Istilah “kawanua” menjadi cukup populer di berbagai paguyuban berbasis entitas Sulawesi Utara, bukan hanya populer secara local dan nasional tapi juga secara internasional. Dalam persepsi umum, kawanua kerap di identikan dengan warga Sulut dengan segala ragam etnis dan religius yang telah hidup sekian lama dengan harmonis. Secara territorial etnis, Sulawesi Utara di dominasi oleh etnis Minahasa, etnis Nusa Utara, etnis Bolmong dan etnis pendatang lainnya seperti Gorontalo, Jawa, Bugis, Ambon, Ternate, Papua dan etnis lainnya. Tidak heran, Sulawesi Utara identik dengan “ikon toleransi” yang sejuk di Indonesia. Sulawesi Utara menjadi sebuah “miniatur solidaritas” sekaligus menjadi “rumah pluralitas” yang di ikat oleh semangat “bhineka tunggal ika”. Bukan hanya etnis yang beragam, tapi juga kerukunan umat beragama benar-benar terpelihara lestari di provinsi yang populer di sebut “bumi nyiur melambai”.
Saya tergelitik menggores tulisan ini, di latar belakangi melihat basis kawanua yang menyebar luas ke berbagai daerah, negara dan benua. Bukan hanya di dominasi oleh generasi tua, populasi anak muda juga menjadi kelompok potensial dalam basis kawanua local, domestic dan global. Hal ini mencelikan mata saya, bahwa potensi muda kawanua bukan sesuatu yang bisa di remehkan atau di anggap sebelah mata. Soekarno pernah berkata, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Soekarno sangat menyadari potensi kaum muda bisa menggerakan turbin perubahan bagi sebuah bangsa, bahkan bisa mengguncangkan dunia.
Basis pemuda kawanua tidak boleh hanya sekedar jadi alat pelengkap dalam sebuah paguyuban kawanua. Mereka tidak bisa hanya sebatas “pajangan organisasi” agar sebuah paguyuban kawanua terlihat utuh sebagai organisasi. Mereka tidak bisa hanya sekedar menjadi “tunggangan politis” yang ingin mendulang suara dalam kantong elektoral melalui basis milenial. Mereka tidak bisa di buat nyaman dalam “ruang independensi” tapi kehilangan kepekaan akan kondisi krusial di sekitar mereka. Mereka tidak bisa di buat nyaman dengan sekedar menjadi “komentator perubahan” yang riuh di dunia maya, tapi sebenarnya mereka lumpuh untuk menjadi “pelopor perubahan” dalam dunia nyata.
Momentum kebangkitan pemuda pertama kali tercetus 95 tahun yang lalu, saat momentum “Sumpah Pemuda” berkumandang pada tanggal 28 Oktober 1928. 17 tahun setelah momentum “Sumpah Pemuda”, pekik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945. Perhatikan ini, Momentum Proklamasi Indonesia di awali dulu dengan momentum “Sumpah Pemuda”. Sumpah Pemuda adalah tonggak bersejarah di mana semangat pluralitas kebangsaan kokoh tertancap. Sumpah Pemuda mengikat semua pluralitas etnis dan agama menjadi satu tumpah darah, satu bangsa dan satu Bahasa.
Semangat solidaritas dan progresifitas ini seharusnya “membumi” di kalangan muda Kawanua sebagai bagian dari “tunas muda” di Bumi Nusantara. Dalam situs Wikipedia, istilah “kawanua” sering di artikan sebagai penduduk negeri atau orang-orang yang Bersatu atau “Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata “kawanua” telah di yakini berasal kata “wanua”, di mana kata “wanua” berasal dari bahasa melayu tua (proto melayu) yang mengandung makna wilayah pemukiman. Dalam kultur Minahasa, makna etimologis dan makna sosio-kultur dari “kawanua” memiliki makna filosofis yang dalam. Tapi dewasa ini, terminologi “kawanua” memiliki makna solidaritas yang memayungi ragam agama dan etnis bagi masyarakat Sulawesi Utara diaspora (masyarakat Sulawesi Utara perantauan di luar daerah dan luar negeri).
Hari ini, harus kita sadari, entitas kawanua local, nasional dan global memiliki potensi yang berwujud “Gerakan akar rumput” dan “Gerakan intelektual”. Di mana basis kolektif seharusnya punya peran memberi kontribusi perubahan bagi Sulut, Indonesia bahkan dunia. Dan secara otomatis, basis pemuda kawanua pun akan memiliki peran strategis dalam mewarnai ruang local, nasional dan global melalui kontribusi inovasi yang berdampak pada perubahan holistic (spiritual, intelektual, mental dan social). Dan untuk menjawab peran tersebut, basis pemuda kawanua mutlak mengalami sentuhan penguatan secara individual maupun kolektif. Melalui goresan opini ini, saya mencoba menyajikan beberapa aspek strategis yang wajib mengalami penguatan bagi basis pemuda kawanua, yaitu aspek religius, aspek nasionalis, aspek kearifan local, aspek literasi dan aspek keunggulan kontemporer.
ASPEK RELIGIUS, Penguatan aspek ini penting sebagai bentuk hak asasi yang sifatnya paling personal. Hidup beragama yang melibatkan relasi vertical (hubungan dengan Tuhan) tidak seharusnya membuat kita menjadi ekslusif, dan mengabaikan relasi horizontal yang sifatnya social (bersentuhan dengan sesama dan lingkungan sekitar). Penguatan aspek religius tidak boleh mendorong kita terjebak dalam fanatisme religius yang penuh sentiment, dan akhirnya menciptakan jarak dengan dunia luar yang bersifat heterogen. Aspek religius menjadi “sumber hidayah” untuk seseorang berolah pikir, rasa dan karsa (kehendak) dalam ruang social yang sifatnya heterogen. Penguatan aspek religius tak membuat kita anti dengan penganut agama yang berbeda. Dampak dari “hidayah spiritual” membuat kita menjadi sosok penuh teladan dan kesejukan dalam ruang heterogen.
ASPEK NASIONALIS, penguatan aspek kebangsaan (nasionalisme) wajib di bangun agar mencetak individu yang memiliki “nation dignity” (martabat kebangsaan). Bukan hanya sekedar menjadi pemuda religius-intelek tapi apatis terhadap permasalahan kebangsaan. Penguatan aspek kebangsaan harus membangun “kepekaan diri” dalam menyikapi berbagai masalah kebangsaan yang kompleks. Di butuhkan penggemblengan nalar kritis menyikapi berbagai masalah krusial kebangsaan. Konsep bernalar kritis di lengkapi dengan kecakapan meng-organisir sumber daya secara mandiri dalam membangun basis gerakan kebangsaan. Di dukung dengan kecakapan dalam menciptakan jejaring kebangsaan berbasis pemuda, niscaya setiap pemuda kawanua bisa menjelma menjadi “dinamo penggerak” untuk memberi dampak perubahan bagi bangsa. Karena, basis pemuda kawanua bukan hanya berperan sebatas “komentator” di media social, tapi secara progresif berperan sebagai “pelopor” perubahan dalam ruang nyata.
ASPEK KEARIFAN LOKAL, Sulawesi Utara memiliki kekayaan kearifan local yang sangat majemuk. Penguatan aspek ini sangat vital dalam rangka memberikan navigasi moralitas (keadaban) bagi pemuda kawanua. Efek abrasi destruktif dari era modernisasi dan globalisasi sangat merusak nilai etika kearifan local, etika moral dan etika social. Oleh karena itu, kita perlu “membumikan” nilai-nilai kearifan local yang luhur dan penuh adab. Ada satu motto kehidupan yang di populerkan tokoh besar dari Sulawesi Utara bernama Sam Ratulangi, moto tersebut adalah “Sitou Timou Tumou Tou”. Moto tersebut mengandung makna filosofis, “Manusia hidup untuk menghidupkan manusia lainnya”. Moto ini mewakili filosofi hidup warga kawanua dengan nilai “baku-baku tongka”. Sikap luhur yang punya dedikasi membangun kemanusiaan, serta sikap legowo untuk membangun orang lain dengan mengesampingkan arogansi pribadi. Membumikan sikap kearifan local ini akan membangun hidup seseorang tidak di cemari dengan karakter koruptif, hedonis, individualis dan materialis.
ASPEK LITERASI, Salah satu indicator yang kerap kali di pakai dalam riset evaluasi tingkat kualitas sumber daya manusia adalah angka literasi. Menurut National Institute For Literacy, literasi adalah kemampuan tiap individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung serta memecahkan suatu masalah pada tingkat keahlian yang di perlukan dalam suatu pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Pengembangan kultur literasi membangun kemampuan masyarakat dalam penambahan kosakata, mengoptimalkan kerja otak, menambah wawasan dan informasi baru, mempertajam diri dalam menangkap makna suatu informasi tertentu, mengembangkan kemampuan verbal, melatih kemampuan berpikir dan menganalisa, meningkatkan focus dan konsentrasi dan melatih dalam hal menulis serta merangkai kata yang bermakna kritis. Literasi memberikan kecakapan kritis dalam memilah antara hoax, asumsi subyektif dan fakta obyektif. Dengan adanya literasi yang membumi dalam masyarakat akan membuat kita tak mudah di provokasi oleh hoax dan ujaran kebencian yang beredar di berbagai media.
ASPEK KEUNGGULAN KONTEMPORER, hal ini berkaitan dengan kompetensi berdaya saing dalam realitas kompetensi kekinian (kontemporer). Hari ini, dunia modernisasi telah mengalami “disrupsi global”, di mana pola kehidupan manusia yang sebelumnya serba “manual” menjadi serba “digital”. Pola perubahan perilaku ini membuat kemampuan daya saing menjadi sebuah hal yang mutlak dan tidak boleh hanya di pandang sebatas factor relatif. Urgensi penguatan pemuda kawanua dalam kepemilikan keunggulan kontemporer menjadi hal mendesak, mengapa demikian? Indonesia pada tahun 2020 – 2040 akan berhadapan dengan bonus demografi. Bonus demografi ini adalah prosentase usia penduduk produktif pada kisaran usia 15-64 tahun berada pada angka lebih besar di bandingkan dengan prosentase usia tidak produktif yang berada di kisaran usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Kurang lebih dari jumlah penduduk mencapai 297 jiwa, 64% di antaranya adalah populasi penduduk pada usia produktif. Menyadari akan proyeksi ini, maka kebijakan dalam penguatan kualitas sumber daya manusia harus mendapatkan perhatian serius. Di mana penguatan kompetensi sumber daya manusia harus di arahkan pada kesiapan daya siang di tengah era revolusi industry 4.0.
Urgensi untuk menjawab lima aspek penguatan pemuda kawanua di atas benar-benar harus di pikul bukan cuma di atas bahu satu pihak, semua pihak yang terangkum dalam basis masyarakat kawanua secara local, nasional dan global harus memikulnya secara bersama-sama. Kondisi urgen ini bukanlah sekedar mainan isu secara demagogis belaka, realitas peluang dan tantangan globalisasi benar-benar sudah di depan pintu kita. Mereka yang bergerak dalam “sustaining innovation” akan “suvive”, sedangkan mereka yang tidak siap akan termarginalisasi dengan sendirinya.
Dalam survey literasi yang di lakukan oleh OECD (Organisation For Economic Co-operation & Development) bertajuk Program For International Student Assessment (PISA) menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden. Indonesia pada tingkat 62 hanya memiliki skor 395,3 dan berada jauh di bawah Singapore dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495 dan Thailand dengan skor 415. Skor PISA ini di ukur dengan tiga indicator kualitas pendidikan yaitu kemampuan matematika, ilmu sains dan membaca. Data perpustakaan Nasional pada tahun 2017 mencatat bahwa minat bangsa masyarakat kita masih sangat rendah. Durasi membaca per hari rata-rata dari orang Indonesia adalah 30-59 menit per hari, itu artinya kurang dari 1 jam per hari.
Masyarakat yang berada pada Negara-negara berkembang rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Minat baca Indonesia masih berada jauh di bawah standard UNESCO yang menganjurkan membaca paling minimal 4-6 jam per hari. Dalam artikel bertajuk “Teknologi Masyarakat Indonesia : Malas BAca Tapi Cerewet Di Media Sosial”, yang di publikasi di situs Kominfo pada tahun 2017 mengutip data dari UNESCO bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada pada angka 0,001%, itu artinya dalam 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca, Ironisnya, dari total populasi 264 juta jiwa penduduk Indonesia sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8% yang sudah terhubung dengan internet. Angka tersebut meningkat dari tahun 2017 saat angka penetrasi internet di Indonesia tercatat sebanyak 54,86%. Dari seluruh pengguna internet di Indonesia di dominasi oleh usia 15-19 tahun.
Rentang usia tersebut sangat rentan dengan konten-konten destruktif dalam internet, baik itu pornografi maupun hoax dan ujaran kebencian. Data lainnya dari Wearesocial tahun 2017 menunjukan bahwa orang Indonesia dalam sehari bisa tahan menatap layar gadget hingga 9 jam per hari. Tidak heran jika Indonesia tergolong Negara keempat terbesar sebagai Negara teraktif pengguna smartphone setelah China, India dan Amerika. Jika kita kaji uraian data di atas, maka tidak heran jika masyarakat kita sangat mudah terseret dengan agitasi dan propaganda hoax dan ujaran kebencian. Bahkan di setiap momentum politik, sebaran hoax dan ujaran kebencian merajalela sedemikian rupa.
Shafiq Pontoh dari CO-FOUNDER PROVETIC menjelaskan bahwa jenis hoax yang paling dominan adalah isu sosial politik. Berdasarkan hasil penelitian terkait, hoax dalam masalah sosial politik mencapai angka 91,8%, masalah SARA mencapai angka 88,6%, kesehatan mencapai 41,2%, makan/minum mencapai 32,6%, penipuan keuangan mencapai 24,5% dan Iptek mencapai 23,7%. Dari penelitian di atas, maka kita bisa melihat bahwa hoax yang paling dominan adalah masalah sosial politik dan SARA, dan kita semua tahu kedua tema tersebut kerap kali menggelindingkan “isu-isu panas” yang sangat berbahaya terhadap solidaritas kebangsaan.
Akhir kata, basis masyarakat kawanua secara local, nasional dan global wajib melakukan “re-thinking” dalam upaya menciptakan “incubator kaderisasi” bagi basis pemuda kawanua. Di mana lima aspek penguatan di atas benar-benar menjadi manunggal dalam setiap individu atau basis kolektif dari pemuda kawanua. Jika kita kehilangan pemuda hari ini, maka itu sama artinya kita kehilangan masa depan. Jika kita mengabaikan anak muda kita hari ini, maka kita sementara meng-aborsi masa depan kita. Ada tiga petaka yang sangat berpotensi menghancurkan sebuah entitas atau bangsa, yaitu (1) tidak menghormati para pemimpin sebelumnya, (2) tidak membangun generasi masa kini, (3) tidak mempersiapkan generasi yang akan datang.