Kolintang: Sejarah dan Perkembangannya di Minahasa

Artikel, Musik217 Dilihat

Kolintang adalah alat musik gong perunggu yang berasal dari abad ke-17 di Sulawesi Utara, Sumatra, dan Filipina Selatan, yang tersebar melalui perdagangan antar pulau, terutama melalui jalur perdagangan sutra.

Pusat perdagangan internasional pada masa itu adalah Ternate dan Tidore, yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti pala dan cengkih.

Jalur perdagangan utama melibatkan pelabuhan-pelabuhan penting seperti Cambaya di pantai timur India, Sumatra Utara, Malaka, pulau Jawa, dan menuju ke Ternate serta Tidore.

 

Kolintang gong kemungkinan tiba di Minahasa melalui Ternate yang terhubung dengan kerajaan Majapahit (1350-1389).

Armada Majapahit bahkan tercatat telah sampai ke Kepulauan Sangihe dan Talaud, yang juga tercatat dalam buku Negara Kartagama.

Selain itu, pengaruh Cina juga diperhitungkan, karena pulau Siauw tercatat dalam peta pelayaran Cina pada awal abad ke-15 dalam buku Shun Feng Hsin Sung.

 

Pada tahun 1972, penulis membawa sebuah Gong perunggu yang retak dari Tomohon, Minahasa, untuk diperbaiki di Yogyakarta. Pengrajin gong di sana mengidentifikasi campuran timah dan tembaga pada gong tersebut sebagai ciri khas buatan kerajaan Belambangan dari Jawa Timur, yang ditaklukkan oleh Mataram pada tahun 1639.

 

Beberapa penulis Barat yang meneliti Minahasa pada awal abad ke-19 memberikan informasi tentang alat musik kolintang yang terbuat dari logam, bukan kayu. J. Hickson, dalam bukunya Naturalist in North Celebes (1889), mencatat bahwa kolintang berbunyi ketika dimainkan dalam upacara Mapalus, sebuah kegiatan sosial masyarakat Minahasa. Demikian pula, N. Graafland dalam De Minahasa (1898) menyebutkan bahwa nada-nada kolintang gong ditulis dalam bentuk solmisasi seperti “do – mi – sol – mi … la – do – fa – si”.

 

Gambar sketsa alat musik kolintang gong dari Minahasa yang terbuat dari logam dapat ditemukan dalam buku Ethnographische Miezelen Minahasa Celebes yang diterbitkan oleh A. Meyer dan O. Richter di Museum Dresden pada 1902. Dalam sketsa tersebut, terlihat penari Kabasaran yang menggunakan tombak diiringi oleh musik kolintang gong, yang terdiri dari dua deretan gong, masing-masing dengan lima gong.

 

Kolintang gong ini dapat ditemukan di beberapa tempat, seperti di Airmadidi dan wilayah Tonsea, yang hingga kini masih digunakan dalam upacara perkawinan, diiringi musik Maoling. Nama-nama alat musik gong yang mirip dengan kolintang di berbagai wilayah Nusantara dan Filipina, seperti Golintang di Bolaang Mongondouw, Kelintang di Sumatra, dan Kulintang di Ogan Komering Ulu, menunjukkan hubungan erat antara berbagai budaya di kawasan ini.

 

Pada zaman dahulu, kolintang gong di Minahasa memiliki status sosial yang tinggi, hanya dimiliki oleh pemimpin masyarakat atau golongan Tonaas dan Wailan. Kolintang juga digunakan dalam orkes musik Maoling, yang terdiri dari kolintang (melodi), momongan (gong), antung (bass), suling, dan tambor.

 

Seiring waktu, perkembangan alat musik kolintang di Minahasa mengalami transformasi. Kolintang yang awalnya terbuat dari logam berubah menjadi kayu, dan dikenal dengan nama kolintang kayu atau Xylophone.

Alat musik ini biasanya dimainkan dengan menggunakan batang kayu atau bambu, yang sering dimainkan oleh petani di kebun sebagai hiburan saat istirahat makan siang.

Penemuan alat musik kolintang kayu dengan tangga nada diatonis di Minahasa dimulai pada tahun 1940-an, dengan menciptakan orkes musik bernama Kolintang Band.

Orkes ini menggunakan kolintang kayu sebagai melodi utama, dengan komposisi alat musik seperti biola dan hawaian.

Dalam perkembangan lebih lanjut, musik ini mulai dikenal di seluruh Minahasa, meskipun pada awalnya para pemain kolintang merasa malu karena menggunakan alat musik yang mereka buat sendiri.

 

Kolintang band ini kemudian berkembang dan menyebar ke luar Minahasa, termasuk di Bandung, yang dikenal dengan nama “Kolintang Maesa Bandung.”

Kolintang, yang kini dikenal dalam berbagai bentuk, tetap menjadi simbol kebudayaan Minahasa, baik dalam upacara tradisional maupun hiburan masyarakat.

 

Kolintang, sebagai alat musik, menunjukkan betapa pentingnya musik dalam budaya Minahasa, menggabungkan sejarah panjang perdagangan dan pengaruh budaya dari berbagai kerajaan serta perkembangan sosial dan teknologi dalam masyarakat.

 

 

*Disadur dari tulisan Jessy Wenas – Sejarah Musik Kolintang

*Foto Dinas Pariwisata Bitung 

Tinggalkan Balasan