Adolf Gustaaf Lembong adalah sosok yang layak dikenang sebagai pahlawan nasional Indonesia, meskipun selama ini lebih dikenal sebagai korban dari keganasan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Westerling.
Namun, perjuangannya sebagai gerilyawan yang berani melawan pasukan Jepang di Filipina selama Perang Dunia II sering terlupakan.
Lembong adalah figur yang sangat mirip dengan Che Guevara dalam hal pergerakan gerilya, meskipun namanya tidak sepopuler tokoh revolusioner asal Kuba tersebut.
Lembong lahir di Ongkaw Minahasa Selatan, Sulawesi Utara pada 19 Oktober 1910, dan sebelumnya berkarir sebagai operator radio di tentara kolonial Belanda, KNIL, dengan nomor registrasi 41642.
Pada masa perang Pasifik, Lembong dan rekan-rekannya yang juga bagian dari KNIL ditawan oleh Jepang dan dipaksa menjadi heiho (pembantu tentara Jepang).
Mereka dibawa ke daerah pertempuran Pasifik, termasuk ke Rabaul dan Luzon, Filipina.
Di Filipina, Lembong berhasil melarikan diri bersama sesama tawanan dan bergabung dengan gerilyawan Filipina dan tentara Amerika.
Selama masa pelarian dan pergerilyaan, Lembong menyamar sebagai penduduk lokal, bahkan kadang-kadang berpura-pura menjadi kondektur kereta api atau penjaga kampung.
Kemahirannya berbahasa Inggris sangat membantu dalam menjalin hubungan dengan pasukan Amerika dan Filipina.
Dalam salah satu insiden, Lembong terlibat dalam adu tembak dengan tentara Jepang dan berhasil menewaskan beberapa prajurit musuh.
Setelahnya, Lembong mendapatkan kepercayaan dari komandan gerilya Amerika, Kapten Robert Lapham.
Lapham memberi pangkat Letnan Dua dan menugaskan Lembong sebagai instruktur sekaligus perwira intelijen.
Dalam pertempuran lebih lanjut, Lembong meraih promosi menjadi komandan Squadran 270, yang beranggotakan sebagian besar orang Minahasa, serta beberapa orang Filipina.
Lembong dan pasukannya melakukan serangkaian aksi pemberontakan, termasuk menyergap truk berisi serdadu Jepang yang menewaskan 27 tentara Jepang tanpa kehilangan satu pun anggota pasukannya.
Pada Januari 1945, Lembong dipromosikan menjadi Letnan Satu dan bergabung dengan Batalyon Pertama Infanteri APO 6.
Di bawah komando Letnan Kolonel Francis Corbin, batalyon ini dikenal karena keberaniannya menghadapi tentara Jepang. Selama masa gerilya di Filipina, Lembong juga bertemu dengan jodohnya, seorang gerilyawan Filipina bernama Asuncion “Cion” Angel, yang kemudian menikah dengannya pada 26 Oktober 1944.
Cion setia menemani perjuangannya, bahkan saat kembali ke Indonesia.
Setelah Jepang menyerah, Lembong mengusulkan untuk kembali ke Minahasa untuk mengorganisir kekuatan gerilya melawan tentara Jepang di Sulawesi Utara, namun rencananya tidak terwujud.
Pada tahun 1947, Lembong kembali bergabung dengan militer Indonesia, tetapi setelah Agresi Militer Belanda pertama, dia memilih untuk berjuang bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) melawan pasukan Belanda yang kembali menduduki Indonesia.
Pada tahun 1947, Lembong menjabat sebagai Letnan Kolonel dan memimpin brigade yang berisi para veteran gerilyawan.
Ia berjuang dengan penuh semangat meskipun TNI kekurangan senjata, dan menggunakan taktik gerilya untuk melawan Belanda. Pada 21 Juli 1947, Lembong akhirnya beralih ke pihak Republik dan terlibat dalam operasi militer untuk mempertahankan Indonesia.
Lembong juga memiliki kisah pribadi yang mengharukan.
Cion, istrinya, setia mendampingi perjuangan Lembong, bahkan saat kondisi semakin sulit.
Namun, pada tahun 1948, Lembong sempat mengalami ketegangan internal dalam TNI karena perbedaan pendapat dengan Kahar Muzakkar, seorang kolega militer, yang menyebabkan Lembong ditangkap sementara waktu.
Pada 23 Januari 1950, dalam sebuah peristiwa tragis, Lembong terbunuh oleh pasukan KNIL yang mengamuk di Bandung. Lembong dan rekannya, Kapten Leo Kailalo, tewas dalam serangan brutal ini.
Markas Divisi Siliwangi, tempat Lembong terakhir kali bertugas, kini menjadi Museum Mandala Wangsit untuk mengenang jasa para pejuang, termasuk Lembong.
Pemerintah Indonesia akhirnya mengenang Lembong dengan menamai sebuah jalan di Bandung, yaitu Jalan Lembong, sebagai penghormatan atas pengorbanan dan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia.
Sebagai seorang pejuang yang penuh dedikasi, kisah Lembong tetap menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, meskipun namanya sering kali terlupakan.