Kolonel (Inf) TNI Jacob Frederick Warouw, yang lebih dikenal dengan sebutan Joop Warouw, lahir pada 8 September 1917 dan meninggal pada 15 Oktober 1960 dalam usia 43 tahun.
Warouw adalah seorang perwira militer yang terlibat langsung dalam Perang Kemerdekaan Indonesia dan menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah militer Indonesia.
Perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan dan pengorbanan menjadikannya sebagai salah satu figur yang tak terlupakan dalam perjuangan kemerdekaan dan dinamika politik militer pasca-kemerdekaan.
Karier Militer Awal: Dari KNIL Hingga Perang Kemerdekaan
Sebelum meletusnya Perang Dunia II, Jacob Warouw sudah tergabung dalam tentara kolonial Belanda, yaitu Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL).
Namun, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia memilih untuk bergabung dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Warouw menjadi salah satu tokoh yang terlibat dalam pembentukan laskar Pemuda Republik Indonesia Sulawesi (PERISAI) di Surabaya.
Di sinilah dia mengawali kiprah militernya, sekaligus menjadi wakil pimpinan dalam organisasi yang juga dikenal dengan nama Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Keberaniannya terlihat jelas dalam Pertempuran Surabaya, di mana ia muncul sebagai salah satu tokoh pemuda militer yang tidak hanya berani, tetapi juga menunjukkan keteguhan dan semangat juang yang luar biasa.
Peran Dalam Struktur Militer Indonesia
Setelah perjuangan di Surabaya, Warouw terus menanjak dalam karier militer.
Pada tahun 1946, ia memegang berbagai posisi penting dalam struktur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia menjabat sebagai Kepala Staf Divisi VI Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) yang berkedudukan di Lawang, serta Kepala Staf Basis X TLRI di Situbondo. Keberhasilannya dalam tugas-tugas ini membawanya pada tugas-tugas lebih besar di kemudian hari.
Pada tahun 1948, Warouw ditunjuk sebagai Wakil Komandan Brigade XVI, dan kemudian menggantikan Adolf Lembong untuk menjadi Komandan Brigade XVI, yang terlibat dalam pengamanan wilayah di Indonesia Timur.
Menghadapi Perang Kemerdekaan di Wilayah Timur
Sebagai seorang komandan, Warouw dipercaya untuk memimpin pasukan-pasukan penting di wilayah Indonesia Timur. Pada bulan April 1950, ia diangkat sebagai Komando Pasukan (Kompas) “B”, yang pada 1952 berubah menjadi Resimen Infanteri 24 (RI-24). Pasukan ini bermarkas di Manado dan bertanggung jawab atas keamanan di daerah Sulawesi Utara dan Tengah.
Kiprahnya terus berlanjut dengan jabatan baru pada bulan November 1950, di mana ia diangkat sebagai Komandan RI-23 di Parepare. Pada tahun 1952, ia kembali dipercaya untuk menjadi Kepala Staf Tentara Teritorium VII/Indonesia Timur (TT-VII).
Namun, ketegangan politik semakin meningkat di Indonesia pada periode ini, terutama setelah peristiwa 17 Oktober di Jakarta yang membawa dampak besar pada dunia militer.
Sebagai respons terhadap situasi tersebut, Warouw mengambil langkah berani dengan menahan atasannya, Gatot Soebroto, karena sikap Soebroto yang mendukung peristiwa tersebut. Langkah tersebut menandai peran Warouw yang semakin dominan dalam dinamika politik dan militer Indonesia.
Gerakan Permesta dan Pengkhianatan
Pada tahun 1954, setelah dilantik sebagai Komandan TT-VII/Wirabuana, Warouw menghadapi ketidakpuasan yang meluas di kalangan para pemimpin daerah di Indonesia Timur, yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah pusat.
Ketidakpuasan ini semakin memuncak dengan proklamasi Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) yang dideklarasikan pada 2 Maret 1957 oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual, salah satu rekannya.
Warouw, yang telah lama merasakan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, kemudian ikut bergabung dengan gerakan Permesta.
Ia tidak hanya bergabung, tetapi turut menjadi salah satu pemimpin utama dalam gerakan ini. Bersama dengan Sumual dan Alex Kawilarang, Warouw mengangkat senjata untuk memperjuangkan otonomi daerah yang lebih besar, yang menurut mereka sangat diperlukan demi keadilan sosial bagi rakyat Indonesia Timur.
Pada tahun 1958, bersama Sumual, Warouw bahkan pergi ke Tokyo untuk menemui Presiden Soekarno, mendesaknya untuk segera menangani krisis yang melanda Indonesia. Namun, setelah pertemuan tersebut, Warouw memilih untuk meninggalkan jabatannya sebagai Atase Militer di Beijing dan bergabung dengan Permesta.
Gerakan Permesta yang dipimpin Warouw kemudian bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Warouw diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Pembangunan dalam pemerintahan PRRI yang berpusat di Padang.
Tragedi dan Akhir Hidup Warouw
Sayangnya, perjuangan Warouw berakhir tragis. Pada tahun 1960, ketika TNI mulai menguasai wilayah Sulawesi Utara, sebuah unit Permesta yang dipimpin oleh Jan Timbuleng menentang kepemimpinan Warouw. Pada bulan April 1960, Warouw ditangkap dan ditawan oleh unit tersebut.
Setelah enam bulan ditawan, pada 15 Oktober 1960, Warouw dibunuh oleh pasukan yang sebelumnya dipimpinnya. Jenazahnya ditemukan pada tahun 1992, di dekat Tombatu, dan akhirnya dipindahkan serta dikebumikan di kampung halamannya di Remboken, Sulawesi Utara.
Legasi dan Penghormatan
Joop Warouw dikenang sebagai salah satu perwira militer yang berani dan memiliki dedikasi tinggi terhadap bangsa dan negara.
Meskipun terlibat dalam gerakan Permesta yang dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintah pusat, perjuangannya untuk keadilan dan otonomi daerah tidak bisa dipandang sebelah mata.
Seiring waktu, jasanya diakui sebagai bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Indonesia yang lebih baik.
Warouw adalah contoh nyata dari pengorbanan dan perjuangan seorang patriot yang tetap teguh dalam keyakinan meski menghadapi tantangan yang sangat berat, baik dari segi politik maupun militer.
Kini, setelah lebih dari setengah abad, nama Joop Warouw tetap hidup dalam ingatan masyarakat Indonesia, sebagai simbol perjuangan yang tak kenal lelah demi kemajuan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.