Cina di Laut Tiongkok Selatan bertujuan menjaga para nelayan yang mengambil ikan di wilayah perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia tepatnya perairan Natuna Utara. Dalam 5 tahun terkahir, negara Tirai Bambu ini sangat agresif hadir di wilayah perairan Natuna.
Alasannya adalah garis putus-putus (nine dash line) klaim kepemilikan Laut Tiongkok Selatan yang tersebar melewati negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam menolak klaim sepihak Tiongkok di jalur Laut Cina Selatan. Selama protes berlangsung, aktifitas Cina justru meningkat tajam. Akhir tahun 2021 antara bulan Agustus-September 2021, kapal riset Hai Yang Di zhi 10 berlayar di perairan Laut Natuna Utara dikawal ketat oleh Cost Guard Cina dengan nomor lambung CCG 4303.
Laporan Pentagon untuk Kongres Amerika Serikat menyebutkan kekuatan Tentara Pembebasan Tiongkok, telah menempati militer terbesar ketiga di dunia. Dalam laporan bertajuk Military and Security Developments Involving People’s Republic of China 2021 tersebut dinyatakan Angkatan Laut Cina memiliki 355 kapal dan kapal selam, termasuk 145 kapal perang permukaan.
Diperkirakan berkembang pesat 10 tahun mendatang. Kemampuan melakukan serangan jarak jauh, ditambah fasilitas nuklir dan perluasan pangkalan militer di negara lain, menjadikan Cina sebagai sosok negara adidaya di dunia.
Jika demikan besar kemampuan sebagai adidaya, bagaimana meminta Cina untuk bersikap asertif terhadap negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia? Mari kita lihat apa keinginan Cina dengan agresifitas yang ditunjukan 10 tahun terakhir ini. Pertama, pertemuan negara-negara tepi Sungai Mekong (Greater Subregion Mekong-GSM) di Viantine-Laos 30/3/2008, menghasilkan kerjasama pembangunan ekonomi, sosial, infrastruktur, jalan, irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Sungai Mekong (4350km) menjadi tumpuan kehidupan sejak berabad-abad lalu yang melintasi Cina, Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam hingga Kamboja. Pembangunan jalan darat sepanjang 1800 km dari Kunming-Cina menuju Bangkok-Thailad sudah selesai dalam kurun waktu singkat di tahun 2018.
Saat ini tahun 2021, sudah diresmikan Jalur Kereta Cepat Tiongkok-Laos-Thailand-Malaysia-Singapura yang jaraknya sekitar 3600 kilometer.
Trayek Kereta Cepat ini, merupakan ambisi Pan-Asia Cina yang menghubungkan seluruh daratan Asia Tenggara minus Indonesia. Hal ini berlaku juga dalam konsep pembangunan infrastruktur Sabuk dan Jalan yang dipromosikan Cina melintasi Benua Eropa – Afrika – Asia (Belt and Road Initiative-Cina). Okupasi Cina menghubungkan diri dengan Asia Tenggara, merupakan lanjutan dari proyek kolonialisme Perancis dan Inggris pada era lampau, dan saat ini Cina menggunakannya untuk mengembangkan strategi perluasan perdagangan, peningkatan infrastruktur dan investasi. Negara-negara GSM menerima dengan tangan terbuka, sebab melintasnya Proyek Kereta Api Cepat, menyerap dana yang di cukongi Cina sebesar 70 persen dan tentunya akan memberikan dampak bagi peningkatan perekonomian di negara-negara tersebut.
Kedua, arah Cina menguasai dunia berdasarkan konsepsi Tian-xia. Tianxia adalah pemikiran “all under heaven” (Korwa, 2019). Hal ini dimaknai dengan Tian (天) berarti surga/ langit dan xia berarti dibawah atau tempat rendah. Dengan merujuk konsep Tian-xia, berarti segala sesuatu berada di bawah langit. Konsepsi kuno ini, tidak membedakan golongan, ras dan etnis manusia, akan tetapi menarik lawan menjadi kawan, menyatukan perbedaan dalam proses transformasi, serta tidak membedakan manusia berdasarkan bangsa-negara melainkan menyatukannya dalam orde Tianxia.
Intinya, semua orang di bawah langit adalah sama. Jika merunut perkembangan Cina 1980 hingga 2000, kehadirannya oleh banyak pengamat hubungan internasional dilukiskan sebagai the rising star yang bertumbuh dengan damai. Dengan demikian, sikap asertif Cina dapat dimaknai sebagai upaya memahami bangsa-bangsa lain yang terpuruk dan mengajaknya untuk membangun dunia baru dalam wujud satu interaksi global (worldness) daripada nationality yang mementingkan internationality.
Intensi Cina ini dapat dipahami akan mengubah tatanan internasional dimana kebutuhan persatuan negara bangsa tidak lagi menjadikan kepentingan nasional sebagai alur hubungan internasional, akan tetapi jauh daripada itu, konsep Tianxia menjadikan kebutuhan global sebagai sarana membangun kemanusiaan dan peradaban dunia.
Ketiga, provokasi dan pengiriman Kapal Induk yang dimotori Amerika Serikat dan negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara serta sekutu (alliance) ke Laut Tiongkok Selatan adalah respon atas pembangunan pulau buatan, pangkalan militer dan aktifitas pengeboran minyak lepas pantai Cina. Sebagai contoh, Filipina mengajukan penolakan terhadap aktifitas Cina yang mendirikan bangunan di Karang Dangkal Scarborough, sekitar 220 km dari Filipina.
Filipina membawa kasus tersebut ke Arbitrase Internasional tahun 2013 dan keputusan Permanent Court of Arbitration 2016 menyatakan klaim historis Cina bertentangan dengan Hukum Laut Internasional 1982. Akan tetapi, Cina menolak hasil tersebut dan bahkan semakin aktif membangun pangkalan dan fasilitas militer lainnya dan mendorong nelayan-nelayannya mengambil ikan di hampir seluruh wilayah klaim Laut Tiongkok Selatan.
Perubahan sikap Cina dari asertif ke agresif menandakan ada tekanan yang luar biasa untuk keluar dari komunikasi internasional yang buntu. Negasi yang dibangun pihak luar terhadap keinginan Cina “bertumbuh dengan damai” dalam konsep Tianxia, menimbulkan ironi baru dimana dunia terancam Perang Dunia III. Pengerahan militer besar-besaran dan latihan perang di Laut Tiongkok Selatan merupakan parade militer dan upaya balance of power yang dikhawatirkan banyak pihak. Laut Tiongkok Selatan menjadi Segitiga Maut Asia sebagaimana diramalkan Kent Calder. Upaya penguasaan Pan-Asia Cina berubah menjadi ketegangan baru di wilayah Asia Pasifik.
Menanggapi tiga hal di atas, bagaimana sikap pemerintah dan bangsa Indonesia? Pertama, sejarah telah membuktikan bahwa muhibah Ceng Ho telah memberikan pengaruh besar dalam hubungan Tiongkok dan Nusantara di masa lampau. Hubungan ini, memiliki keterkaitan baik secara darah/keturunan, ajaran, nilai baru maupun perkembangan arsitektur dan alam lingkungan yang harmonis. Kedua, hubungan kedua pemerintah Indonesia-Cina berada pada taraf postif dan saling memajukan. Banyak investasi dan perdagangan yang aktif menyebabkan masing-masing pihak mengambil keuntungan dari proses merkantilisme tersebut. Ketiga, upaya Indonesia sejak 20 tahun terakhir dalam isu Laut Tiongkok Selatan telah mampu menjadi jembatan pemikiran dengan mengundang para expertis dari Cina dan negara-negara pihak di Asia Tenggara untuk menemukan formula atau Code of Conduct di Laut Tiongkok Selatan.
Modal sejarah dan hubungan harmonis serta intensi penyelesaian konflik secara damai Indonesia dan Cina diharapkan mampu menjadi jalan tengah dan jembatan emas atas konflik dan pengerahan kekuatan militer di Laut Tiongkok Selatan.
Urgensi diplomasi dan upaya perdamaian harus dimulai sejak dini, tanpa meninggalkan entitas nasional demi terwujudnya tatanan dunia baru yang penuh harapan dan harmonis.
(Penulis adalah Anggota Ikatan Alumni Universitas Indonesia – wilayah Sulawesi Utara)